BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah
Budaya
menulis dan berkarya di Nusantara khususnya masyarakat Jawa dikenal sudah cukup
lama. Terbukti dengan banyak ditemukannya karya-karya sastra yang mempunyai
umur lebih dari satu abad, atau lebih dari seratus tahun. Wujud dari hasil
karya tulis di Nusantara berisi gambaran kehidupan manusia yang mencakup
berbagai bidang keilmuan, baik sosial-budaya, keagamaan, kebahasaan, kerajinan
tradisi, dan lain-lain. Haryati (1991:2) menerangkan bahwa setiap ungkapan manusia
baik tertulis maupun lisan
bisa dinilai sebagai cerminan suasana pemikiran dan kehidupan bangsa yang
melahirkannya. Oleh karena itu karya sastra tersebut dikategorikan sebagai
peninggalan sejarah atau hasil budaya yang memuat banyak informasi mengenai
kehidupan dan kebudayaan suatu bangsa pada masa lampu.
Karya-karya
sastra khususnya tulis
yang berupa naskah/manuskrip, ditulis dalam Bahasa Jawa. Naskah klasik yang merupakan wujud
dari hasil karya sastra Jawa
berbentuk piwulang, babad, dan tembang. Sastra piwulang merupakan suatu karya
sastra yang di dalamnya mengandung ajaran, nilai moral dalam kehidupan
sehari-hari. Sastra babad merupakan karya sastra berisi tentang cerita-cerita yang
berfungsi untuk melegitimasi raja-raja atau orang-orang tertentu yang dianggap
atau yang pantas dihormati. kedua karya sastra ini sifatnya bebas dan tidak
terikat oleh aturan-aturan penulisan karya sastra lainnya seperti guru gatra, guru lagu, guru wilangan,
atau bisa disebut gancaran. Tembang menurut Widodo B.S
(2008:1) adalah karya
sastra yang terikat oleh persajakan dan mengandung nada berbentuk lagu. Pola
persajakan macapat ada beberapa macam yang masing-masing mempunyai guru gatra , guru lagu, dan guru wilangan. Guru gatra adalah jumlah larik
pada setiap pada. Guru lagu adalah huruf vocal terakhir
pada setiap akhir gatra. Sedangkan guru wilangan adalah jumlah wanda atau suku kata pada setiap gatra.
Di dalam naskah Jawa, tersimpan beraneka ragam nilai-nilai luhur
budaya bangsa yang tertuang di dalamnya yang merupakan sumber pengetahuan
berkaitan dengan kebudayaan dan peradaban Jawa pada masa lalu. Naskah-naskah di
Jawa ada yang ditulis menggunakan aksara pegon dan juga ada yang ditulis
menggunakan aksara Jawa. Naskah beraksara pegon biasanya bersumber di Pesantren
yang disebut naskah pesantrenan. Naskah tersebut ditulis oleh para Wali,
ulama’, atau kyai. Naskah yang beraksara Jawa kebanyakan bersumber di Keraton,
yang ditulis oleh seorang pujangga keraton.
Naskah-naskah
itu ditulis menggunakan bahan yang berkualitas pada jamannya, seperti pada
kulit kayu, bambu, lontar, kertas dan sebagainya. Namun karena faktor usia,
musim, dan cuaca naskah tersebut mengalami kelapukan, sobek bahkan hilang
karena tidak dijaga. Oleh karena itu suatu naskah dapat dikatakan memiliki umur
yang sangat terbatas. Dengan demikian keadaan suatu naskah tidak selalu baik,
ditambah variasi dalam bentuk tulisan membuat kesulitan tersendiri bagi
masyarakat sekarang. Tidak semua orang dapat memahami dan menggali informasi yang
terkandung dalam naskah tersebut. Oleh karena masyarakat saat ini kurang sadar
akan pentingnya isi teks yang terkandung dalam naskah.
Mengingat
bahwa filologi adalah ilmu yang berhubungan dengan naskah lama dan berusaha
menggali pengetahuan, bahasa, sastra, kebudayaan, sejarah yang tersimpan dalam
peninggalan-peninggalan masa lampau berupa teks atau naskah, maka filologi
merupakan ilmu yang sangat berperan sebagai fondasi untuk kerja lanjut.
Penggarapan naskah melalui kajian filologi
merupakan salah satu upaya untuk mengungkap warisan nenek moyang yang
tersimpan di dalam naskah. Apabila naskah telah hancur karena umurnya yang
sudah tua, maka akan semakin sulit dalam menggali isi yang terkandung di dalam
naskah tersebut. Baried (1994) mengungkapkan studi filologi terhadap karya
tulis masa lampau dilakukan karena adanya anggapan bahwa dalam peninggalan
tulisan terkandung nilai-nilai yang masih relevan dengan kehidupan masa kini. Selain
itu naskah merupakan salah satu peninggalan nenek moyang yang berharga yang dimiliki
bangsa Indonesia. Berhubung naskah merupakan suatu aset peninggalan yang
tertulis dan juga merupakan salah satu hasil budaya yang dapat memberikan
pengetahuan mengenai informasi sejarah kebudayaan masa lalu, maka perlu dan
penting untuk segera dilakukan penelitian.
Salah
satu Naskah lama yang dapat dijadikan objek penelitian filologi ini adalah Serat Pratelan Wesi Aji Serat Primbon Jati (SPWASPJ). Naskah SPWASPJ adalah salah satu naskah dari sekian banyak naskah yang ada
di Indonesia. Naskah SPWASPJ ini
tersimpan di pihak pengkoleksi naskah Perpustakaan Radyapustaka Surakarta
dengan nomor naskah RP 219.
Naskah
SPWASPJ ini terdiri dari 61 halaman
yang masih ditulis menggunakan tulisan tangan berbahasa Jawa dan beraksara jawa.
Kondisi naskah SPWASPJ saat ini terlihat
sudah sangat lapuk dan rapuh. Dilihat dari fisiknya beberapa halaman dalam naskah
tersebut sempat sobek yang kemudian disambungkan kembali menggunakan selotip.
Hal itu dimungkinkan karena kurang berhati-hati dalam membawa atau
memperlakukan naskah, sehingga tulisan atau aksaranya sangat sulit dipahami dan
itu merupakan kendala bagi peneliti sekaligus tantangan.
Naskah
SPWASPJ terbentuk dari kata Serat, Pratelan, Wesi Aji, Serat, Primbon dan Jati. pratelan adalah kata bahasa Jawa yang berasal dari kata dasar pratela yang artinya ‘memberitahukan
kepada;’ kemudian mendapat imbuhan (-an) sehingga menjadi Pratelan yang artinya ‘keterangan’. Wesi aji berarti ‘pusaka atau senjata tajam seperti keris, tombak, cundrik
dan sebagainya’, sedangkan primbon artinya
‘ramalan, buku yang memuat ramalan’ dan jati artinya ‘nyata, asli’. Serat Pratelan Wesi Aji Serat Primbon Jati dapat
diartikan ‘keterangan tentang pusaka dan ramalan-ramalan’.
Naskah
SPWASPJ adalah salah satu naskah yang
berbentuk prosa. Dalam teks naskah SPWASPJ
ini berisi tentang wasiat dari Panembahan Karang atau yang disebut Mudhik
Bathara Karang, guru dari Pendeta Empu Ramadi. Dilihat dari judul naskah, tentunya
isi dari naskah ini tidak jauh dari pembahasan seputar wesi aji atau keris. Selain itu naskah ini juga membahas tentang prombon atau ramalan-ramalan kehidupan yang
dipercara pada masa lalu.
Isi
teks naskah ini menjelaskan dengan rinci tentang jenis-jenis besi yang
digunakan untuk membuat keris. Naskah ini juga menyebutkan tentang nama-nama
jenis besi serta perbedaan jenis besi yang ditinjau dari bentuk fisik dan juga
bunyi yang dihasilkan setelah dipukul atau diketuk. Kesaktian yang dimiliki
dari masing-masing besi juga berbeda dan beraneka ragam. Contohnya, // wesi walulin uninne “gung” lan gumeter ulese biru ototte kaya wedhi
malela iyaiku diarani wesi akas, bisa anggawa harta dhewe astu kang den ingu
kajen ing wong akeh bisa angrampungi prakara kang angel, ampuh, wanan lir geni
pakannanne balung tekek, balung laNdhak, lan kayu garu den wor iwur wurwurake
lenganne krambil ijo//. ‘Besi walulin bunyinya “gung”
dan bergetar bercorak biru, ototnya seperti pasir baja yaitu disebut besi akas, bisa membawa harta sendiri, yang
memelihara pasti akan di hormati oleh banyak orang, bisa menyelesaikan perkara
yang sulit, hebat, pemberani seperti api. Makanannya tulang tokek, tulang
landhak, dan kayu garu dicampur aduk jadi satu ditaburkan, minyaknya kelapa
hijau’. Besi walulin merupakan salah satu jenis besi yang ada dalam teks SPWASPJ.
Selain
membahas tentang besi, naskah SPWASPJ juga
membahas tentang jenis dan nama-nama keris yang pernah ada di Pulau Jawa. Dimulai
dari tahun 152 sampai tahun 725 (tahun Jawa) disebutkan ada 18 nama keris
kondang di pulau jawa yang pernah dibuat, yang kemudian diturunkan oleh para
Empu kepada Empu penerusnya sampai pada tahun 1529 (tahun Jawa). Selain itu
kelemahan dan lawan dari masing-masing keris juga disebutkan. Isi naskah selain
membahas tentang pusaka orang-orang jawa atau pusaka raja-raja Jawa, naskah ini
juga membahas tentang primbon (ramalan) yang diyakini dan
dipercaya oleh masyarakat Jawa pada jaman dahulu.
Dalam
naskah tertulis beberapa jenis ramalan di antaranya ramalan tentang
denyutan-denyutan yang terjadi di bagian wajah tubuh tangan dan kaki, ramalan
tentang mimpi, ramalan tentang suara dari burung prenjak dan juga burung gagak,
dan masih banyak lagi. Dalam naskah ini tertulis bahwa ramalan ini tidak pernah
meleset.
Aksara
yang digunakan dalam naskah SPWASPJ menggunakan
aksara jawa yang masih ditulis menggunakan tangan. Penelitian terhadap naskah SPWASPJ
dapat dikaji dari berbagai disiplin ilmu diantaranya adalah secara
linguistik dan budaya.
Pengkajian dari segi linguistik
terhadap naskah SPWASPJ, dapat
mengetahui struktur bahasa yang ada dalam naskah. Salah satunya dengan cara
membandingkan bahasa yang terdapat dalam naskah tersebut dengan bahasa yang
sudah berkembang pada masa sekarang. Selain itu naskah ini juga menyediakan
data-data bahasa yang sistem penulisannya berbeda dengan kaidah penulisan sekarang.
Naskah SPWASPJ dikaji
dari segi budaya. Hal itu juga dapat dilakukan karena naskah SPWASPJ merupakan rekaman pengetahuan
pada masa lampau. Sehinga adanya naskah dapat diketahui budaya yang berkembang
pada saat naskah itu ditulis.
Pengkajian-pengkajian di atas
tidak akan bisa dicapai sebelum naskah SPWASPJ dikaji
menggunakan kajian secara filologi. Karena, pada dasarnya ilmu filologi memang
bertujuan untuk mengkaji, memahami dan menjelaskan isi naskah. Seperti yang
dijelaskan Haryati (1991: 9), filologi memang semata-mata bertujuan untuk
memahami dan menjelaskan isi naskah sesuai, atau sedekat mungkin, dengan makna
yang dimaksudkan dalam penulisan aslinya. Dengan
demikian, hasil dari pengkajian naskah SPWASPJ
ini dapat memberikan informasi baik dari isi sampai kejelasan tulisan dari
naskah tersebut.
Beberapa
pertimbangan yang dijadikan alasan untuk memilih naskah ini sebagai objek
penelitian adalah, pertama naskah SPWASPJ
masih berupa manuskrip sehingga akan sangat susah dipahami. Mengingat bahwa
tidak semua orang bisa membaca manuskrip karena tulisan yang kurang jelas.
Kedua, naskah SPWASPJ belum pernah
diterjamahkan kedalam bahasa yang mudah dipahami khalayak umum sehingga sangat
perlu untuk diteliti secara filologis. Alasan ketiga, naskah SPWASPJ berisi tentang warisan sejarah
yang perlu diungkap agar dapat dikenal generasi saat ini.
2.1
Batasan
Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang di atas, naskah Serat
Pratelan Wesi Aji Serat Primbon Jati ini dapat diteliti dengan menggunakan
berbagai bidang ilmu. Ilmu-ilmu tersebut antara lain ilmu bahasa/linguistik
karena teks tersebut dapat memberikan data-data kebahasaan yang berhubungan
dengan perkembangan bahasa di masa lampau.
Namun
sebelum semua itu dapat dilakukan, naskah Serat
Pratelan Wesi Aji Serat Primbon Jati diperlukan penelitian secara filologis
terlebih dahulu, yakni peneliti menyajikan teks secara sahih. Penyajian teks
secara sahih akan dapat membantu penelitian-penelitian berikutnya yang
berkaitan dengan naskah Serat Pratelan
Wesi Aji Serat Primbon Jati. Oleh sebab itu, penelitian ini dibatasi pada
ranah pengkajian teks naskah Serat
Pratelan Wesi Aji Serat Primbon Jati secara filologis.
3.1
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang dan batasan masalah di atas, yang menjadi fokus
penelitian ini yaitu bagaimana menyajikan teks naskah Serat Pratelan Wesi Aji Serat Primbon Jati secara sahih sesuai
dengan kaidah filologis.
4.1
Tujuan
Penelitian
Tujuan
penelitian ini sejalan dengan rumusan masalah di atas, yaitu mendeskripsikan
naskah Serat Pratelan Wesi Aji Serat
Primbon Jati secara sahih menurut kaidah filologis.
5.1
Manfaat
Penelitian
Hasil
dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis
maupun praktis. Manfaat teoretis mengenai penelitian ini yaitu dapat
mengembangkan wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang filologi. Khususnya
para mahasiswa program studi Sastra Jawa untuk memahami naskah sesuai kaidah
filologi.
Manfaat
secara praktis, yaitu dapat membantu pembaca dalam memahami isi teks dari
naskah Serat Pratelan Wesi Aji Serat
Primbon Jati sesuai dengan kajian filologi. Selain itu dapat menambah
referensi bagi mahasiswa Sastra Jawa dalam melakukan penelitian filologi
lainya.
2.1 Pengertian
Filologi
Filologi merupakan
suatu pengetahuan mengenai sastra-sastra dalam arti yang luas yang di dalamnya
mencakup bidang kebahasaan, kesastraan, dan kebudayaan (Baried, dkk, 1985:1).
Pendapat tersebut sejalan dengan Sulistyorini (2015:2) yang menjelaskan bahwa
filologi merupakan suatu pengetahuan yang mempelajari tentang sastra,
kebahasaan, sejarah, filsafah hidup, dan kebudayaan yang ada dalam naskah.
Kedua pendapat di atas kemudian diperkuat oleh Fathurahman (2015:12) dalam
bukunya yang menjelaskan filologi adalah kajian bahasa dari berbagai sumber
tertulis yang dalam arti lain merupakan gabungan kritik sastra, sejarah, dan
linguistik.
Secara
etimologi, filologi berasal dari bahasa Yunani philologia, yang terdiri dari dua kata yaitu philos yang berarti “yang tercinta”, dan logos yang berarti “kata, artikulasi, alasan” (Fathurahman, 2015:13). Berdasarkan
pengertian di atas secara harfiah filologi berarti “cinta kata” atau “senang
bertutur” yang kemudian diartikan sebagai “senang belajar” atau “senang
kebudayaan”. Penjelasan tersebut kemudian berkembang menjadi ilmu bahasa, ilmu
bantu sastra, lalu diartikan sebagai ilmu tentang kebudayaan suatu bangsa. Dalam
pengertian yang lebih luas, filologi disebut juga sebagai ilmu yang menyelidiki
perkembangan kerohanian suatu bangsa atau menyelidiki kebudayaan berdasarkan
bahasa dan kesusastraannya yang terdapat dalam teks naskah-naskah lama
(Suryani, 2011:2).
Pendapat
yang sedikit berbeda dengan pendapat-pendapat di atas dikemukakan oleh Mulyadi
(1991:3) yaitu filologi merupakan sebuah teknik telaah yang berkaitan dengan
masalah-masalah mengenai pemahaman dokumen tertulis maupun ungkapan lisan. Di sisi
lain, filologi dapat dipahami sebagai disiplin khusus yang mampu memberi kejelasan
tentang sejarah kebudayaan suatu bangsa (Purnomo, 2013:12). Dari beberapa
pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa filologi merupakan ilmu yang
berusaha mengungkapkan hasil budaya bangsa masa lampau melalui pengkajian isi
teks dalam naskah maupun lisan. Dengan demikian sudah sangat jelas bahwa
filologi merupakan ilmu yang dipandang sebagai jembatan untuk mengungkap
khasanah masa lampau pada generasi saat ini.
2.2
Objek Kajian
Filologi
Sebagai disiplin ilmu, filologi memiliki objek penelitian. Sebagaimana yang
diuraikan di atas maka objek kajian filologi berupa teks dan naskah. Menurut
Sulistyorini (2015:18) teks itu sendiri merupakan bagian dari naskah, dan
naskah merupakan wadahnya. Sedangkan Suryani (2011:47) berpendapat bahwa teks adalah kandungan
atau muatan suatu naskah, yang abstrak dan hanya dapat dibayangkan saja. Pendapat
yang sejalan dengan Suryani diungkapkan oleh Fathurahman (2015:22). Ia
menjelaskan bahwa teks tersebut merupakan tulisan atau kandungan isi yang
terdapat dalam suatu naskah. Dari beberapa pendapat di atas maka dapat diambil
kesimpulan bahwa teks merupakan isi, kandungan atau muatan suatu naskah yang
bersifat abstrak.
Teks itu sendiri terdiri
atas isi yaitu ide-ide atau amanat yang akan disampaikan pengarang kepada
pembaca. Selain isi, teks juga terdiri atas bentuk yaitu cerita dalam teks yang
dapat dibaca dan dipelajari menurut berbagai pendekatan melalui alur,
perwatakan, gaya bahasa dan sebagainya. Dalam penjelmaan dan penurunanya secara
garis besar dapat disebutkan adanya tiga macam teks, yaitu teks lisan tidak
tertulis, teks naskah tulisan tangan dan teks cetakan.
Adapun Naskah adalah sebuah
bahan tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai
hasil budaya bangsa masa lampau (Hartini, 2012:16). Jadi naskah merupakan benda konkrit yang dapat
dilihat dan dipegang. Fathurahman (2015:22) juga mengatakan hal yang sama yaitu
naskah merupakan benda fisik dokumen dari teks.
Filologi Indonesia, kata “naskah” dan “manuskrip” memiliki pengertian yang sama, keduanya merujuk pada
dokumen yang
di dalamnya terdapat teks tulisan
tangan, baik berbahan kertas,
dluwang, lontar, bambu dan lainnya. Menurut
Fathurahman
(2015:23),
kata manuskrip biasa disingkat menjadi MS (manuscript)
untuk naskah tunggal,
dan MSS (manuscripts) untuk merujuk naskah yang berjumlah lebih dari satu atau
jamak.
Selanjutnya menurut
Suryani (2012:47) semua bahan tulisan tangan itu disebut naskah ‘handschrift’ dengan singkat hs untuk tunggal, dan hss untuk jamak.
Sebagai
peninggalan masa lampau, naskah mampu memberikan informasi mengenai berbagai
aspek kehidupan masyarakat masa lampau. Seperti yang dijelaskan Soeratno
melalui Saputra (1997:11) informasi yang terkandung dalam naskah-naskah
Indonesia antara lain, berupa ajaran agama, sejarah hukum, adat istiadat,
filsafat, politik, sastra, astronomi, ajaran moral, mantera, doa, obat-obatan,
mistik, bahasa, bangunan, dan tumbuh-tumbuhan.
Tempat
penyimpanan naskah lama yang ada di Nusantara seperti yang diungkapkan
Sulistyorini (2015:31) bahwa saat ini naskah tersimpan di berbagai museum, perpustakaan,
dan perorangan. Naskah lama tersebut selain tersimpan di museum, perpustakaan,
maupun perorangan juga ada yang tersimpan di luar Negeri. Dengan demikian untuk
mengetahui keberadaannya dapat ditelusuri melalui katalog-katalog yang
tersedia.
Naskah-naskah lama
umumnya memiliki usia yang sangat tua. Menurut Fathurahman (2015:5), naskah
tersebut berusia puluhan, atau bahkan mencapai ratusan tahun. Florida (2003:20)
juga mengungkapkan hal yang serupa yaitu, sebagian besar naskah ditulis dalam
rentang masa 250 tahun. Oleh sebab itu selama kurun waktu yang panjang karya
tersebut diturunkan berturut-turut oleh sederetan penyalin (Molen, 2011:1). Penyalinan
demi penyalinan dilakukan dengan berbagai alasan misalnya, karena faktor usia
yang dapat menyebabkan kelapukan hingga akhirnya rusak, terbakar, atau hilang
karena tidak dijaga. Sedangkan sebelum mengenal cetakan naskah tersebut disalin
secara manual. Akibatnya selama proses penyalinan tersebut dimungkinkan dapat
terjadi beberapa kesalahan atau perbedaan dan kerusakan dalam naskah (Molen,
2011:1). Di samping perubahan dan kerusakan yang terjadi karena
ketidaksengajaan, penyalin juga dapat mengubah dengan menambahkan atau
mengurangi sesuai seleranya atau disesuaikan dengan situasi dan kondisi pada
jaman penyalinannya.
Mengingat bahwa
peninggalan tulisan masa lampau telah mengalami proses penyalinan dari waktu ke
waktu yang menyebabkan kerusakan pada teks. Adapun permasalahan tersebut maka
kritik teks dalam kajian filologi sangat diperlukan demi menghasilkan suatu
teks yang bersih dari kesalahan atau kerusakan saat penyalinan. Hal itu
didukung oleh Molen (2011:1) yang
mengatakan bahwa kajian filologi memang berusaha menghentikan proses perusakan,
dan bila mungkin mengembalikan atau merekonstruksi karya sehingga kembali
seperti aslinya.
2.3 Kritik
Teks
Istilah kritik teks adalah suatu langkah
penelitian naskah untuk memberikan evaluasi terhadap teks, dengan cara meneliti,
membandingkan teks yang satu dengan teks lainnya, serta menentukan teks manakah
yang paling baik untuk dijadikan bahan suntingan (Basuki, 2004:39). Hal itu sejalan dengan Purnomo (2013:13) yang mengatakan
bahwa kritik teks diartikan sebagai suatu upaya yang dilakukan untuk perbaikan,
pelurusan, dan representasi ulang teks. Prinsip kritik teks berfungsi untuk
membersihkan dari kesalahan-kesalahan atau penyimpangan yang timbul karena
ketidak sengajaan di suatu pihak, dan perkembangan yang tidak
dipertanggungjawabkan (Purnomo 2013:47).
Kerusakan-kerusakan
tersebut tentu saja mampu menjauhkan tulisan-tulisan dari masa lampau dengan
bentuk aslinya. Oleh sebab itu Barried (1985:61) menyampaikan bahwa tujuan dari kritik teks yaitu untuk
menghasilkan teks yang sedekat-dekatnya dengan teks aslinya (constitution
textus). Hal itu juga
didukung oleh Sulastin melalui
Suryani
(2006:80) yang mengatakan kritik teks yaitu menghasilkan suatu
teks yang paling mendekati aslinya. Kritik teks sendiri
mengandung pengertian telaah kritis secara sistematis dan metodis terhadap
teks-teks sastra dalam naskah-naskah lama tertentu (Purnomo 2013:25).
Transliterasi yaitu pemindahan atau penggantian jenis tulisan secara
menyeluruh, huruf demi huruf dari satu abjad ke abjad yang lain (Purnomo,
2013:42). Pengertian yang sama juga diungkapkan oleh Barried (1985:65) yaitu
penggantian jenis tulisan, huruf demi huruf dari abjad yang satu ke abjad yang
lain. Dari kedua pendapat tersebut releven dengan pendapat yang dikemukakan
Sulistyorini (2015:40) bahwa transliterasi adalah penggantian jenis tulisan huruf
demi huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain. Dalam khasanah filologi
istilah transliterasi sering disejajarkan dengan istilah lain yang sejenis,
yaitu transkripsi.
Secara khusus, transkripsi diartikan sebagai penggantian tulisan atau
penyalinan teks dengan mengubah ejaan naskah ke ejaan lain yang berlaku
(Purnomo, 2013:42). Sejalan dengan pendapat Barried (1985:65) yaitu salinan
atau turunan tanpa mengubah jenis tulisan. Sulistyorini (2015:40) juga berpendapat
sama bahwa transkripsi adalah pengubahan teks dari satu ejaan ke ejaan yang
lain. Tujuannya untuk menunjukan tradisi filologi, yaitu penyalinan naskah
tanpa mengubah jenis tulisanya (hurufnya sama).
Metode penyuntingan dalam kajian filologi digolongkan menjadi dua
macam, yaitu naskah tunggal dan naskah jamak. Penelitian ini menggunakan metode
naskah tunggal karena naskah ini diduga hanya ditemukan sebagai naskah tunggal
sehingga tidak diperlukan perbandingan naskah.
Menurut (Baried 1994:67) apabila hanya ada naskah tunggal dari suatu
tradisi perbandingan tidak mungkin dilakukan, sehingga dapat ditempuh dengan
dua jalan yaitu edisi diplomatik dan edisi standar. Pendapat tersebut senada
dengan pendapat Sulistyorini (2015:78), Ia mengungkapkan bahwa jika hanya ada
naskah tunggal dari suatu tradisi, maka peneliti tidak melakukan perbandingan
naskah atau teks. metode edisi naskah tunggal dilakukan dengan dua cara yaitu
edisi diplomatik dan edisi standar.
Edisi diplomatik itu sendiri, yaitu peneliti menerbitkan suatu naskah
secara teliti tanpa mengadakan atau menghadirkan teks yang memiliki bacaan
terbaik, melainkan untuk menyajikan teks apa adanya (Fathurahman 2015:90). Sulistyorini
(2015:78) juga mengungkapkan hal yang sama, edisi diplomatik adalah penerbitan
naskah secara cermat dan teliti tanpa mengadakan perubahan.
Edisi standar, yaitu menerbitkan naskah dengan membetulkan
kesalahan-kesalahan kecil dan ketidak-ajegan, sedang ejaannya disesuaikan
dengan ketentuan yang berlaku (Sulistyorini 2015:78). Edisi ini juga dijelaskan
oleh Fathurahman (2015:90) yaitu model suntingan teks yang dihasilkan melalui
hasil olah penyunting dengan tujuan mendapatkan sebuah teks dengan kualitas
bacaan terbaik. Ia menyebutnya sebagai edisi kritik.
Dari kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa edisi standar atau
edisi kritik ini bertujuan untuk menghasilkan suatu teks dengan kualitas bacaan
terbaik. Artinya memperbaiki kesalahan-kesalahan teks dengan menyesuaikan
kemajuan dan perkembangan masyarakat. Hal itu dilakukan dengan harapan agar teks
dapat dipahami oleh pembaca. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan edisi
standar. Hal ini berkaitan dengan upaya rekontruksi teks supaya terhindar dari
kesalahan-kesalahan yang timbul akibat proses penulisan atau penyalinan.
2.4 Penerjemahan
Penerjemahan adalah alih bahasa dari bahasa sumber
ke bahasa sasaran. Pada umumnya teks masih melekat dengan kondisi penulisnya
baik geografis, pendidikan, agama. Tujuan dari penerjemahan ini Agar bahasa
tersebut mudah dimengerti oleh pembaca. Pendapat di atas selaras dengan
Darusuprapta (1984: 9) yakni agar masyarakat yang tidak menguasai bahasa naskah
aslinya dapat juga menikmati, sehingga naskah itu tersebar luas. Terdapat 3
prinsip penerjemahan Menurut (Darusuprapta,
1984:
9). Adapun prinsip penerjemahan sebagai berikut:
a. Terjemahan lurus: terjemahan kata
demi kata, dekat dengan aslinya, berguna untuk membandingkan segi-segi
ketatabahasaan.
b. Terjemahan isi atau makna: kata-kata
yang diungkapkan dalam bahasa sumber diimbangi salinannya dengan kata-kata
bahasa sasaran yang sepadan.
c. Terjamahan bebas: keseluruhan
teks bahasa sumber dialihkan dengan bahasa sasaran secara bebas.
Naskah SPWASPJ merupaka naskah yang berbentuk
prosa sehingga terjemahan yang digunakan dalam naskah SPWASPJ ini adalah terjemahan isi atau makna. Hal ini dilakukan
untuk memudahkan para pembaca dalam memaknai isi yang terkandung dalam teks SPWASPJ.
BAB
III
METODE
PENELITIAN
3.1 Data
dan Sumber Data
Data yang diteliti dalam skripsi ini adalah teks dalam
naskah Serat Pratelan Wesi Aji Serat
Primbon Jati (SPWASPJ). Naskah
(SPWASPJ) ini diperoleh
di Museum Radyapustaka
Surakarta dengan nomor naskah
RP 219. Naskah (SPWASPJ)
ini ditulis menggunakan Bahasa Jawa, dan berhuruf Jawa (aksara Jawa) dengan tebal 61 halaman. Data penelitian ini
diperoleh melalui penelusuran naskah melalui katalog. Beberapa cara yang
dilakukan peneliti dalam rangka studi katalog adalah cara mencari informasi
tentang naskah dari katalog yang ada, sehingga dari katalog tersebut dapat
diketahui di mana naskah itu berada. Adapun sumber data dalam penelitian ini
yaitu di pihak pengkoleksi naskah Museum Radyapustaka Surakarta.
3.2 Metode
Transliterasi
Transliterasi merupakan rangkaian kegiatan dalam kerja
filologi yaitu dengan mengalih aksarakan atau penggantian jenis aksara yang
umumnya aksara tersebut belum dikenal oleh masyarakat luas dengan aksara lain
dari abjad lain yang sudah dipahami dan dikenali oleh masyarakat luas (Basuki
2004:42). Menurut Baried
(1994:63) Transliterasi
merupakan proses pergantian jenis tulisan naskah dari huruf demi huruf serta
dari abjad yang satu ke abjad yang lain. Namun,
menurut Robson (1994:24) transliterasi merupakan proses pemindahan dari satu
tulisan ke dalam tulisan lainnya.
Kegiatan mentransliterasi ini sangat penting dilakukan
mengingat tidak sedikit yang mengatakan bahwa para generasi muda sekarang
kebanyakan merasa kesulitan dalam membaca bahasa dan aksara Jawa. Oleh karena
itu, untuk memperkenalkan isi teks-teks lama perlu dilakukan mengalih aksarakan
teks. Ada dua macam metode dalam pengalihan aksara, yaitu dengan menggunakan
metode transkripsi dan metode transliterasi. Metode transkripsi adalah salinan
atau turunan tanpa mengganti macam tulisan, atau bisa disebut menyalin
tulisan tanpa mengganti jenis aksaranya, sedangkan metode transliterasi adalah penggantian
jenis tulisan, huruf demi huruf dari abjad satu ke abjad yang lain (Baried 1985: 65).
Naskah SPWASPJ yang
menjadi bahan penelitian ditulis dengan menggunakan aksara Jawa. Oleh karena itu, teks perlu ditransliterasikan
ke dalam huruf latin agar teks SPWASPJ dapat
lebih mudah dibaca, dimengerti, dipahami oleh kalangan yang lebih luas tidak hanya orang yang bisa
membaca huruf Jawa. Acuan dalam menstransliterasi teks
naskah Serat
Pratelan Wesi Aji Serat Primbon Jati sehingga dapat
dipertanggungjawabkan secara teoretis maka dalam transliterasi menggunakan Pedoman Penulisan Aksara Jawa (Darusuprapta 2002) serta Pedoman Umum Ejaan Bahasa Jawa Yang
Disempurnakan (Griya Jawi Unnes 2008). Berikut ini dikemukakan pedoman
penulisan bahasa Jawa dengan aksara atau huruf latin.
a. Aksara
Carakan dan Pasangan-nya
Aksara
yang digunakan di dalam naskah SPWASPJ
adalah
aksara Jawa. Aksara Jawa baku terdiri dari duapuluh huruf, dengan semua
keseluruhannya berbentuk suku kata. Tiap-tiap aksara pokok mempunyai aksara
pasang dengan tujuan agar menjadikan huruf di depannya menjadi konsonan.
Tujuannya agar dapat menghubungkan dengan huruf berikutnya kecuali suku kata
yang berbentuk tertutup seperti wignyan (ꦾ), cecak ( ꦼ) dan layar ( ꦽ).
Tabel 1 Aksara Jawa dan Pasangan-nya.
No
|
Aksara
|
Pasangan
|
Pengganti Huruf
|
Pemakaian dalam kata
|
1
|
ꦀ
|
ꦔ
|
Ha
|
ꦀꦏꦷꦺꦅꦁꦕꦶ
Amèdenni
|
2
|
ꦁ
|
ꦕ
|
Na
|
ꦁꦉꦶꦄ
Nalika
|
3
|
ꦂ
|
ꦖ
|
Ca
|
ꦂꦂꦀꦺꦔ
Cacahe
|
4
|
ꦃ
|
ꦗ
|
Ra
|
ꦃꦏꦥꦹꦆꦿ
Rambut
|
5
|
ꦄ
|
ꦘ
|
Ka
|
ꦄꦺꦆꦻꦁꦿ
Katon
|
6
|
ꦅ
|
ꦙ
|
Da
|
ꦅꦐꦼ
Dagang
|
7
|
ꦆ
|
ꦚ
|
Ta
|
ꦆꦊ
Tapa
|
8
|
ꦇ
|
ꦛ
|
Sa
|
ꦇꦐꦃ
Sagara
|
9
|
ꦈ
|
ꦜ
|
Wa
|
ꦈꦇꦶꦍꦆꦿ
Wasiyat
|
10
|
ꦉ
|
ꦝ
|
La
|
ꦉꦁꦼ
Lanang
|
11
|
ꦊ
|
ꦞ
|
Pa
|
ꦊꦺꦓꦃꦁꦿ
Pangeran
|
12
|
ꦋ
|
ꦟ
|
Dha
|
ꦋꦋ
Dhadha
|
13
|
ꦌ
|
ꦠ
|
Ja
|
ꦌꦏꦁꦿ
Jaman
|
14
|
ꦍ
|
ꦡ
|
Ya
|
ꦍꦇ
Yasa
|
15
|
ꦎ
|
ꦢ
|
Nya
|
ꦎꦆ
Nyata
|
16
|
ꦏ
|
ꦣ
|
Ma
|
ꦏꦓꦶꦈ
Mangiwa
|
17
|
ꦐ
|
ꦤ
|
Ga
|
ꦐꦐꦏꦁꦿ
Gagaman
|
18
|
ꦑ
|
ꦥ
|
Ba
|
ꦑꦉꦸꦼ
Balung
|
19
|
ꦒ
|
ꦦ
|
Tha
|
-
|
20
|
ꦓ
|
ꦧ
|
Nga
|
ꦓꦼꦺꦐꦻ
Nganggo
|
b. Aksara
Swara
Aksara swara
merupakan bagian dari jenis huruf Jawa yang dipergunakan untuk menulis aksara
vokal yang menjadi suku kata, terutama yang berasal dari bahasa asing untuk
mempertegas pelafalannya. Keseluruhan aksara swara berjumlah lima buah yaitu,
a, i, u, é,
o. Aksara swara ini tidak dapat dijadikan pasangan sehingga aksara sigeg di depannya harus dimatikan dengan
pangkon. Kelima aksara swara tersebut
diuraikan dalam tabel di bawah ini.
Tabel 2 Aksara Swara
Aksara Swara
|
Pengganti Huruf
|
Pemakaian dalam kata
|
꧕ꦛ
|
A
|
꧕ꦛꦉꦝꦾ
Allah
|
ꦑ꧉
|
I
|
ꦑ꧉ꦁꦛ꧕ꦛꦉꦝ
InsAlla
|
ꦓ꧗
|
U
|
-
|
ꦈ꧗
|
O
|
ꦈ꧗ꦼꦄ
Ongka
|
꧖
|
E
|
-
|
c. Aksara
Murda
Menurut Darusuprapta (1984:11-12) jumlah aksara murda terdiri dari delapan buah huruf.
Aksara murda digunakan untuk
penulisan gelar, nama besar, nama diri, nama geografi, nama lembaga
pemerintahan, dan nama lembaga berbadan hukum. Aksara murda tidak dipakai sebagai penutup dari suku kata, dan tidak
identik dengan pemakaian huruf kapital dalam ejaan latin.
Tabel 3 Aksara Murda
No
|
Aksara Murda
|
Pengganti Huruf
|
Pemakaian dalam kata
|
1
|
ꦨ
|
Na
|
ꦨꦮꦶ
NaBi
|
2
|
ꦩ
|
Ka
|
ꦩꦼꦌꦷꦼ
Kangjèng
|
3
|
ꦪ
|
Ta
|
ꦪꦷꦭꦉꦿ
TèGal
|
4
|
ꦫ
|
Sa
|
ꦫꦍꦶꦅꦙꦶꦨ
SayiddiNa
|
5
|
ꦬ
|
Pa
|
ꦬꦨꦟꦶꦪ
PaNdhiTa
|
6
|
ꦌ꧉
|
Nya
|
-
|
7
|
ꦭ
|
Ga
|
ꦀꦷꦏꦞꦸꦭꦅ
èmpu Gada
|
8
|
ꦮ
|
Ba
|
ꦮꦒꦃ
Bathara
|
d. Sandhangan
Sandhangan merupakan
penanda bunyi pada aksara Jawa yang
menandai aksara itu sehingga berbunyi
lain dari asalnya. Sandhangan dalam aksara Jawa ada 3 macam yaitu, 1) sandhangan swara, 2) sandhangan panyigeg
wanda, dan 3) sandhangan wyanjana. Adapun
macam-macam sandhangan diuraikan
sebagai berikut ini.
1) Sandhangan Swara
Sandhangan swara
adalah sandhangan yang berfungsi
sebagai penanda untuk mengubah bunyi yang berbeda dari aksara semula. Sandhangan swara terdiri dari lima macam
yaitu, wulu, suku, taling, taling tarung,
dan pepet.
Tabel 4 Sandhangan swara
No
|
Sandhangan swara
|
Pengganti huruf
|
Nama
|
Pemakaian dalam kata
|
1
|
ꦶ
|
I
|
Wulu
|
ꦅꦃꦶꦌꦶ
Dariji
|
2
|
ꦸ
|
U
|
Suku
|
ꦇꦸꦄꦸ
Suku
|
3
|
ꦺ
|
E
|
Taling
|
ꦺꦅꦺꦁꦕ
Denne
|
4
|
ꦺ --- ꦻ
|
O
|
Taling tarung
|
ꦺꦈꦼꦻꦈꦺꦅꦻꦁꦿ
wong wadon
|
5
|
ꦷ
|
ȇ
|
Pepet
|
ꦑꦷꦑꦷꦐꦠ
Bèbègja
|
2) Sandhangan Panyigeg Wanda
Sandhangan panyigeg wanda adalah
penanda bunyi berupa konsonan yang dipergunakan sebagai penutup suku kata.
Tabel 5 Sandhangan panyigeg wanda
No
|
Sandhangan Panyigeg wanda
|
Pengganti huruf
|
Nama
|
Pemakaian dalam kata
|
1
|
ꦾ
|
H
|
Wignyan
|
ꦓꦉꦾ
ngalah
|
2
|
ꦽ
|
R
|
Layar
|
ꦇꦊꦽ
sapar
|
3
|
ꦼ
|
Ng
|
Cecak
|
ꦑꦃꦼ
barang
|
4
|
ꦿ
|
Penutup aksara di akhir kata
|
Pangkon
|
ꦐꦼꦇꦉꦿ
gangsal
|
3) Sandhangan Wyanjana
Sandhangan wyanjana yaitu
sandhangan yang juga disebut dengan sandhangan pambukaning wanda, karena
sebagai penanda bunyi pengganti aksara yang diletakkan pada aksara lain
sehingga membentuk bunyi rangkap.
Tabel 6. Sandhangan wyanjana
No
|
Sandhangan wyanjana
|
Pengganti huruf
|
Nama
|
Pemakaian dalam kata
|
1
|
꧂
|
Ra
|
Cakra
|
ꦄꦏꦥꦶꦉꦿ
krambil
|
2
|
꧄
|
Rè
|
Kèrèt
|
ꦄ꧄ꦕ
krèşna
|
3
|
꧀
|
Ya
|
Pengkal
|
ꦏꦅ꧀ꦊꦅ
madyapada
|
4
|
ꦝ
|
La
|
Panjingan “la”
|
ꦀꦓꦝꦏꦞꦾꦀꦁ
anglampahhana
|
5
|
ꦜ
|
Wa
|
Panjingan “wa”
|
ꦇꦜꦃꦺꦁ
swarane
|
e. Angka
Jawa
Angka dalam aksara Jawa berfungsi sebagai penomoran dalam
sebuah teks terutama yang menyatakan jumlah dan urutan dalam suatu diskripsi.
Adapun angka Jawa sebagai berikut.
Tabel 7 Angka Jawa
0
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
8
|
9
|
꧔
|
ꦐ
|
|
|
꧕
|
|
꧖
|
ꦉ
|
ꦬ
|
ꦍ
|
f. Aksara
Rekan
Aksara rekan adalah aksara yang digunakan untuk menulis
kata-kata dalam bahasa Asing yang masih dipertahankan seperti aslinya, atau
untuk menyelaraskan bahasa Jawa dengan konsonan-konsonan dari bahasa Arab. Aksara rekan tidak memiliki aksara pasangan sehingga apabila ada
konsonan penutup kata, maka aksara
konsonan tersebut harus terlebih dahulu dipangku. Adapun aksara rekan berjumlah lima buah sebagai berikut.
Tabel 8 Aksara rekan
No
|
Aksara Rekan
|
Pengganti Huruf
|
Pemakaian dalam kata
|
1
|
ꦄꧏ
|
Kh
|
-
|
2
|
ꦊꧏ
|
F/v
|
ꦏꦸꦊꧏꦄꦆꦿ
Mufakat
|
3
|
ꦅꧏ
|
Dz
|
-
|
4
|
ꦌꧏ
|
Z
|
-
|
5
|
ꦐꧏ
|
Gh
|
-
|
g. Tanda
Baca
Tanda baca dalam istilah Jawa disebut pada. Tanda baca dalam aksara Jawa memiliki jumlah yang berbeda
dengan tanda baca dalam huruf latin. Tanda baca dalam aksara Jawa tidak terdapat tanda hubung (-) mengingat dalam aksara Jawa ditulis tanpa sepasi, juga
tidak terdapat tanda tanya (?), dan tanda seru (!). Bentuk-bentuk tanda baca
dalam aksara Jawa sebagai berikut.
Tabel 9 Tanda baca
No
|
Aksara
|
Nama
|
Fungsi
|
1
|
|
Adeg-adeg
|
Tanda untuk mengawali sebuah alinea, kalimat baru.
|
2
|
꧋
|
Pada lungsi
|
Tanda yang berfungsi sebagai koma, sama seperti dalam aksara latin.
|
3
|
꧌
|
Pada lingsa
|
Tanda yang berfungsi sebagai titik, sama seperti dalam aksara latin.
|
4
|
꧐
|
Pada pangkat
|
Tanda yang berfungsi untuk mengapit kata cuplikan, atau pengapit pada
penulisan angka.
|
5
|
|
Pada madya
|
Tanda yang berfungsi untuk mengawali sebuah surat.
|
Dalam naskah SPWASPJ
dalam penulisannya ada beberapa penulisan kata yang tidak sesuai dengan
kaidah penulisan aksara yang digunakan sekarang. Hal itu diperjelas dalam
uraian di bawah ini dengan penanda translitrasi yang dipakai peneliti. Adapun
penjelasan mengenai penerapan pedoman transliterasi yang digunakan dalam teks SPWASPJ sebagai berikut.
1.
Aksara murda atau huruf kapital yang berada di tengah kata yang ada dalam naskah SPWASPJ digunakan untuk penulisan nama
orang, gelar kehormatan, nama daerah, dan sesuatu hal yang pantas dimuliakan.
Penulisan kata tersebut tidak sesuai dengan kaidah penulisan yang berlaku saat
ini, sehingga dalam penyuntingan ditulis sesuai dengan ejaan yang berlaku
sekarang.
Contoh:
ꦬꦨꦟꦶꦪ (1,24,39) PaNdhiTa Pandhita
ꦨꦪ (9,10,11) NaTa Nata
ꦨꦮꦶ (30,31,40) NaBi Nabi
2.
Penulisan
aksara palatal yang berada di tengah
kata menggunakan aksara murda tapi
tidak semua, hanya kata-kata tertentu saja.
Contoh:
ꦓꦨꦟꦊꦿ (1,5,8) ngaNdhap ngandhap
ꦉꦨꦟꦹꦼ (4,5,7) laNdhung landhung
3. Penulisan
kata dengan konsonan rangkap “nn, mm, tt, ngng”
ditulis dengan menghilangkan salah satu konsonan tersebut.
Contoh:
ꦊꦄꦁꦕꦺꦁꦕ (2,3,4) pakannanne pakanane
ꦆꦶꦉꦏꦣꦹꦊꦶꦾ (9,24,25)
tilammupih tilamupih
ꦺꦊꦺꦌꦆꦚꦁꦿ (10,11,15)
pejettan pejetan
ꦈꦃꦼꦓꦁꦿ (1,3,5) warangngan warangan
4.
Penulisan
kata yang mendapat ater-ater anuswara
(prefiks) ditransliterasikan dengan cara menghilangkan huruf “h”.
Contoh:
ꦀꦏꦞꦸꦾ (1,2,3)
hampuh ampuh
ꦀꦓꦝꦷꦊ꧆ꦇꦛꦶ (12,13,15)
hanglèrèssi anglèrèsi
ꦀꦺꦓꦌꦈꦁꦚꦾ (9,10,11)
hangejawantah angejawantah
3.3 Metode
Penyuntingan
Metode penyuntingan naskah adalah memperbaiki naskah yang
sudah ditransliterasi dengan cara memperbaiki segala macam kesalahan, mengganti
bacaan yang tidak sesuai dan memberi tanda jeda sesuai dengan EYD bahasa Jawa
yang digunakan sekarang. Penyuntingan ini dilakukan demi mendapatkan teks yang
sesahih mungkin sehingga dapat dipahami dengan sebaik-baiknya. Penyuntingan
dalam naskah SPWASPJ ini berdasarkan
edisi standar agar suntingan dalam teks ini dapat terhindar dari kesalahan yang
timbul saat proses penyalinan.
3.4 Langkah
Kerja Penelitian
Dalam penelitian ini, langkah-langkah kerja penelitian
sangat diperlukan. Langkah kerja dalam penelitian naskah SPWASPJ dilakukan agar kesahihan data dapat tetap terjaga. Hal itu dikarenakan
dalam penelitian filologi sangat rentan dengan kesalahan. Adapun langkah kerja
yang dilakukan peneliti untuk penelitian terhadap naskah SPWASPJ adalah sebagai berikut:
1.
Penelusuran
naskah melalui katalog.
2.
Menentukan
naskah yang akan dijadikan sebagai bahan penelitian, dalam hal ini adalah
naskah Serat Pratelan Wesi Aji Serat
Primbon Jati.
3.
Membaca
teks SPWASPJ dengan teliti.
4.
Membuat
deskripsi naskah SPWASPJ.
5.
Membuat
transliterasi naskah SPWASPJ.
6.
Melakukan
penyuntingan teks SPWASPJ dengan
metode edisi standar disertai kritik teks.
7.
Menerjemahkan
teks SPWASPJ ke dalam bahasa
Indonesia. Kemudian
8.
Membuat
glosarium.