Kajian Filologis Dalam Serat Pratelan Wesi Aji Miwah Serat Primbon Jati

Jumat, 27 April 2018

BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang Masalah
Budaya menulis dan berkarya di Nusantara khususnya masyarakat Jawa dikenal sudah cukup lama. Terbukti dengan banyak ditemukannya karya-karya sastra yang mempunyai umur lebih dari satu abad, atau lebih dari seratus tahun. Wujud dari hasil karya tulis di Nusantara berisi gambaran kehidupan manusia yang mencakup berbagai bidang keilmuan, baik sosial-budaya, keagamaan, kebahasaan, kerajinan tradisi, dan lain-lain. Haryati (1991:2) menerangkan bahwa setiap ungkapan manusia baik tertulis maupun lisan bisa dinilai sebagai cerminan suasana pemikiran dan kehidupan bangsa yang melahirkannya. Oleh karena itu karya sastra tersebut dikategorikan sebagai peninggalan sejarah atau hasil budaya yang memuat banyak informasi mengenai kehidupan dan kebudayaan suatu bangsa pada masa lampu.
Karya-karya sastra khususnya tulis yang berupa naskah/manuskrip, ditulis dalam Bahasa Jawa. Naskah klasik yang merupakan wujud dari hasil karya sastra Jawa berbentuk piwulang, babad, dan tembang. Sastra piwulang merupakan suatu karya sastra yang di dalamnya mengandung ajaran, nilai moral dalam kehidupan sehari-hari. Sastra babad merupakan karya sastra berisi tentang cerita-cerita yang berfungsi untuk melegitimasi raja-raja atau orang-orang tertentu yang dianggap atau yang pantas dihormati. kedua karya sastra ini sifatnya bebas dan tidak terikat oleh aturan-aturan penulisan karya sastra lainnya seperti guru gatra, guru lagu, guru wilangan, atau bisa disebut gancaran. Tembang menurut Widodo B.S (2008:1) adalah karya sastra yang terikat oleh persajakan dan mengandung nada berbentuk lagu. Pola persajakan macapat ada beberapa macam yang masing-masing mempunyai guru gatra , guru lagu, dan guru wilangan. Guru gatra adalah jumlah larik pada setiap pada. Guru lagu adalah huruf vocal terakhir pada setiap akhir gatra. Sedangkan guru wilangan adalah jumlah wanda atau suku kata pada setiap gatra.
Di dalam naskah Jawa, tersimpan  beraneka ragam nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tertuang di dalamnya yang merupakan sumber pengetahuan berkaitan dengan kebudayaan dan peradaban Jawa pada masa lalu. Naskah-naskah di Jawa ada yang ditulis menggunakan aksara pegon dan juga ada yang ditulis menggunakan aksara Jawa. Naskah beraksara pegon biasanya bersumber di Pesantren yang disebut naskah pesantrenan. Naskah tersebut ditulis oleh para Wali, ulama’, atau kyai. Naskah yang beraksara Jawa kebanyakan bersumber di Keraton, yang ditulis oleh seorang pujangga keraton.
Naskah-naskah itu ditulis menggunakan bahan yang berkualitas pada jamannya, seperti pada kulit kayu, bambu, lontar, kertas dan sebagainya. Namun karena faktor usia, musim, dan cuaca naskah tersebut mengalami kelapukan, sobek bahkan hilang karena tidak dijaga. Oleh karena itu suatu naskah dapat dikatakan memiliki umur yang sangat terbatas. Dengan demikian keadaan suatu naskah tidak selalu baik, ditambah variasi dalam bentuk tulisan membuat kesulitan tersendiri bagi masyarakat sekarang. Tidak semua orang dapat memahami dan menggali informasi yang terkandung dalam naskah tersebut. Oleh karena masyarakat saat ini kurang sadar akan pentingnya isi teks yang terkandung dalam naskah.
Mengingat bahwa filologi adalah ilmu yang berhubungan dengan naskah lama dan berusaha menggali pengetahuan, bahasa, sastra, kebudayaan, sejarah yang tersimpan dalam peninggalan-peninggalan masa lampau berupa teks atau naskah, maka filologi merupakan ilmu yang sangat berperan sebagai fondasi untuk kerja lanjut. Penggarapan naskah melalui kajian filologi  merupakan salah satu upaya untuk mengungkap warisan nenek moyang yang tersimpan di dalam naskah. Apabila naskah telah hancur karena umurnya yang sudah tua, maka akan semakin sulit dalam menggali isi yang terkandung di dalam naskah tersebut. Baried (1994) mengungkapkan studi filologi terhadap karya tulis masa lampau dilakukan karena adanya anggapan bahwa dalam peninggalan tulisan terkandung nilai-nilai yang masih relevan dengan kehidupan masa kini. Selain itu naskah merupakan salah satu peninggalan nenek moyang yang berharga yang dimiliki bangsa Indonesia. Berhubung naskah merupakan suatu aset peninggalan yang tertulis dan juga merupakan salah satu hasil budaya yang dapat memberikan pengetahuan mengenai informasi sejarah kebudayaan masa lalu, maka perlu dan penting untuk segera dilakukan penelitian.
Salah satu Naskah lama yang dapat dijadikan objek penelitian filologi ini adalah Serat Pratelan Wesi Aji Serat Primbon Jati (SPWASPJ). Naskah SPWASPJ adalah salah satu naskah dari sekian banyak naskah yang ada di Indonesia. Naskah SPWASPJ ini tersimpan di pihak pengkoleksi naskah Perpustakaan Radyapustaka Surakarta dengan nomor naskah RP 219.
Naskah SPWASPJ ini terdiri dari 61 halaman yang masih ditulis menggunakan tulisan tangan berbahasa Jawa dan beraksara jawa. Kondisi naskah SPWASPJ saat ini terlihat sudah sangat lapuk dan rapuh. Dilihat dari fisiknya beberapa halaman dalam naskah tersebut sempat sobek yang kemudian disambungkan kembali menggunakan selotip. Hal itu dimungkinkan karena kurang berhati-hati dalam membawa atau memperlakukan naskah, sehingga tulisan atau aksaranya sangat sulit dipahami dan itu merupakan kendala bagi peneliti sekaligus tantangan.
Naskah SPWASPJ terbentuk dari kata Serat, Pratelan, Wesi Aji, Serat, Primbon dan Jati. pratelan adalah kata bahasa Jawa yang berasal dari kata dasar pratela yang artinya ‘memberitahukan kepada;’ kemudian mendapat imbuhan (-an) sehingga menjadi Pratelan yang artinya ‘keterangan’. Wesi aji berarti ‘pusaka atau senjata tajam seperti keris, tombak, cundrik dan sebagainya’, sedangkan primbon artinya ‘ramalan, buku yang memuat ramalan’ dan  jati artinya ‘nyata, asli’. Serat Pratelan Wesi Aji Serat Primbon Jati dapat diartikan ‘keterangan tentang pusaka dan ramalan-ramalan’.
Naskah SPWASPJ adalah salah satu naskah yang berbentuk prosa. Dalam teks naskah SPWASPJ ini berisi tentang wasiat dari Panembahan Karang atau yang disebut Mudhik Bathara Karang, guru dari Pendeta Empu Ramadi. Dilihat dari judul naskah, tentunya isi dari naskah ini tidak jauh dari pembahasan seputar wesi aji atau keris. Selain itu naskah ini juga membahas tentang prombon atau ramalan-ramalan kehidupan yang dipercara pada masa lalu.
Isi teks naskah ini menjelaskan dengan rinci tentang jenis-jenis besi yang digunakan untuk membuat keris. Naskah ini juga menyebutkan tentang nama-nama jenis besi serta perbedaan jenis besi yang ditinjau dari bentuk fisik dan juga bunyi yang dihasilkan setelah dipukul atau diketuk. Kesaktian yang dimiliki dari masing-masing besi juga berbeda dan beraneka ragam. Contohnya, // wesi walulin uninne “gung” lan gumeter ulese biru ototte kaya wedhi malela iyaiku diarani wesi akas, bisa anggawa harta dhewe astu kang den ingu kajen ing wong akeh bisa angrampungi prakara kang angel, ampuh, wanan lir geni pakannanne balung tekek, balung laNdhak, lan kayu garu den wor iwur wurwurake lenganne krambil ijo//. ‘Besi walulin bunyinya “gung” dan bergetar bercorak biru, ototnya seperti pasir baja yaitu disebut  besi akas, bisa membawa harta sendiri, yang memelihara pasti akan di hormati oleh banyak orang, bisa menyelesaikan perkara yang sulit, hebat, pemberani seperti api. Makanannya tulang tokek, tulang landhak, dan kayu garu dicampur aduk jadi satu ditaburkan, minyaknya kelapa hijau’. Besi walulin merupakan salah satu jenis besi yang ada dalam teks SPWASPJ.
Selain membahas tentang besi, naskah SPWASPJ juga membahas tentang jenis dan nama-nama keris yang pernah ada di Pulau Jawa. Dimulai dari tahun 152 sampai tahun 725 (tahun Jawa) disebutkan ada 18 nama keris kondang di pulau jawa yang pernah dibuat, yang kemudian diturunkan oleh para Empu kepada Empu penerusnya sampai pada tahun 1529 (tahun Jawa). Selain itu kelemahan dan lawan dari masing-masing keris juga disebutkan. Isi naskah selain membahas tentang pusaka orang-orang jawa atau pusaka raja-raja Jawa, naskah ini juga membahas tentang  primbon (ramalan) yang diyakini dan dipercaya oleh masyarakat Jawa pada jaman dahulu.
Dalam naskah tertulis beberapa jenis ramalan di antaranya ramalan tentang denyutan-denyutan yang terjadi di bagian wajah tubuh tangan dan kaki, ramalan tentang mimpi, ramalan tentang suara dari burung prenjak dan juga burung gagak, dan masih banyak lagi. Dalam naskah ini tertulis bahwa ramalan ini tidak pernah meleset.
Aksara yang digunakan dalam naskah SPWASPJ menggunakan aksara jawa yang masih ditulis menggunakan tangan. Penelitian terhadap naskah SPWASPJ dapat dikaji dari berbagai disiplin ilmu diantaranya adalah secara linguistik dan budaya.
Pengkajian dari segi linguistik terhadap naskah SPWASPJ, dapat mengetahui struktur bahasa yang ada dalam naskah. Salah satunya dengan cara membandingkan bahasa yang terdapat dalam naskah tersebut dengan bahasa yang sudah berkembang pada masa sekarang. Selain itu naskah ini juga menyediakan data-data bahasa yang sistem penulisannya berbeda dengan kaidah penulisan sekarang.
Naskah SPWASPJ dikaji dari segi budaya. Hal itu juga dapat dilakukan karena naskah SPWASPJ merupakan rekaman pengetahuan pada masa lampau. Sehinga adanya naskah dapat diketahui budaya yang berkembang pada saat naskah itu ditulis.
Pengkajian-pengkajian di atas tidak akan bisa dicapai sebelum naskah SPWASPJ dikaji menggunakan kajian secara filologi.  Karena, pada dasarnya ilmu filologi memang bertujuan untuk mengkaji, memahami dan menjelaskan isi naskah. Seperti yang dijelaskan Haryati (1991: 9), filologi memang semata-mata bertujuan untuk memahami dan menjelaskan isi naskah sesuai, atau sedekat mungkin, dengan makna yang dimaksudkan dalam penulisan aslinya. Dengan demikian, hasil dari pengkajian naskah SPWASPJ ini dapat memberikan informasi baik dari isi sampai kejelasan tulisan dari naskah tersebut.
Beberapa pertimbangan yang dijadikan alasan untuk memilih naskah ini sebagai objek penelitian adalah, pertama naskah SPWASPJ masih berupa manuskrip sehingga akan sangat susah dipahami. Mengingat bahwa tidak semua orang bisa membaca manuskrip karena tulisan yang kurang jelas. Kedua, naskah SPWASPJ belum pernah diterjamahkan kedalam bahasa yang mudah dipahami khalayak umum sehingga sangat perlu untuk diteliti secara filologis. Alasan ketiga, naskah SPWASPJ berisi tentang warisan sejarah yang perlu diungkap agar dapat dikenal generasi saat ini.
2.1    Batasan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, naskah Serat Pratelan Wesi Aji Serat Primbon Jati ini dapat diteliti dengan menggunakan berbagai bidang ilmu. Ilmu-ilmu tersebut antara lain ilmu bahasa/linguistik karena teks tersebut dapat memberikan data-data kebahasaan yang berhubungan dengan perkembangan bahasa di masa lampau.
Namun sebelum semua itu dapat dilakukan, naskah Serat Pratelan Wesi Aji Serat Primbon Jati diperlukan penelitian secara filologis terlebih dahulu, yakni peneliti menyajikan teks secara sahih. Penyajian teks secara sahih akan dapat membantu penelitian-penelitian berikutnya yang berkaitan dengan naskah Serat Pratelan Wesi Aji Serat Primbon Jati. Oleh sebab itu, penelitian ini dibatasi pada ranah pengkajian teks naskah Serat Pratelan Wesi Aji Serat Primbon Jati secara filologis.
3.1    Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang dan batasan masalah di atas, yang menjadi fokus penelitian ini yaitu bagaimana menyajikan teks naskah Serat Pratelan Wesi Aji Serat Primbon Jati secara sahih sesuai dengan kaidah filologis.
4.1    Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini sejalan dengan rumusan masalah di atas, yaitu mendeskripsikan naskah Serat Pratelan Wesi Aji Serat Primbon Jati secara sahih menurut kaidah filologis.
5.1    Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun praktis. Manfaat teoretis mengenai penelitian ini yaitu dapat mengembangkan wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang filologi. Khususnya para mahasiswa program studi Sastra Jawa untuk memahami naskah sesuai kaidah filologi.

Manfaat secara praktis, yaitu dapat membantu pembaca dalam memahami isi teks dari naskah Serat Pratelan Wesi Aji Serat Primbon Jati sesuai dengan kajian filologi. Selain itu dapat menambah referensi bagi mahasiswa Sastra Jawa dalam melakukan penelitian filologi lainya.
2.1    Pengertian Filologi
Filologi merupakan suatu pengetahuan mengenai sastra-sastra dalam arti yang luas yang di dalamnya mencakup bidang kebahasaan, kesastraan, dan kebudayaan (Baried, dkk, 1985:1). Pendapat tersebut sejalan dengan Sulistyorini (2015:2) yang menjelaskan bahwa filologi merupakan suatu pengetahuan yang mempelajari tentang sastra, kebahasaan, sejarah, filsafah hidup, dan kebudayaan yang ada dalam naskah. Kedua pendapat di atas kemudian diperkuat oleh Fathurahman (2015:12) dalam bukunya yang menjelaskan filologi adalah kajian bahasa dari berbagai sumber tertulis yang dalam arti lain merupakan gabungan kritik sastra, sejarah, dan linguistik.
Secara etimologi, filologi berasal dari bahasa Yunani philologia, yang terdiri dari dua kata yaitu philos yang berarti “yang tercinta”, dan logos yang berarti “kata, artikulasi, alasan” (Fathurahman, 2015:13). Berdasarkan pengertian di atas secara harfiah filologi berarti “cinta kata” atau “senang bertutur” yang kemudian diartikan sebagai “senang belajar” atau “senang kebudayaan”. Penjelasan tersebut kemudian berkembang menjadi ilmu bahasa, ilmu bantu sastra, lalu diartikan sebagai ilmu tentang kebudayaan suatu bangsa. Dalam pengertian yang lebih luas, filologi disebut juga sebagai ilmu yang menyelidiki perkembangan kerohanian suatu bangsa atau menyelidiki kebudayaan berdasarkan bahasa dan kesusastraannya yang terdapat dalam teks naskah-naskah lama (Suryani, 2011:2).
Pendapat yang sedikit berbeda dengan pendapat-pendapat di atas dikemukakan oleh Mulyadi (1991:3) yaitu filologi merupakan sebuah teknik telaah yang berkaitan dengan masalah-masalah mengenai pemahaman dokumen tertulis maupun ungkapan lisan. Di sisi lain, filologi dapat dipahami sebagai disiplin khusus yang mampu memberi kejelasan tentang sejarah kebudayaan suatu bangsa (Purnomo, 2013:12). Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa filologi merupakan ilmu yang berusaha mengungkapkan hasil budaya bangsa masa lampau melalui pengkajian isi teks dalam naskah maupun lisan. Dengan demikian sudah sangat jelas bahwa filologi merupakan ilmu yang dipandang sebagai jembatan untuk mengungkap khasanah masa lampau pada generasi saat ini.
2.2    Objek Kajian Filologi
Sebagai disiplin ilmu, filologi memiliki objek penelitian. Sebagaimana yang diuraikan di atas maka objek kajian filologi berupa teks dan naskah. Menurut Sulistyorini (2015:18) teks itu sendiri merupakan bagian dari naskah, dan naskah merupakan wadahnya. Sedangkan  Suryani (2011:47) berpendapat bahwa teks adalah kandungan atau muatan suatu naskah, yang abstrak dan hanya dapat dibayangkan saja. Pendapat yang sejalan dengan Suryani diungkapkan oleh Fathurahman (2015:22). Ia menjelaskan bahwa teks tersebut merupakan tulisan atau kandungan isi yang terdapat dalam suatu naskah. Dari beberapa pendapat di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa teks merupakan isi, kandungan atau muatan suatu naskah yang bersifat abstrak.
Teks itu sendiri terdiri atas isi yaitu ide-ide atau amanat yang akan disampaikan pengarang kepada pembaca. Selain isi, teks juga terdiri atas bentuk yaitu cerita dalam teks yang dapat dibaca dan dipelajari menurut berbagai pendekatan melalui alur, perwatakan, gaya bahasa dan sebagainya. Dalam penjelmaan dan penurunanya secara garis besar dapat disebutkan adanya tiga macam teks, yaitu teks lisan tidak tertulis, teks naskah tulisan tangan dan teks cetakan.
Adapun Naskah adalah sebuah bahan tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya bangsa masa lampau (Hartini, 2012:16).  Jadi naskah merupakan benda konkrit yang dapat dilihat dan dipegang. Fathurahman (2015:22) juga mengatakan hal yang sama yaitu naskah merupakan benda fisik dokumen dari teks.
Filologi Indonesia, kata “naskah” dan “manuskrip” memiliki pengertian yang sama, keduanya merujuk pada dokumen yang di dalamnya terdapat teks tulisan tangan, baik berbahan kertas, dluwang, lontar, bambu dan lainnya. Menurut Fathurahman (2015:23), kata manuskrip biasa disingkat menjadi MS (manuscript) untuk naskah tunggal, dan MSS (manuscripts) untuk merujuk naskah yang berjumlah lebih dari satu atau jamak. Selanjutnya menurut Suryani (2012:47) semua bahan tulisan tangan itu disebut naskah ‘handschrift’ dengan singkat hs untuk tunggal, dan hss untuk jamak.
Sebagai peninggalan masa lampau, naskah mampu memberikan informasi mengenai berbagai aspek kehidupan masyarakat masa lampau. Seperti yang dijelaskan Soeratno melalui Saputra (1997:11) informasi yang terkandung dalam naskah-naskah Indonesia antara lain, berupa ajaran agama, sejarah hukum, adat istiadat, filsafat, politik, sastra, astronomi, ajaran moral, mantera, doa, obat-obatan, mistik, bahasa, bangunan, dan tumbuh-tumbuhan.
Tempat penyimpanan naskah lama yang ada di Nusantara seperti yang diungkapkan Sulistyorini (2015:31) bahwa saat ini naskah tersimpan di berbagai museum, perpustakaan, dan perorangan. Naskah lama tersebut selain tersimpan di museum, perpustakaan, maupun perorangan juga ada yang tersimpan di luar Negeri. Dengan demikian untuk mengetahui keberadaannya dapat ditelusuri melalui katalog-katalog yang tersedia.
Naskah-naskah lama umumnya memiliki usia yang sangat tua. Menurut Fathurahman (2015:5), naskah tersebut berusia puluhan, atau bahkan mencapai ratusan tahun. Florida (2003:20) juga mengungkapkan hal yang serupa yaitu, sebagian besar naskah ditulis dalam rentang masa 250 tahun. Oleh sebab itu selama kurun waktu yang panjang karya tersebut diturunkan berturut-turut oleh sederetan penyalin (Molen, 2011:1). Penyalinan demi penyalinan dilakukan dengan berbagai alasan misalnya, karena faktor usia yang dapat menyebabkan kelapukan hingga akhirnya rusak, terbakar, atau hilang karena tidak dijaga. Sedangkan sebelum mengenal cetakan naskah tersebut disalin secara manual. Akibatnya selama proses penyalinan tersebut dimungkinkan dapat terjadi beberapa kesalahan atau perbedaan dan kerusakan dalam naskah (Molen, 2011:1). Di samping perubahan dan kerusakan yang terjadi karena ketidaksengajaan, penyalin juga dapat mengubah dengan menambahkan atau mengurangi sesuai seleranya atau disesuaikan dengan situasi dan kondisi pada jaman penyalinannya.
Mengingat bahwa peninggalan tulisan masa lampau telah mengalami proses penyalinan dari waktu ke waktu yang menyebabkan kerusakan pada teks. Adapun permasalahan tersebut maka kritik teks dalam kajian filologi sangat diperlukan demi menghasilkan suatu teks yang bersih dari kesalahan atau kerusakan saat penyalinan. Hal itu didukung oleh Molen (2011:1) yang mengatakan bahwa kajian filologi memang berusaha menghentikan proses perusakan, dan bila mungkin mengembalikan atau merekonstruksi karya sehingga kembali seperti aslinya.
2.3    Kritik Teks
Istilah kritik teks adalah suatu langkah penelitian naskah untuk memberikan evaluasi terhadap teks, dengan cara meneliti, membandingkan teks yang satu dengan teks lainnya, serta menentukan teks manakah yang paling baik untuk dijadikan bahan suntingan (Basuki, 2004:39). Hal itu sejalan dengan Purnomo (2013:13) yang mengatakan bahwa kritik teks diartikan sebagai suatu upaya yang dilakukan untuk perbaikan, pelurusan, dan representasi ulang teks. Prinsip kritik teks berfungsi untuk membersihkan dari kesalahan-kesalahan atau penyimpangan yang timbul karena ketidak sengajaan di suatu pihak, dan perkembangan yang tidak dipertanggungjawabkan (Purnomo 2013:47).
Kerusakan-kerusakan tersebut tentu saja mampu menjauhkan tulisan-tulisan dari masa lampau dengan bentuk aslinya. Oleh sebab itu Barried (1985:61) menyampaikan bahwa tujuan dari kritik teks yaitu untuk menghasilkan teks yang sedekat-dekatnya dengan teks aslinya (constitution textus). Hal itu juga didukung oleh Sulastin melalui Suryani (2006:80) yang mengatakan kritik teks yaitu menghasilkan suatu teks yang paling mendekati aslinya. Kritik teks sendiri mengandung pengertian telaah kritis secara sistematis dan metodis terhadap teks-teks sastra dalam naskah-naskah lama tertentu (Purnomo 2013:25).
Transliterasi yaitu pemindahan atau penggantian jenis tulisan secara menyeluruh, huruf demi huruf dari satu abjad ke abjad yang lain (Purnomo, 2013:42). Pengertian yang sama juga diungkapkan oleh Barried (1985:65) yaitu penggantian jenis tulisan, huruf demi huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain. Dari kedua pendapat tersebut releven dengan pendapat yang dikemukakan Sulistyorini (2015:40) bahwa transliterasi adalah penggantian jenis tulisan huruf demi huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain. Dalam khasanah filologi istilah transliterasi sering disejajarkan dengan istilah lain yang sejenis, yaitu transkripsi.
Secara khusus, transkripsi diartikan sebagai penggantian tulisan atau penyalinan teks dengan mengubah ejaan naskah ke ejaan lain yang berlaku (Purnomo, 2013:42). Sejalan dengan pendapat Barried (1985:65) yaitu salinan atau turunan tanpa mengubah jenis tulisan. Sulistyorini (2015:40) juga berpendapat sama bahwa transkripsi adalah pengubahan teks dari satu ejaan ke ejaan yang lain. Tujuannya untuk menunjukan tradisi filologi, yaitu penyalinan naskah tanpa mengubah jenis tulisanya (hurufnya sama).
Metode penyuntingan dalam kajian filologi digolongkan menjadi dua macam, yaitu naskah tunggal dan naskah jamak. Penelitian ini menggunakan metode naskah tunggal karena naskah ini diduga hanya ditemukan sebagai naskah tunggal sehingga tidak diperlukan perbandingan naskah.
Menurut (Baried 1994:67) apabila hanya ada naskah tunggal dari suatu tradisi perbandingan tidak mungkin dilakukan, sehingga dapat ditempuh dengan dua jalan yaitu edisi diplomatik dan edisi standar. Pendapat tersebut senada dengan pendapat Sulistyorini (2015:78), Ia mengungkapkan bahwa jika hanya ada naskah tunggal dari suatu tradisi, maka peneliti tidak melakukan perbandingan naskah atau teks. metode edisi naskah tunggal dilakukan dengan dua cara yaitu edisi diplomatik dan edisi standar.
Edisi diplomatik itu sendiri, yaitu peneliti menerbitkan suatu naskah secara teliti tanpa mengadakan atau menghadirkan teks yang memiliki bacaan terbaik, melainkan untuk menyajikan teks apa adanya (Fathurahman 2015:90). Sulistyorini (2015:78) juga mengungkapkan hal yang sama, edisi diplomatik adalah penerbitan naskah secara cermat dan teliti tanpa mengadakan perubahan.
Edisi standar, yaitu menerbitkan naskah dengan membetulkan kesalahan-kesalahan kecil dan ketidak-ajegan, sedang ejaannya disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku (Sulistyorini 2015:78). Edisi ini juga dijelaskan oleh Fathurahman (2015:90) yaitu model suntingan teks yang dihasilkan melalui hasil olah penyunting dengan tujuan mendapatkan sebuah teks dengan kualitas bacaan terbaik. Ia menyebutnya sebagai edisi kritik.
Dari kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa edisi standar atau edisi kritik ini bertujuan untuk menghasilkan suatu teks dengan kualitas bacaan terbaik. Artinya memperbaiki kesalahan-kesalahan teks dengan menyesuaikan kemajuan dan perkembangan masyarakat. Hal itu dilakukan dengan harapan agar teks dapat dipahami oleh pembaca. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan edisi standar. Hal ini berkaitan dengan upaya rekontruksi teks supaya terhindar dari kesalahan-kesalahan yang timbul akibat proses penulisan atau penyalinan.
2.4    Penerjemahan
Penerjemahan adalah alih bahasa dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Pada umumnya teks masih melekat dengan kondisi penulisnya baik geografis, pendidikan, agama. Tujuan dari penerjemahan ini Agar bahasa tersebut mudah dimengerti oleh pembaca. Pendapat di atas selaras dengan Darusuprapta (1984: 9) yakni agar masyarakat yang tidak menguasai bahasa naskah aslinya dapat juga menikmati, sehingga naskah itu tersebar luas. Terdapat 3 prinsip penerjemahan Menurut (Darusuprapta, 1984: 9). Adapun prinsip penerjemahan sebagai berikut:
a. Terjemahan lurus: terjemahan kata demi kata, dekat dengan aslinya, berguna untuk membandingkan segi-segi ketatabahasaan.
b. Terjemahan isi atau makna: kata-kata yang diungkapkan dalam bahasa sumber diimbangi salinannya dengan kata-kata bahasa sasaran yang sepadan.
c. Terjamahan bebas: keseluruhan teks bahasa sumber dialihkan dengan bahasa sasaran secara bebas.
Naskah SPWASPJ merupaka naskah yang berbentuk prosa sehingga terjemahan yang digunakan dalam naskah SPWASPJ  ini adalah terjemahan isi atau makna. Hal ini dilakukan untuk memudahkan para pembaca dalam memaknai isi yang terkandung dalam teks SPWASPJ.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1    Data dan Sumber Data
Data yang diteliti dalam skripsi ini adalah teks dalam naskah Serat Pratelan Wesi Aji Serat Primbon Jati (SPWASPJ). Naskah (SPWASPJ) ini diperoleh di Museum Radyapustaka Surakarta dengan nomor naskah RP 219. Naskah (SPWASPJ) ini ditulis menggunakan Bahasa Jawa, dan berhuruf Jawa (aksara Jawa) dengan tebal 61 halaman. Data penelitian ini diperoleh melalui penelusuran naskah melalui katalog. Beberapa cara yang dilakukan peneliti dalam rangka studi katalog adalah cara mencari informasi tentang naskah dari katalog yang ada, sehingga dari katalog tersebut dapat diketahui di mana naskah itu berada. Adapun sumber data dalam penelitian ini yaitu di pihak pengkoleksi naskah Museum Radyapustaka Surakarta.
3.2    Metode Transliterasi
Transliterasi merupakan rangkaian kegiatan dalam kerja filologi yaitu dengan mengalih aksarakan atau penggantian jenis aksara yang umumnya aksara tersebut belum dikenal oleh masyarakat luas dengan aksara lain dari abjad lain yang sudah dipahami dan dikenali oleh masyarakat luas (Basuki 2004:42). Menurut Baried (1994:63) Transliterasi merupakan proses pergantian jenis tulisan naskah dari huruf demi huruf serta dari abjad yang satu ke abjad yang lain. Namun, menurut Robson (1994:24) transliterasi merupakan proses pemindahan dari satu tulisan ke dalam tulisan lainnya.
Kegiatan mentransliterasi ini sangat penting dilakukan mengingat tidak sedikit yang mengatakan bahwa para generasi muda sekarang kebanyakan merasa kesulitan dalam membaca bahasa dan aksara Jawa. Oleh karena itu, untuk memperkenalkan isi teks-teks lama perlu dilakukan mengalih aksarakan teks. Ada dua macam metode dalam pengalihan aksara, yaitu dengan menggunakan metode transkripsi dan metode transliterasi. Metode transkripsi adalah salinan atau turunan tanpa mengganti macam tulisan, atau bisa disebut menyalin tulisan tanpa mengganti jenis aksaranya, sedangkan metode transliterasi adalah penggantian jenis tulisan, huruf demi huruf dari abjad satu ke abjad yang lain (Baried 1985: 65).
Naskah SPWASPJ yang menjadi bahan penelitian ditulis dengan menggunakan aksara Jawa. Oleh karena itu, teks perlu ditransliterasikan ke dalam huruf latin agar teks SPWASPJ dapat lebih mudah dibaca, dimengerti, dipahami oleh kalangan yang lebih luas tidak hanya orang yang bisa membaca huruf Jawa. Acuan dalam menstransliterasi teks naskah Serat Pratelan Wesi Aji Serat Primbon Jati sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara teoretis maka dalam transliterasi menggunakan Pedoman Penulisan Aksara Jawa (Darusuprapta 2002) serta Pedoman Umum Ejaan Bahasa Jawa Yang Disempurnakan (Griya Jawi Unnes 2008). Berikut ini dikemukakan pedoman penulisan bahasa Jawa dengan aksara atau huruf latin.
a.      Aksara Carakan dan Pasangan-nya
Aksara yang digunakan di dalam naskah SPWASPJ adalah aksara Jawa. Aksara Jawa baku terdiri dari duapuluh huruf, dengan semua keseluruhannya berbentuk suku kata. Tiap-tiap aksara pokok mempunyai aksara pasang dengan tujuan agar menjadikan huruf di depannya menjadi konsonan. Tujuannya agar dapat menghubungkan dengan huruf berikutnya kecuali suku kata yang berbentuk tertutup seperti wignyan (ꦾ), cecak ( ) dan layar ( ).
Tabel 1 Aksara Jawa dan Pasangan-nya.
No
Aksara
Pasangan
Pengganti Huruf
Pemakaian dalam kata
1
Ha
ꦀꦏꦷꦺꦅꦁꦕꦶ
Amèdenni
2
Na
ꦁꦉꦶꦄ
Nalika
3
Ca
ꦂꦂꦀꦺꦔ
Cacahe
4
Ra
ꦃꦏꦥꦹꦆꦿ
Rambut
5
Ka
ꦄꦺꦆꦻꦁꦿ
Katon
6
Da
ꦅꦐꦼ
Dagang
7
Ta
ꦆꦊ
Tapa
8
Sa
ꦇꦐꦃ
Sagara
9
Wa
ꦈꦇꦶꦍꦆꦿ
Wasiyat
10
La
ꦉꦁꦼ
Lanang
11
Pa
ꦊꦺꦓꦃꦁꦿ
Pangeran
12
Dha
ꦋꦋ
Dhadha
13
Ja
ꦌꦏꦁꦿ
Jaman
14
Ya
ꦍꦇ
Yasa
15
Nya
ꦎꦆ
Nyata
16
Ma
ꦏꦓꦶꦈ
Mangiwa
17
Ga
ꦐꦐꦏꦁꦿ
Gagaman
18
Ba
ꦑꦉꦸꦼ
Balung
19
Tha
-
20
Nga
ꦓꦼꦺꦐꦻ
Nganggo

b.      Aksara Swara
Aksara swara merupakan bagian dari jenis huruf Jawa yang dipergunakan untuk menulis aksara vokal yang menjadi suku kata, terutama yang berasal dari bahasa asing untuk mempertegas pelafalannya. Keseluruhan aksara swara berjumlah lima buah yaitu, a, i, u, é, o. Aksara swara ini tidak dapat dijadikan pasangan sehingga aksara sigeg di depannya harus dimatikan dengan pangkon. Kelima aksara swara tersebut diuraikan dalam tabel di bawah ini.
Tabel 2 Aksara Swara
Aksara Swara
Pengganti Huruf
Pemakaian dalam kata
꧕ꦛ
A
꧕ꦛꦉꦝꦾ
Allah
ꦑ꧉
I
ꦑ꧉ꦁꦛ꧕ꦛꦉꦝ
InsAlla
ꦓ꧗
U
-
ꦈ꧗
O
ꦈ꧗ꦼꦄ
Ongka
E
-

c.       Aksara Murda
Menurut Darusuprapta (1984:11-12) jumlah aksara murda terdiri dari delapan buah huruf. Aksara murda digunakan untuk penulisan gelar, nama besar, nama diri, nama geografi, nama lembaga pemerintahan, dan nama lembaga berbadan hukum. Aksara murda tidak dipakai sebagai penutup dari suku kata, dan tidak identik dengan pemakaian huruf kapital dalam ejaan latin.
Tabel 3 Aksara Murda
No
Aksara Murda
Pengganti Huruf
Pemakaian dalam kata
1
Na
ꦨꦮꦶ
NaBi
2
Ka
ꦩꦼꦌꦷꦼ
Kangjèng
3
Ta
ꦪꦷꦭꦉꦿ
TèGal
4
Sa
ꦫꦍꦶꦅꦙꦶꦨ
SayiddiNa
5
Pa
ꦬꦨꦟꦶꦪ
PaNdhiTa
6
ꦌ꧉
Nya
-
7
Ga
ꦀꦷꦏꦞꦸꦭꦅ
èmpu Gada
8
Ba
ꦮꦒꦃ
Bathara

d.      Sandhangan
Sandhangan merupakan penanda bunyi pada aksara Jawa yang menandai aksara itu sehingga berbunyi lain dari asalnya. Sandhangan dalam aksara Jawa ada 3 macam yaitu, 1) sandhangan swara, 2) sandhangan panyigeg wanda, dan 3) sandhangan wyanjana. Adapun macam-macam sandhangan diuraikan sebagai berikut ini.

1)      Sandhangan Swara
Sandhangan swara adalah sandhangan yang berfungsi sebagai penanda untuk mengubah bunyi yang berbeda dari aksara semula. Sandhangan swara terdiri dari lima macam yaitu, wulu, suku, taling, taling tarung, dan pepet.
Tabel 4 Sandhangan swara
No
Sandhangan swara
Pengganti huruf
Nama
Pemakaian dalam kata
1
I
Wulu
ꦅꦃꦶꦌꦶ
Dariji
2
U
Suku
ꦇꦸꦄꦸ
Suku
3
E
Taling
ꦺꦅꦺꦁꦕ
Denne
4
ꦺ --- ꦻ
O
Taling tarung
ꦺꦈꦼꦻꦈꦺꦅꦻꦁꦿ
wong wadon
5
ȇ
Pepet
ꦑꦷꦑꦷꦐꦠ
Bèbègja

2)      Sandhangan Panyigeg Wanda
Sandhangan panyigeg wanda adalah penanda bunyi berupa konsonan yang dipergunakan sebagai penutup suku kata.
Tabel 5 Sandhangan panyigeg wanda
No
Sandhangan Panyigeg wanda
Pengganti huruf
Nama
Pemakaian dalam kata
1
H
Wignyan
ꦓꦉꦾ
ngalah
2
R
Layar
ꦇꦊꦽ
sapar
3
Ng
Cecak
ꦑꦃꦼ
barang
4
ꦿ
Penutup aksara di akhir kata
Pangkon
ꦐꦼꦇꦉꦿ
gangsal

3)      Sandhangan Wyanjana
Sandhangan wyanjana yaitu sandhangan yang juga disebut dengan sandhangan pambukaning wanda, karena sebagai penanda bunyi pengganti aksara yang diletakkan pada aksara lain sehingga membentuk bunyi rangkap.
Tabel 6. Sandhangan wyanjana
No
Sandhangan wyanjana
Pengganti huruf
Nama
Pemakaian dalam kata
1
Ra
Cakra
᯻ꦄꦏꦥꦶꦉꦿ
krambil
2
Kèrèt
ꦄ꧄᯴ꦕ
krèşna
3
Ya
Pengkal
ꦏꦅ꧀ꦊꦅ
madyapada
4
La
Panjingan “la”
ꦀꦓꦝꦏꦞꦾꦀꦁ
anglampahhana
5
Wa
Panjingan “wa”
ꦇꦜꦃꦺꦁ
swarane

e.       Angka Jawa
Angka dalam aksara Jawa berfungsi sebagai penomoran dalam sebuah teks terutama yang menyatakan jumlah dan urutan dalam suatu diskripsi. Adapun angka Jawa sebagai berikut.
Tabel 7 Angka Jawa
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
f.       Aksara Rekan
Aksara rekan adalah aksara yang digunakan untuk menulis kata-kata dalam bahasa Asing yang masih dipertahankan seperti aslinya, atau untuk menyelaraskan bahasa Jawa dengan konsonan-konsonan dari bahasa Arab. Aksara rekan tidak memiliki aksara pasangan sehingga apabila ada konsonan penutup kata, maka aksara konsonan tersebut harus terlebih dahulu dipangku. Adapun aksara rekan berjumlah lima buah sebagai berikut.
Tabel 8 Aksara rekan
No
Aksara Rekan
Pengganti Huruf
Pemakaian dalam kata
1
ꦄꧏ
Kh
-
2
ꦊꧏ
F/v
ꦏꦸꦊꧏꦄꦆꦿ
Mufakat
3
ꦅꧏ
Dz
-
4
ꦌꧏ
Z
-
5
ꦐꧏ
Gh
-

g.      Tanda Baca
Tanda baca dalam istilah Jawa disebut pada. Tanda baca dalam aksara Jawa memiliki jumlah yang berbeda dengan tanda baca dalam huruf latin. Tanda baca dalam aksara Jawa tidak terdapat tanda hubung (-) mengingat dalam aksara Jawa ditulis tanpa sepasi, juga tidak terdapat tanda tanya (?), dan tanda seru (!). Bentuk-bentuk tanda baca dalam aksara Jawa sebagai berikut.
 Tabel 9 Tanda baca
No
Aksara
Nama
Fungsi
1
Adeg-adeg
Tanda untuk mengawali sebuah alinea, kalimat baru.
2
Pada lungsi
Tanda yang berfungsi sebagai koma, sama seperti dalam aksara latin.
3
Pada lingsa
Tanda yang berfungsi sebagai titik, sama seperti dalam aksara latin.
4
Pada pangkat
Tanda yang berfungsi untuk mengapit kata cuplikan, atau pengapit pada penulisan angka.
5
Pada madya
Tanda yang berfungsi untuk mengawali sebuah surat.

Dalam naskah SPWASPJ dalam penulisannya ada beberapa penulisan kata yang tidak sesuai dengan kaidah penulisan aksara yang digunakan sekarang. Hal itu diperjelas dalam uraian di bawah ini dengan penanda translitrasi yang dipakai peneliti. Adapun penjelasan mengenai penerapan pedoman transliterasi yang digunakan dalam teks SPWASPJ sebagai berikut.
1.      Aksara murda atau huruf kapital yang berada di tengah kata yang ada dalam naskah SPWASPJ digunakan untuk penulisan nama orang, gelar kehormatan, nama daerah, dan sesuatu hal yang pantas dimuliakan. Penulisan kata tersebut tidak sesuai dengan kaidah penulisan yang berlaku saat ini, sehingga dalam penyuntingan ditulis sesuai dengan ejaan yang berlaku sekarang. 
Contoh:
ꦬꦨꦟꦶꦪ         (1,24,39) PaNdhiTa                Pandhita
ꦨꦪ               (9,10,11) NaTa                        Nata
ꦨꦮꦶ               (30,31,40) NaBi                      Nabi
2.      Penulisan aksara palatal yang berada di tengah kata menggunakan aksara murda tapi tidak semua, hanya kata-kata tertentu saja.
Contoh:
ꦓꦨꦟꦊꦿ       (1,5,8) ngaNdhap                    ngandhap
ꦉꦨꦟꦹꦼ             (4,5,7) laNdhung                     landhung
3.  Penulisan kata dengan konsonan rangkap “nn, mm, tt, ngng”  ditulis dengan menghilangkan salah satu konsonan tersebut.
Contoh:
ꦊꦄꦁꦕꦺꦁꦕ           (2,3,4) pakannanne                  pakanane
ꦆꦶꦉꦏꦣꦹꦊꦶꦾ             (9,24,25) tilammupih               tilamupih
ꦺꦊꦺꦌꦆꦚꦁꦿ     (10,11,15) pejettan                  pejetan
ꦈꦃꦼꦓꦁꦿ                  (1,3,5) warangngan                 warangan
4.      Penulisan kata yang mendapat ater-ater anuswara (prefiks) ditransliterasikan dengan cara menghilangkan huruf “h”.
Contoh:
ꦀꦏꦞꦸꦾ                     (1,2,3) hampuh                        ampuh
ꦀꦓꦝꦷꦊ꧆ꦇꦛꦶ            (12,13,15) hanglèrèssi             anglèrèsi
ꦀꦺꦓꦌꦈꦁꦚꦾ   (9,10,11) hangejawantah         angejawantah
3.3    Metode Penyuntingan
Metode penyuntingan naskah adalah memperbaiki naskah yang sudah ditransliterasi dengan cara memperbaiki segala macam kesalahan, mengganti bacaan yang tidak sesuai dan memberi tanda jeda sesuai dengan EYD bahasa Jawa yang digunakan sekarang. Penyuntingan ini dilakukan demi mendapatkan teks yang sesahih mungkin sehingga dapat dipahami dengan sebaik-baiknya. Penyuntingan dalam naskah SPWASPJ ini berdasarkan edisi standar agar suntingan dalam teks ini dapat terhindar dari kesalahan yang timbul saat proses penyalinan.
3.4    Langkah Kerja Penelitian
Dalam penelitian ini, langkah-langkah kerja penelitian sangat diperlukan. Langkah kerja dalam penelitian naskah SPWASPJ dilakukan agar kesahihan data dapat tetap terjaga. Hal itu dikarenakan dalam penelitian filologi sangat rentan dengan kesalahan. Adapun langkah kerja yang dilakukan peneliti untuk penelitian terhadap naskah SPWASPJ adalah sebagai berikut:
1.      Penelusuran naskah melalui katalog.
2.      Menentukan naskah yang akan dijadikan sebagai bahan penelitian, dalam hal ini adalah naskah Serat Pratelan Wesi Aji Serat Primbon Jati.
3.      Membaca teks SPWASPJ dengan teliti.
4.      Membuat deskripsi naskah SPWASPJ.
5.      Membuat transliterasi naskah SPWASPJ.
6.      Melakukan penyuntingan teks SPWASPJ dengan metode edisi standar disertai kritik teks.
7.      Menerjemahkan teks SPWASPJ ke dalam bahasa Indonesia. Kemudian
8.      Membuat glosarium.

Categories

Diberdayakan oleh Blogger.