Tampilkan postingan dengan label Jawa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jawa. Tampilkan semua postingan

Rumah Adat Jawa Timur

Jumat, 26 Desember 2014

                                        Rumah Joglo

Rumah adat Jawa Timur Joglo dasar filosofi dan arsitekturnya sama dengan rumah adat di Jawa Tengah Joglo. Rumah adat Joglo di Jawa Timur masih dapat kita temui banyak di daerah Ponorogo. Pengaruh Agama Islam yang berbaur dengan kepercayaan animisme, agama Hindu dan Budha masih mengakar kuat dan itu sangat berpengaruh dalam arsitekturnya yang kentara dengan filsafat sikretismenya.

Rumah Joglo umumnya terbuat dari kayu Jati. Sebutan Joglo mengacu pada bentuk atapnya, mengambil stilasi bentuk sebuah gunung. Stilasi bentuk gunung bertujuan untuk pengambilan filosofi yang terkandung di dalamnya dan diberi nama atap Tajug, tapi untuk rumah hunian atau sebagai tempat tinggal, atapnya terdiri dari 2 tajug yang disebut atap Joglo/Juglo / Tajug Loro. Dalam kehidupan orang Jawa gunung merupakan sesuatu yang tinggi dan disakralkan dan banyak dituangkan kedalam berbagai simbol, khususnya untuk simbol-simbol yang berkenaan dengan sesuatu yang magis atau mistis. Hal ini karena adanya pengaruh kuat keyakinan bahwa gunung atau tempat yang tinggi adalah tempat yang dianggap suci dan tempat tinggal para Dewa.

Pengaruh kepercayaan animisme, Hindu dan Budha masih sangat kental mempengaruhi bentuk dan tata ruang rumah Joglo tersebut contohnya:

Dalam rumah adat Joglo, umumnya sebelum memasuki ruang induk kita akan melewati sebuah pintu yang memiliki hiasan  sulur gelung atau makara. Hiasan ini ditujukan untuk tolak balak, menolak maksud – maksud jahat dari luar hal ini masih dipengaruhi oleh kepercayaan animisme.

Kamar tengah merupakan kamar sakral. Dalam kamar ini pemiliki rumah biasanya menyediakan tempat tisur atau katil yang dilengkapi dengan bantal guling, cermin dan sisir dari tanduk. Umumnya juga dilengkapi dengan lampu yang menyala siang dan malam yang berfungsi sebagai pelita, serta ukiran yang memiliki makna sebagai pendidikan rohani, hal ini masih dalam pengaruh ajaran Hindu dan Budha.

Untuk rumah Joglo yang terletak di pesisir pantai utara seperti Tuban, Gresik dan Lamongan unsur-unsur di atas di tiadakan karena pengaruh Islam masuk. Melalui akultrasi budaya jawa yang harmoni, penyebaran Islam berbaur harmonis dengan budaya dan adat istiadat kepercayaan animisme, Hindu dan Budha. Islam pun mulai menjalar ke berbagai daerah di Jawa Timur, seperti di Madiun, Ngawi, Magetan, Ponorogo, Pacitan, Kediri, Tulungagung, Blitar, Trenggalek, dan sebagian Bojonegoro, sedangkan kota-kota di bagian barat Jawa timur memiliki kemiripan rumah adat Jawa Tengah, terutama Surakarta dan Yogyakarta yang disebut sebagai kota pusat peradaban Jawa.

Rumah Joglo juga menyiratkan kepercayaan kejawen masyarakat Jawa yang berdasarkan sinkretisme. Keharmonisan hubungan antara manusia dan sesamanya (“kawulo” dan “gusti”), serta hubungan antara manusia dengan lingkungan alam di sekitarnya (“microcosmos” dan “macrocosmos”), tecermin pada tata bangunan yang menyusun rumah joglo. Baik itu pada pondasi, jumlah saka guru (tiang utama), bebatur (tanah yang diratakan dan lebih tinggi dari tanah disekelilingnya), dan beragam ornamen penyusun rumah joglo.

Rumah Joglo mempunyai banyak jenis seperti

Joglo Lawakan
Joglo Sinom
Joglo Jompongan
Joglo Pangrawit
Joglo Mangkurat
Arsitektur rumah Joglo menyiratkan pesan-pesan kehidupan manusia terhadap kebutuhan “papan”. Bahwa rumah bukankah sekadar tempat berteduh, tapi ia juga merupakan “perluasan” dari diri manusia itu sendiri. Berbaur harmoni dengan alam di sekitarnya. Rumah Joglo pada umumnya sama pada bentuk global dan tata ruangnya.



Rumah adat joglo yang memiliki dua ruangan yaitu :

Ruang depan (pendopo) yang difungsikana sebagai :
tempat menerima tamu
balai pertemuan (karena awalnya hanya dimiliki oleh bangsawan dan kepala desa)
tempat untuk mengadakan upacara – upacara adat
Ruang belakang yang terdiri dari :
kamar – kamar
dapur (pawon)
Sedangkan ruang utama atau ruang induk pada rumah joglo dibagi menjadi 3 ruangan, yaitu :

sentong kiwo (kamar kiri)
sentong tengan (kamar tengah)
sentong tangen (kamar kanan)
Dan umumnya rumah joglo di bagian sebelah kiri terdapat dempil yang berfungsi sebagai tempat tidur orang tua yang langsung dihubungkan dengan serambi belakang (pasepen) yang digunakan untuk aktifitas membuat kerjinan tangan. Sedangkan disebelah kanan terdapat dapur, pendaringan dan tempat yang difungsikan untuk menyimpan alat pertanian.


Rumah adat Jawa Timur tidak hanya berbentuk Joglo saja sebenarnya, ada juga yang berbentuk limasan (dara gepak), dan bentuk srontongan (empyak setangkep).

http://rumahadat.blog.com/2012/08/30/rumah-adat-jawa-timur/

Pakaian Adat Jawa Timur


Secara sekilas pakaian adat Jawa Timur mirip dengan pakaian adat Jawa Tengah. Hal ini dikarenakan pengaruh kebudayaan dan adat Jawa Tengah sangat banyak.
Namun tetap berbeda, pakaian adat Jawa Tengah mengambarkan  perilaku orang Jawa Tengah yang santun yang berbalut filosofi dalam kain batik.
Sedangkan pada Pakaian adat Jawa Timur mencerminkan ketegasan dan kesederhanaan kebudayaan Jawa Timur.

Selain itu yang membedakan pakain adat Jawa Timur dengan Jawa Tengah adalah penutup kepala yang dipakai atau Odheng. Arloji rantai dan sebum dhungket atau tongkat.
Pakaian adat Jawa Timur biasa disebut dengan Mantenan. Karena biasanya dipakai pada saat acara perkawinan oleh masyarakat jawa Timur. Selain busana Mantenan, pakaian khas Madura juga termasuk pakain adat Jawa Timur.
Pakaian khas Madura biasa disebut pesa’an. Pakaian ini terkesan sederhana karena hanya berupa kaos bergaris merah putih dan celana longgar. Untuk wanita biasa menggunakan kebaya.
Ciri khas dari kebaya adalah penggunaan kutang polos dengan warna cerah yang mencolok. Sehingga keindahan tubuh si pemakai akan terlihat jelas.
Hal ini merupakan nilai budaya Madura yang sangat menghargai keindahan tubuh. Bukan sebagai sarana pornografi.
Warna – warna yang mencolok dan kuat yang dipakai dalam busana Madura menunjukan karakter orang Madura yang tidak pernah ragu – ragu, berani, terbuka dan terus terang.
Sedangkan untuk para bangsawan menggunakan jas tutup polos dengan kain panjang. Lengkap dengan odeng yang menunjukan derajat kebangsawanan seseorang.

Kesenian Ludruk

Senin, 22 Desember 2014

Ludruk adalah suatu kesenian drama tradisional dari Jawa Timur. Ludruk merupakan suatu drama tradisional yang diperagakan oleh sebuah grup kesenian yang dipergelarkan di sebuah panggung dengan mengambil cerita tentang kehidupan rakyat sehari-hari, cerita perjuangan, dan sebagainya yang diselingi dengan lawakan dan diiringi dengan gamelan sebagai musik.


Sejarah Tari Lengger Calung Banyumas

Sejarah Tari Lengger Calung banyumas – Lengger adalah sebuah kesenian / Tari yang berasal dari daerah banyumasan, pada awalnya kesenian lengger diciptakan sebagai sebuah tarian ritual yang berfungsi sebagai sarana tolak bala dan media ruwatan. Kesenian Sejarah Tari Lengger Calung banyumas sudah ada sejak dulu dan pernah di gunakan oleh Sunan Kalijogo untuk menarik para pemuda agar rajin ke Masjid.
Kesenian Sejarah Tari Lengger Calung banyumas merupakan kesenian tradisional kerakyatan yang mewarnai kehidupan masyarakat Dataran Tinggi Dieng, kesenian ini bermanfaat bagi kehidupan masyarakat seperti bersih desa, sebagai pelengkap upacara hari besar, sebagai hiburan dan juga media pendidikan.
Menurut Wadiyo, 2006 : 141, Sebuah karya seni diciptakan manusia sebagai bentuk ekspresi budaya dan merupakan ungkapan sosialnya, sehingga karya seni diciptakan oleh manusia tidak hanya untuk kepentingan dirinya sendiri sendiri tetapi juga untuk kebutuhan orang lain.
Seorang penari Sejarah Tari Lengger Calung banyumas dituntut harus mampu menari dan bernyanyi, dengan memainkan gerakan secara lincah dan dinamis hal ini merupakan ciri khas identitas daerah, bahkan menjadi nilai-nilai budaya yang ada dalam kehidupan masyarakat.
Keberadaan kesenian Sejarah Tari Lengger Calung banyumas di Dieng dan berbagai daerah seperti di telan zaman, yang kian lama semakin surut. Jika tinjau kembali daya minat masyarakat semakin berkurang, hal ini disebabkan oleh gejala-gejala moderenisasi. Salah satu contoh, masyarakat lebih senang dengan hiburan sesui dengan zamanya.
Upaya untuk melestarikan kesenian / Sejarah Tari Lengger Calung banyumas perlu digalakkan, apalagi dieng merupakan daerah wisata, dimana sektor wisata tak dapat lepas dari seni budaya yang ada. Bahkan keberadaan kesenian Sejarah Tari Lengger Calung banyumas dapat menjadi nilai lebih di kawasan wisata Dieng.
Kedepanya perlu dipikirkan agar generasi penerus kesenian Sejarah Tari Lengger Calung banyumas tetap eksis dalam menghadapi perkembangan zaman.
Demikian ulasan tentang Sejarah Tari Lengger Calung banyumas semoga bermanfaat untuk anda, dan dapat menambah wawasan untuk anda mengenai Sejarah Tari Lengger Calung banyumas.

Kisah ‘Pak, Nyaman’ dan Sumur Pitu

Pertama kali mendengar nama Desa ‘Payaman’ sempat ragu jika desa ini merupakan bagian dari Kabupaten Lamongan. Pasalnya, penamaan desa yang sekilas tak memiliki unsur bahasa Jawa. Berbeda dengan sembilan desa lainnya di Kecamatan Solokuro yakni Desa. Solokuro, Tebluru, Sugihan, Dadapan, Tenggulun, Banyubang, Dagan, Bluri, Takerharjo, terdengar masih njawani.
Dikisahkan, Payaman yang dulunya pedesaan terpencil dan termasuk dalam wilayah pesisir pantai utara (Pantura), ternyata memiliki sejarah dan cerita tersendiri yang berkaitan denganBumi Sakera (Madura) dalam proses asal-usulnya.
Dahulu, pada masa Kerajaan Majapahit, seorang Adipati Madura yaitu Arya Wiraraja diutus Raden Wijaya menyeru rakyat Madura agar menyebar ke seluruh wilayah Jawa, terutama Jawa Timur. Raden Wijaya menaruh kepercayaan sepenuhnya pada orang Madura karena mereka juga ikut andil dalam mendirikan Kerajaan Majapahit. 
Berangkatlah sebagian besar rakyat Madura berbondong bondong ke tanah Jawa. Ketika sampai di Jawa rombongan tersebut akhirnya menyebar.  Sebagian ada yang ke timur dan ada juga yang ke barat. Ke timur, rombongan itu menempati wilayah mulai Surabaya hingga Banyuwangi, sedang yang ke barat menempati wilayah dari Surabaya, Gresik, Lamongan hinggaTuban.      Salah satu rombongan yang dipimpin seorang pemuda bernama Aryo Bumi memisahkan diri dari rombongannya yang ke Tuban. Dengan ditemani istri dengan dua orang pembantu Aryo Bumi pergi ke selatan Pantura. Sampai di kawasan yang penuh hutan bambu dan pohon-pohon besar Aryo Bumi merasa tempat itu sangat cocok untuk ditempati. Aryo Bumi pun mulai membersihkan tempat itu dan mendirikan rumah kecil untuk berteduh. Beberapa bulan berlalu Aryo Bumi mulai memikirkan nama tempat itu. Dalam kebingungannya Aryo Bumi melihat istrinya di luar rumah sambil menikmati sejuknya angin pagi dan berkata “Pak Nyaman”. “Pak” merujuk kepada suaminya Aryo Bumi, panggilan bagi suami. Sedangkan “Nyaman” sama halnya dalam bahasa Indonesia ataupun bahasa Jawa, bisa juga diartikan beragam sesuai pemakaiannya. Dari kejadian itulah Aryo Bumi mendapat ide untuk memberi nama tempat itu dengan “Pakyaman” atau “Payaman”.         Asal muasal tersebut memang tak tertulis secara resmi dalam buku sejarah mana pun. Namun sejarah akan tetap menjadi sejarah. Desa Payaman, umumnya Lamongan, akan tetap dikenal sebagai salah satu ‘Bumi Wali Sanga’ dengan adanya makam para wali, Sunan Drajat, Sunan Sendang Duwur dan lain-lain.
Ditambah lagi keberadaan sumber mata air yang sangat penting bagi penduduk Lamongan. Sumur yang konon tak pernah kering tersebut menjadi sumber utama pemenuhan kebutuhan air masyarakat, yang juga dinilai memiliki nilai magis.
Sumur pitu, begitu Baqir dan seluruh masyarakat menyebutnya. Setidaknya tiga dari tujuh sumur tersebut berada di wilayah Desa Payaman. Tiga sumur itu bernama Blimbing, Planangan, dan Pawadonan. Selebihnya tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Lamongan.

Sampai sekarang ketujuh sumur tersebut masih digunakan warga, di samping sumur-sumur buatan warga. Namun, sejak banyak warga yang menggunakan pompa air, debit air sumur menjadi berkurang. Hal ini mengharuskan warga untuk membeli air dari desa sebelah,yakni Desa Solokuro.

Lagu Dolanan

Cublak-cublak suweng
Suwengé ting gulèndhèr
Mambu ketundung gudhèl
Pak jempol léda ledé
Sapa nggawa ndelikaké
Sir… sirpong dhelé gosong
Sir… sirpong dhelé gosong 

Lagu diatas sering kali saya dengarkan pada zaman dulu ketika malam padhang bulan tiba kampung Godog kecamatan Laren, anak-anak kecil keluar rumah untuk bermain dengan alunan tembang Padhang bulan, salain permainan cublak-cublak sueng banyak sekali dolanan tradisional yang biasanya dimainkan dibawa penerangan sinar bulan seperti gobak sodor, jarate, engkle, lompat tali, petak umpet atau sengedanan. Sunguh ramai teriakan, tawa, dan celoteh-celoteh khas anak-anak terdengar pada malam itu.
Sekarang dolanan atau perrmainan anak-anak masa lalu sekarang jarang sekali terdengar apa lagi dimanikan di Kampung Godog Kecamatan Laren tersebut. semua itu karena sudah banyak digantikan dengan permainan game atau Playstation bahkan game online di warnet yang sekarang sudah banyak di kampung-kampung, atau kalah dengan asyiknya tontonan televisi yang kurang mendidik, bahkan sekarang anak-anak setingkat sekolah dasar saja sudah asyiknya dengan game yang ada di handphone yang dia bawa sebagai teman bermain. Selain itu juga dimanjakan dengan  banyaknya fasilitas yang ada di dalam handphone seperti kamera, mp3, bahkan dengan handphone keluaran terbaru bisa melihat tanyangan televisi dari handphone tanpa harus mendapatkan pendampingan dari orang tua saat melihatnya.
            Tanpa disadari bahwa permainan modern seperti game dari handphone dan juga tontonan dari televisi memiliki efek yang kurang baik bagi perkembangan pendidikan anak karena cenderung mengarahkan dan membentuk anak menjadi seseorang yang individualis dan cenderung membuat dunianya sendiri serta menikmatinya, menjauhkan diri dari dunia nyata sehingga membawa seseorang semakin terasing dari dunia nyata. Seseorang tidak lagi perlu berinteraksi dengan orang lain untuk memainkan permainan dari game modern. dan sebagai orang sosial dia merasa kalau tidak perlu memerlukan orang lain, karena bisa bermain sendiri dengan dunia yang buatnya sendiri. Kodrat manusia sebagai menusia sosial akan terancam. Orang yang sudah bersikap individual dan asyik dengan dunianya sendiri tidak akan peduli dengan keadaan lingkungan sekitar.
            Berbeda dengan dolanan tradisonal, bahkan dalam bentuk dolanan paling sederhana pun kita membutuhkan orang lain untuk memainkanya, jadi jika dimaikan sendiri permainan menjadi tidak asyik dan unsur susprese dalam permainan menjadi berkurang, cublak-cublak sueng tidak akan ada tanpa teman, gobak sodor tidak akan terjadi tanpa sekumpulan kawan. Secara pasti dapat dikatakan bahwa dolanan tradisional dimainkan bersama dengan orang lain. Dengan demikian muncullah interaksi antar manusia.
Dolanan Tradisional mengajarkan sportivitas dan aturan main yang disepakati bersama. Memang benar bahwa sudah ada aturan umum dalam dolanan tradisional. Namun demikian untuk memulai suatu permainan pada suatu waktu, mau tidak mau, anak-anak akan berunding terlebih dahulu dan membuat kesepakatan bersama. Interaksi yang terbangun tidak hanya dalama taraf kebersamaan fisik (sosio fisik) tetapi juga efektif (sosio efektif)dan psikis (sosio psikis).
Juga ada kebutuhan untuk interaksi manusia dengan alam sekitar. Jika diperhatikan, kebanyakan dolanan tradisional tidak membutuhkan banyak alat. Alam telah menyediakan berbagai sarana untuk permainan tradisional. Petak umpet tidak perlu alat selain halaman dengan berbagai pohon dan bangunan sekitar, cublak-cublak sueng cukup beralatkan sebuah batu kecil, sementara gobak sodor dapat dimainkan berbekal halaman luas dan sebuah dahan kering untuk membuat garis. Alam sudah menyediakan alat dan sarana untuk bermain. Lebih dari itu, karena keakraban dengan alam, manusia kerap kali diajari alam (kearifan lokal) yang kadang-kadang tak bisa dipecahkan oleh nalar.
Selain itu juga banyak sekali nilai-nilai budaya yang luhur dalam setiap solanan tradisional seperti cublak-cublak sueng bukan hanya sebagai dolanan penghibur namun dalam dolanan cublak-cublak sueng orang diajarkan kepercayaan terhadap orang lain, kejujuran, menumbukkan kreatifitas dan kepribadian.
Masih banyak lagi dolanan tradisional yang ada disekitar kita yang dulu sering dimainkan anak-anak kecil di desa Godog untuk mengisi waktu luang atau istirahat di sekolah semisal: cekeran, malingan, patung-patunga, salnepan, bentik, kong-kong bolong, ciplukan, serem gendem, lompat tali, glimukan, sengedanan, nekeran, ongle, serta beberapa lagi yang belum tercatat.
Bagaimanapun juga, dolanan anak-anak tersebut perlu digalakkan kembali kendati jaman telah berubah. Perlu diingat perubahan itu harus memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi. Untuk itu, unsur budaya – dalam hal ini permainan anak-anak haruslah pula digalakkan dan disebarluaskan karena apat membantu manusia mencapai peradaban yang lebih manusiawi, yang memiliki etika yang baik.

Sumber : http://kabarlamongan.com/belajar-dan-bermain-dolanan-tradisional/
http://koran-zain.blogspot.com/2013/11/opini-belajar-bermain-tradisional.html


Mengenal Sinden

Selasa, 16 Desember 2014

PESINDEN juga sering disebut SINDEN, Ki Mujoko Joko Raharjo berasal dari kata “pasindhian” yang berarti yang kaya akan lagu ataua yang melagukan (melantunkan lagu). Sinden disebut juga WARANGGANA “wara” berarti seseorang berjenis kelamin wanita, dan “anggana” berarti sendiri. Pada jaman dahulu waranggana adalah satu-satunya wanita dalam panggung pergelaran wayang ataupun pentas klenengan. Sinden memang seorang wanita yang menyanyi sesuai dengan gendhing yang di sajikan baik dalam klenengan maupun pergelaran wayang.
Istilah sinden juga digunakan untuk menyebut hal yang sama dibeberapa daerah seperti Banyumas, Yogyakarta, Sunda, Jawa Timur dan daerah lainnya, yang berhubungan dengan pergelaran wayang maupun klenengan. Sinden tidak hanya tampil solo (satu orang) dalam pergelaran tetapi untuk saat ini pada pertunjukan wayang bisa mencapai delapan hingga sepuluh orang bahkan lebih untuk pergelaran yang sifatnya spektakuler.
Pada pergelaran wayang zaman dulu, Sinden duduk di belakang Dalang, tepatnya di belakang tukang gender dan di depan tukang kendhang. Hanya seorang diri dan biasanya istri dari Dalangnya ataupun salah satu pengrawit dalam pergelaran tersebut. Tetapi seiring perkembangan zaman,terutama di era Ki Narto Sabdho yang melakukan berbagai pengambangan, Sinden dialihkan tempatnya menghadap ke penonton tepatnya di sebelah kanan Dalang membelakangi simpangan wayang dengan jumlah lebih dari dua orang.
Di era modern sekarang ini Sinden mendapatkan  posisi yang hampir sama dengan artis penyanyi  campursari, bahkan Sinden tidak hanya dibutuhkan untuk mahir dalam menyajikan lagu tetapi juga harus menjaga penampilan, dengan berpakaian yang rapi dan menarik. Sinden tidak jarang menjadi “pepasren” (penghias) sebuah panggung pertunjukan wayang. Bila Sindennya cantik-cantik dan muda yang nonton akan lebih kerasan dalam menikmati pertunjukan wayang.

Perkembangan wayang saat ini bahkan Sinden tidak hanya didominasi wanita tetapi telah muncul beberapa orang Sinden laki-laki yang mempunyai suara merdu seperti wanita, tetapi dalam dandannya Sinden ini tetap memakai pakaian adat jawa selayaknya pengrawit pria lainnya dan beberapa waktu lalu Sinden laki-laki ini malah menjadi trend para Dalang untuk menghasilkan nilai lebih pada pergelarannya.

RESENSI BUKU PRIMBON

Judul Buku : HOROSKOP JAWA Misteri Pranata Mangsa
Penyusun         : KRHT Hudoyo Doyodipuro
Tahun Terbit         : 1995 -2008


Mengenal Dalang

Dalang dalam bidang wayang kulit ialah seorang yang memainkan berbilang peranan, antaranya sebagai penulis cerita, pengarah lakonan, pengatur pentas, penyusun iringan, pengisah, pemain watak, dan "penyanyi". Kesimpulannya, dalang adalah seseorang yang mempunyai kemahiran berbilang disiplin, serta juga seorang pemimpin dalam pertunjukan dan kumpulannya.

TEMBUNG DASANAMA

Minggu, 14 Desember 2014

- Abang                  : mbarang, abrit, jingga, dadu, rekta, merah

- Angin                   : braja, bayupawana, sinandhung, samirna, meruta

- Alas                     : wana, wanadri, jenggala

- Ati                       : nala, kalbu, driya, prana, wardaya, panggal

- Anak                    : suta, tanaya, putra, atmaja, yoga, weka, siwi

- Awak                   : raga, badan, angga

- Banyu                  : tirta, warin, her

- Bapak                  : rama, sudarmi, yayah, yasadarma, sudarma

- Bumi                   : buwana, basundara, bantala, jagad, kisma, bawana,                                        pratala, pratiwi, mandhala, butala

- Buta                    : diyu, ditya, asura, danuja, yaksa, kelana, denawa, wil,                                      raseksa

- Bledheg               : gludhuk, gelap, grah, bajra, erawati, guntur, thathit, pater

- Bondho                : mudha, kumprung, pengung, blilu, jugul, dama, pingging,                                pinggung

- Dalan                   : marga, sopana, ratan, dlanggung, gili, enu, lurung

- Dewa                   : hyang, dewasa, apsara, widadara, sura, jawata, bathara

- Gawe                   : karya, karti, yasa, kardi

- Gajah                   : dipangga, asti, esthi, liman, diradha, dipa

- Geni                    :apyu, api, agni, pawake, latu, dahana

- Getih                    : rudhira, rah, ludira

- Gunung                 : meru, ukita, giri, ardi, aldaka, ancala, parwata, redi,                                       wukir, prambata

- Ibu                       : wibi, umi, puyengan, rena, biyang, biyung, indhun

- Iwak                     : ilam, masta, mina

- Ireng                    : jiliteng, cemeng, langking, kresna

- Jaran                    : swa, kuda, aswa, kapal, turangga, titihan, wijik,                                               undhakan

- Jeneng                 : jejuluk, parab, asma, wewangi, rum-rum, sambat

- Kaya                    : kadya, kadi, mimba, lir, pendah, pindha, yayah

- Kali                      : loh, narmada, bengawan

- Kanca                   : rewang, rowang, kanthi

- Kethek                  : munyuk, juris, kapi, pragosa, wanara, wre, rewanda,                                       palwaka

- Kebo                     : mundhing, maesa, misa

- Kembang               : padma, kusuma, puspita, sekar

- Kraton                   : kadhaton, dhatulaya, pura, puri, kandhatun

- Kuning                   : kapuranta, pita jenar

- Langit                   : awang-awang, aksa, antariksa, bomantara, gegana,                                         dirgantara, widik-widik, tawang, jumantawyat, wiyati

- Lanang                   : jalu, jaler, priya, kakung

- Lintang                   : sudama, kartika, sas, tranggana wintang

- Macan                    : sardula, mong, singa

- Mata                       : mripat, aksi, eksi, netra, soca, pandulu

- Manuk                   : kukila, kaga, peksi, paksi

- Mangan                  : dhahar, bukti, boga, madhang, nodha, nadhah

- Manungsa               : jana, jalma, manus, wong, nara, janma

- Mati                       : lalis, antaka, lampus, layon, ngemasi, mancal donya,                                        ena, pandhem, murud, pralaya, pralena, palastri, tinggal                                  donya, seda

- Mayit                      : kunarpa, bangke, jisim, kuwanda, sawa, wangke

- Misuwur                 : kaloka, kajuwara, kajanapriya, kasub, kawarti, kawentar,                                  kontab, kongas, kondhang

- Omah                    : panti, griya, grana, yasa, wisma

- pandhita                : dwijawarta, ajar, dwijamahasri, muni, mahayeksi, suyati,                                  resi, wipra, wiku, yogiswara

- Panah                   : naraca, jemparing, bana, sara, waresta

- Perang                  : laga, jurit, bandayuda, rana, yuda, pupuh

- Pinter                   : nimpuna, guna, lebda, limpat, putus, wasis, widigda,                                        wingnya, widura

- Putih                   : pinggul, seta, dwala

- Ratu                    : bumipala, buminata, bumipati, dhatu, katong, naradipa,                                    naradipati, narpa, nareswara, narapati, narendram sri,                                      sribupati, nata, pamasa, parameswara

- Rembulan             : candra, badra, basanta, lek, sansangka, sasi, sitengsu,
                                wulan, sasadhara

- Senapati              : hulubalang, nerawara, bretyapati, senapati

- Segara                : jaladri, ernama, laut, samodra, tasik, udaya, jalanidhi

- Sedhih                : margiyuh, dhuhkita, rimang, rudah, kingkih, rudhatin,                                      rudhatos, rudhita, susah, sungkawa, tikbra, wigena,                                          ngenes

- Sirah                   : murda, kumba, mustaka, utamangga, ulu

- Srengenge           : aruna, arka, bagaspati, bagaskara, baskara, pradhangan,                                  raditya, radite, surya, we, rawe

- Slamet                : raharja, basuki, swasta, rahayu, sugeng, widada, yuwana

- Ula                       : sarpa, naga, taksaka, sawer

- Wadon               : dyah, dayinta, juwita, gini, kusuma, retna, putri, rini,                                       wanita, wodowati, wanodya

- Weruh               : myat, priksa, anon, uning, uningan, wikan, upiksa.

Macam Tembang Macapat

Ada beberapa jenis tembang macapat. masing-masing jenis tembang tersebut memiliki aturan berupa guru lagu dan guru wilangan masing-masing yang berbeda-beda. Yang paling dikenal umum ada 11 jenis tembang macapat. Yaitu, Pucung, Megatruh, Pangkur, Dangdanggula, dll. Lebih lengkap nya sebagai berikut.

Mengenal Alat Musik Gamelan Jawa

Kamis, 11 Desember 2014

Gamelan adalah kumpulan alat musik khas jawa. 
Gamelan dapat dimainkan sebagai sebuah pertunjukkan musik tersendiri maupun pengiring tarianatau seni pertunjukkan seperti Wayang Kulit dan Ketoprak. Sebagai sebuah pertunjukkan tersendiri, musik Gamelan biasanya dipadukan dengan suara para penyanyi (penyanyi pria disebut wiraswaradan penyanyi wanita disebut waranggana). Dalam masyarakat Jawa, orkestra musik Gamelan biasanya disebut “Karawitan”. Berasal dari kata“rawit” yang berarti rumit, halus, kecil. Mengapa disebut demikian? Karena memainkan Karawitan memang tidak sekedar berfokus pada bunyi yang dihasilkan oleh alat musik, tapi juga harus dapat memahami kedalaman makna dari musik yang sedang dimainkan tersebut. Mengingat bahwa semuagendhing yang diciptakan berkorelasi dengan kehidupan manusia sehari-hari, misalnya: ada Gendhing yang merujuk pada keselamatan, ucapan syukur, permintaan, permohonan, dan sebagainya. Dengan memahami kedalaman tersebut maka sang pemain Gamelan dituntut untuk tidak memainkan alat-alat musik sekehendak hatinya, tetapi selalu berdasarkan konteks yang ada. Inilah sebabnya mengapa memainkan Gamelan seringkali dianggap “rumit”.

Seperangkat Gamelan jawa biasanya terdiri dari beberapa alat musik. Berikut ini alat-alat musik yang terdapat dalam perangkat Gamelan :

1. Kendhang:
Kendhang berfungsi utama untuk mengatur irama. Kendhang ini dibunyikan dengan tangan, tanpa alat bantu. Jenis kendang yang kecil disebut ketipung, yang menengah disebut kendang ciblon/kebar. Pasangan ketipung ada satu lagi bernama kendang gedhe biasa disebut kendang kalih.
Kendang kalih dimainkan pada lagu atau gendhing yang berkarakter halus seperti ketawang, gendhing kethuk kalih, dan ladrang irama dadi. Bisa juga dimainkan cepat pada pembukaan lagu jenis lancaran, ladrang irama tanggung. Untuk bermain kendhang, dibutuhkan orang yang sangat mendalami Budaya Jawa, dan dimainkan dengan perasaan naluri si pemain, tentu saja dengan aturan-aturan yang ada

2. Demung, Saron, Peking                                       
Alat ini biasa disebut Balungan, yang berbentuk bilahan seperti punggung sapi dengan enam atau tujuh bilah ditumpangkan pada bingkai kayu yang juga berfungsi sebagai resonator. Instrumen ini ditabuh dengan tabuh yang dibuat dari kayu. Menurut ukuran dan fungsinya, balungan ini terdapat tiga jenis seperti demung (Paling besar), saron (Sedang) dan, peking (Paling kecil).

DEMUNG
Alat ini berukuran besar dan beroktaf tengah. Demung memainkan balungan gendhing dalam wilayahnya yang terbatas. Umumnya, satu perangkat gamelan mempunyai satu atau dua demung. Tetapi ada gamelan di kraton yang mempunyai lebih dari dua demung.

SARON
Alat ini berukuran sedang dan beroktaf tinggi.Seperti demung, saron barung memainkan balungan dalam wilayahnya yang terbatas. Pada teknik tabuhan imbal-imbalan, dua saron memainkan lagu jalin menjalin yang bertempo cepat. Seperangkat gamelan mempunyai dua saron, tetapi ada gamelan yang mempunyai lebih dari dua saron.

PEKING
Berbentuk saron yang paling kecil dan beroktaf paling tinggi. Saron panerus atau peking ini memainkan tabuhan rangkap dua atau rangkap empat lagu balungan.

3. Gong
Gong menandai permulaan dan akhiran gendhing dan memberi rasa keseimbangan setelah berlalunya kalimat lagu gendhing yang panjang. Gong sangat penting untuk menandai berakhirnya satuan kelompok dasar lagu, sehingga kelompok itu sendiri (yaitu kalimat lagu di antara dua tabuhan gong) dinamakan gongan.

4. Bonang
Bonang dibagi menjadi dua jenis, yaitu bonang barung dan bonang panerus. Perbedaannya pada besar dan kecilnya saja, dan juga pada cara memainkan iramanya. Bonang barung berukuran besar, beroktaf tengah sampai tinggi, adalah salah satu dari instrumen-instrumen pemuka dalam ansambel. Khususnya dalam teknik tabuhan pipilan, pola-pola nada yang selalu mengantisipasi nada-nada yang akan datang dapat menuntun lagu instrumen-instrumen lainnya. Pada jenis gendhing bonang, bonang barung memainkan pembuka gendhing dan menuntun alur lagu gendhing.
Pada teknik tabuhan imbal-imbalan, bonang barung tidak berfungsi sebagai lagu penuntun ia membentuk pola-pola lagu jalin-menjalin dengan bonang panerus, dan pada aksen aksen penting bonang boleh membuat sekaran (lagu-lagu hiasan), biasanya di akhiran kalimat lagu.
Bonang panerus adalah bonang  yang kecil, beroktaf tinggi.
Pada teknik tabuhan pipilan, irama bonang panerus memiliki kecepatan dalam bermain dua kali lipat dari pada bonang barung. Walaupun mengantisipasi nada-nada balungan, bonang panerus tidak berfungsi sebagai lagu tuntunan, karena kecepatan dan ketinggian wilayah nadanya.
Dalam teknik tabuhan imbal-imbalan, bekerja sama dengan bonang barung, bonang panerus memainkan pola-pola lagu jalin menjalin.

5. Slenthem
Menurut konstruksinya, slenthem termasuk keluarga gender malahan kadang-kadang ia dinamakan gender panembung. Tetapi slenthem mempunyai bilah sebanyak bilah saron. Slenthem beroktaf paling rendah dalam kelompok instrumen saron. Seperti demung dan saron barung, slenthem memainkan lagu balungan dalam wilayahnya yang terbatas.

6. Kethuk dan Kenong
Kenong merupakan satu set instrumen jenis mirip gong berposisi horisontal, ditumpangkan pada tali yang ditegangkan pada bingkai kayu. Dalam memberi batasan struktur suatu gendhing, kenong adalah instrumen kedua yang paling penting setelah gong.
Kenong membagi gongan menjadi dua atau empat kalimat kalimat kenong. Di samping berfungsi menggaris-bawahi struktur gendhing, nada-nada kenong juga berhubungan dengan lagu gendhing, ia bisa memainkan nada yang sama dengan nada balungan, ia boleh juga mendahului nada balungan berikutnya untuk menuntun alun lagu gendhing, atau ia dapat memainkan nada berjarak satu kempyung dengan nada balungan, untuk mendukung rasa pathet.
Pada kenongan bergaya cepat, dalam ayaka yakan, srepegan, dan sampak, tabuhan kenong menuntun alur lagu gendhing-gendhing tersebut.
Kethuk sama dengan kenong, fungsinya juga sama dengan kenong. Kethuk dan kenong selalu bermain jalin-menjalin, perbedaannya pada irama bermainnya saja.

7. Gender
Instrumen terdiri dari bilah-bilah metal ditegangkan dengan tali di atas bumbung-bumbung resonator. Gender ini dimainkan dengan tabuh berbentuk bulat (dilingkari lapisan kain) dengan tangkai pendek.
Sesuai dengan fungsi lagu, wilayah nada, dan ukurannya, ada dua macam gender yaitu gender barung dan gender panerus.

8.  Gambang
Instrumen dibuat dari bilah – bilah kayu dibingkai pada gerobogan yang juga berfungsi sebagai resonator. Berbilah tujuh-belas sampai dua-puluh bilah, wilayah gambang mencakup dua oktaf atau lebih. Gambang dimainkan dengan tabuh berbentuk bundar dengan tangkai panjang biasanya dari tanduk/sungu. Kebanyakan gambang memainkan gembyangan (oktaf) dalam gaya pola pola lagu dengan ketukan ajeg.
Gambang juga dapat memainkan beberapa macam ornamentasi lagu dan ritme, seperti permainan dua nada dipisahkan oleh dua bilah, atau permainan dua nada dipisahkan oleh enam bilah, dan pola lagu dengan ritme – ritme sinkopasi.

9. Rebab
Instrumen kawat-gesek dengan dua kawat ditegangkan pada selajur kayu dengan badan berbentuk hati ditutup dengan membran (kulit tipis) dari babad sapi. Sebagai salah satu dari instrumen pemuka, rebab diakui sebagai pemimpin lagu dalam ansambel, terutama dalam gaya tabuhan lirih.
Pada kebanyakan gendhing-gendhing, rebab memainkan lagu pembuka gendhing, menentukan gendhing, laras, dan pathet yang akan dimainkan.Wilayah nada rebab mencakup luas wilayah gendhing apa saja. Maka alur lagu rebab memberi petunjuk yang jelas jalan alur lagu gendhing.Pada kebanyakan gendhing, rebab juga memberi tuntunan musikal kepada ansambel untuk beralih dari seksi yang satu ke yang lain.

10. Siter
Siter merupakan bagian ricikan gamelan yang sumber bunyinya adalah string (kawat) yang teknik menabuhnya dengan cara di petik. Jenis instrumen ini di lihat dari bentuk dan warna bunyinya ada tiga macam, yaitu siter, siter penerus (ukurannya lebih kecil dari pada siter), dan clempung (ukurannya lebih besar dari pada siter). Dalam sajian karawitan klenengan atau konser dan iringan wayang fungsi siter sebagai pangrengga lagu.

11. Suling

Jenis instrumen gamelan lainnya yang juga berfungsi sebagai pangrengga lagu adalah suling. Instrumen ini terbuat dari bambu wuluh atau paralon yang diberi lubang sebagai penentu nada atau laras. Pada salah satu ujungnya yaitu bagian yang di tiup yang melekat di bibir diberi lapisan tutup dinamakan jamangan yang berfungsi untuk mengalirkan udara sehingga menimbulkan getaran udara yang menimbulkan bunyi atau suara Adapun teknik membunyikannya dengan cara di tiup. Di dalam tradisi karawitan, suling ada dua jenis, yaitu bentuk suling yang berlaras Slendro memiliki lubang empat yang hampir sama jaraknya, sedangkan yang berlaras Pelog dengan lubang lima dengan jarak yang berbeda. Ada pula suling dengan lubang berjumlah enam yang bisa digunakan untuk laras Pelog dan Slendro. Untuk suling laras Slendro dalam karawitan Jawatimuran apabila empat lubang di tutup semua dan di tiup dengan tekanan sedang nada yang dihasilkan adalah laras lu (3), sedangkan pada karawitan Jawatengahan lazim dengan laras ro (2).

MAKANAN TRADISIONAL KHAS KOTA LAMONGAN

Senin, 01 Desember 2014

Wingko mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita, ketrampilan membuat Wingko, sudah turun-temurun dilestarikan warga kecamatan Babat, Lamongan. Jajanan tradisional ini dulu menjadi makanan yang mewah saat masa kolonial belanda berkuasa. Konon waktu itu tidak semua masyarakat bisa membuat apalagi merasakan lezat nya Wingko karena biaya produksinya yang cukup tinggi.

Categories

Diberdayakan oleh Blogger.