KAJIAN
FILOLOGIS DALAM
SERAT PRATELAN WESI AJI MIWAH SERAT PRIMBON JATI
Ach. Bahrul Huda
Pembimbing:
Yusro Edy Nugroho, S.S., M.Hum
Widodo, S.S, M.Hum
Program studi Sastra Jawa, S1
Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Semarang
ABSTRAK
Naskah
sebagai karya peninggalan nenek moyang yang menyimpan
informasi kebudayaan dan peradaban Jawa pada masa lalu. Salah satu wujud karya itu adalah teks Serat Pratelan Wesi Aji Serat Primbon Jati
(SPWASPJ). Bentuk dari teks ini adalah prosa. Penelitian ini menyajikan naskah SPWASPJ secara sahih sesuai kaidah
kajian filologi. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah SPWASPJ dengan nomor RP 219. Menggunakan metode edisi
standar untuk menghasilkan suatu teks dengan kualitas bacaan
terbaik. Terjemahan
yang digunakan adalah terjemahan agak bebas. Hal ini dilakukan untuk memudahkan
pembaca untuk memaknai isi yang terkandung dalam teks SPWASPJ. Hasil penelitian berupa suntingan yang sesuai
dengan kaidah kajian filologi disertai aparat kritik, dan terjemahan dalam
bahasa Indonesia. Isi
naskah SPWASPJ membahas beberapa hal
mengenai keris, diantaranya menyebutkan macam-macam jenis besi yang digunakan
untuk membuat keris atau senjata tajam lainnya. Salah satu contoh jenis besi
yang ada dalam teks naskah SPWASPJ yaitu
besi Karang Kijang. Ciri-ciri besi karang kijang ini memiliki urat yang
menyerupai air laut. Apa bila besi ini dijentikkan maka akan menimbulkan bunyi mbrengengeng. Besi karang kijang ini
dipercaya sebagai pendeta dari segala besi. Besi ini memiliki warna hitam
kebiruan. Kemudian jenis keris, pamor,
dan juga cara untuk mengukur bilah keris. Selain membahas tentang padhuwungan naskah SPWASPJ juga membahas primbon Jawa yang dipercaya di masa lalu.
Kata Kunci:
Filologi, Naskah Jawa, Pratelan Wesi Aji,
Brimbon Jati.
ABSTRACT
The manuscript as a work of ancestors who keep information on Javanese
culture and civilization in the past. One of the manifestations of the work is
the text of Primayan Jati Wesi Aji Fiber Pratelan Wesi (SPWASPJ). The form of
this text is prose. This study presents the SPWASPJ script validly in
accordance with the principles of philological studies. The data used in this
study is SPWASPJ with the number RP 219. Using the standard edition method to
produce a text with the best reading quality. The translation used is a rather
free translation. This is done to make it easier for the reader to interpret
the contents contained in the SPWASPJ text. The results of the study were edits
that were in accordance with the principles of philology studies with
criticism, and Indonesian translations. The contents of the SPWASPJ manuscript
discuss several things about the dagger, including mentioning the various types
of iron used to make a dagger or other sharp weapon. One example of the type of
iron in the SPWASPJ text is the Karang Kijang iron. The characteristics of this
deer coral iron have veins that resemble sea water. What if this iron is
flicked will cause a mengengeng sound. The deer coral iron is believed to be
the priest of all iron. This iron has a bluish black color. Then the type of
dagger, prestige, and also a way to measure the blade of a dagger. In addition
to discussing padhuwungan SPWASPJ manuscripts, it also discussed Javanese
primbons that were trusted in the past.
Keywords: Philology, Javanese
Manuscripts, Pratelan
Wesi Aji, Brimbon Jati.
A.
PENDAHULUAN
Filologi
adalah ilmu yang berhubungan dengan naskah lama dan berusaha menggali
pengetahuan, bahasa, sastra, kebudayaan, sejarah yang tersimpan dalam
peninggalan-peninggalan masa lampau berupa teks atau naskah, hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh (Soeratno, 2011) bahwa filologi merupakan disiplin ilmu yang digunakan untuk mengungkap berita yang terkadung di
dalam tulisan di masa
lampau, maka filologi merupakan ilmu yang sangat
berperan dan dibutuhkan sebagai fondasi
untuk kerja lanjut.
Penggarapan
naskah melalui kajian filologi merupakan
salah satu upaya untuk mengungkap warisan nenek moyang yang tersimpan di dalam
naskah. Naskah yang telah hancur karena umurnya yang sudah tua, akan semakin
sulit dalam menggali isi yang terkandung di dalam naskah tersebut.
(Baried, 1985)
mengungkapkan studi filologi terhadap karya tulis masa lampau dilakukan karena
adanya anggapan bahwa dalam peninggalan tulisan terkandung nilai-nilai yang
masih relevan dengan kehidupan masa kini. (Tryniecka, 2014) dalam jurnal Athens Journal of Philology vol-1, berjudul Tekts in Dialogue: Domesticating the Past, juga
mengungkapkan hal yang sejalan, bahwa teks masa lalu masih berlabuh pada
kenyataan masa kini.
Terlepas
dari pada itu menurut (Amin, 2011) dalam jurnal Khatulistiwa vol-1 yang berjudul Preservasi Naskah Klasik bahwa naskah
merupakan dokumen budaya yang hidup di tengah masyarakat yang merefleksikan
peradaban dari zamannya. Dengan kata lain karakter suatu bangsa dapat dibangun
dengan cara mengetahui identitas suatu bangsa itu sendiri (Dewi, 2018). Oleh sebab itu bisa dikatakan bahwa naskah adalah
peninggalan nenek moyang yang sangat berharga yang dimiliki bangsa Indonesia.
Berhubung naskah
merupakan suatu aset peninggalan yang tertulis yang menyimpan
berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya bangsa masa lampau (Hartini, 2012)
dan tulisan yang dapat
memberikan pengetahuan mengenai informasi sejarah kebudayaan masa lalu (Hidayatullah, 2015),
maka perlu dan penting untuk segera dilakukan penelitian,
Salah satu
Naskah lama yang dapat dijadikan objek penelitian filologi ini adalah Serat Pratelan Wesi Aji Serat Primbon Jati (SPWASPJ). Naskah SPWASPJ adalah salah satu naskah dari sekian banyak naskah yang ada
di Indonesia. Naskah SPWASPJ ini
tersimpan di pihak pengkoleksi naskah Perpustakaan Radyapustaka Surakarta
dengan nomor naskah RP 219.
Naskah SPWASPJ ini terdiri dari 61 halaman yang
masih ditulis menggunakan tulisan tangan berbahasa Jawa dan beraksara jawa.
Kondisi naskah SPWASPJ saat ini
terlihat sudah sangat lapuk dan rapuh. Dilihat dari fisiknya beberapa halaman
dalam naskah tersebut sempat sobek yang kemudian disambungkan kembali
menggunakan selotip. Hal itu dimungkinkan karena kurang berhati-hati dalam membawa
atau memperlakukan naskah, sehingga tulisan atau aksaranya sangat sulit
dipahami dan itu merupakan kendala bagi peneliti sekaligus tantangan.
Naskah SPWASPJ adalah salah satu naskah yang
berbentuk prosa. Dalam teks naskah SPWASPJ
ini berisi tentang wasiat dari Panembahan Karang atau yang disebut Mudhik
Bathara Karang, guru dari Pendeta Empu Ramadi. Dilihat dari judul naskah,
tentunya isi dari naskah ini tidak jauh dari pembahasan seputar wesi aji atau keris. Selain itu naskah
ini juga membahas tentang prombon
atau ramalan-ramalan kehidupan yang dipercara pada masa lalu.
Isi teks naskah
ini menjelaskan dengan rinci beberapa hal
mengenai padhuwungan atau keris, di
antaranya menyebutkan nama-nama besi sekaligus khasiatnya. Selanjutnya
disebutkan juga kekuatan atau tingkatan keris yang baik, cara mengukur keris,
nama-nama keris, luk keris dan pamor keris.
Selain
membahas tentang keris di dalam naskah (SPWASPJ) juga
tertulis beberapa jenis ramalan. Di
antaranya ramalan tentang kedutan-kedutan yang terjadi di anggota tubuh manusia,
ramalan tentang mimpi, ramalan tentang suara dari burung prenjak dan burung
gagak, dan masih banyak lagi. Dalam naskah ini tertulis bahwa ramalan ini tidak
pernah meleset.
Oleh
sebab itu pada artikel ini akan menyajikan beberapa hal mengenai keris yang
sudah disebutkan tadi. Dengan demikian kita akan mengenal kembali nama-nama
keris yang pernah dibuat pada masa lalu di pulau Jawa ini. Mengingat bahwa tiap
bilah keris memiliki unsur yang melekat sebagai ciri dari keris, maka perlu
disebutkan apa saja hal yang berkaitan dengan keris itu sendiri. Selain menjadi
ciri dari sebuah keris, unsur-unsur itu
juga menentukan kasiat dan kekuatan pada keris tersebut.
Sehingga
masalah dalam penelitian ini adalah apa saja nama-nama besi, nama-nama keris,
dan bagaimana cara mengukur sebuah keris dalam Serat Pratelan Wesi Aji Serat Primbon Jati.
B.
METODE
PENELITIAN
Data
dalam artikel ini adalah teks
dalam naskah Serat Pratelan Wesi Aji
Serat Primbon Jati (SPWASPJ). Naskah (SPWASPJ)
ini diperoleh di Museum Radyapustaka Surakarta dengan nomor naskah RP 219.
Naskah (SPWASPJ) ini ditulis
menggunakan Bahasa Jawa, dan berhuruf Jawa (aksara
Jawa) dengan tebal 61 halaman.
Transliterasi merupakan rangkaian kegiatan dalam kerja
filologi yaitu dengan mengalih aksarakan atau penggantian jenis aksara yang
umumnya aksara tersebut belum dikenal oleh masyarakat luas dengan aksara lain
dari abjad lain yang sudah dipahami dan dikenali oleh masyarakat luas (Basuki
2004:42).
Naskah SPWASPJ
yang menjadi bahan penelitian ditulis dengan menggunakan aksara Jawa. Oleh
karena itu, teks perlu ditransliterasikan ke dalam huruf latin agar teks SPWASPJ dapat lebih mudah dibaca,
dimengerti, dipahami oleh kalangan yang lebih luas tidak hanya orang yang bisa
membaca huruf Jawa. Acuan Acuan dalam
menstransliterasi teks naskah Serat
Pratelan Wesi Aji Serat Primbon Jati sehingga dapat dipertanggungjawabkan
secara teoretis maka dalam transliterasi menggunakan Pedoman Penulisan Aksara Jawa (Darusuprapta, 2002).
Metode penyuntingan naskah adalah memperbaiki naskah yang sudah
ditransliterasi dengan cara memperbaiki segala macam kesalahan, mengganti
bacaan yang tidak sesuai dan memberi tanda jeda sesuai dengan EYD bahasa Jawa
yang digunakan sekarang. Penyuntingan ini
dilakukan demi mendapatkan teks yang sesahih mungkin sehingga dapat dipahami
dengan sebaik-baiknya. Penyuntingan dalam naskah SPWASPJ ini berdasarkan edisi standar agar suntingan dalam teks ini
dapat terhindar dari kesalahan yang timbul saat proses penyalinan.
Adapun langkah kerja yang dilakukan terhadap naskah ini adalah, pada
langkah pertma penulis melakukan penelusuran naskah melalui katalog yang ada di
Museum Radyapustaka.
Selanjutnya langkah yang kedua yaitu, menentukan naskah yang akan dijadikan
sebagai bahan penelitian, dalam hal ini yang menjadi bahan penelitian adalah
naskah Serat Pratelan Wesi Aji Serat
Primbon Jati. Setelah ditentukannya naskah SPWASPJ sebagai bahan, kemudian penulis membaca
teks SPWASPJ dengan teliti. Dengan demikian penulis dapat membuat deskripsi naskah SPWASPJ.
Langkah selanjutnya, naskah tersebut kemudian ditransliterasi kedalam
tulisan latin. Hal itu dilakukan agar penulis lebih mudah dalam mendeteksi
berbagai bentuk kesalahan yang terdapat pada isi teks naskah SPWASPJ. Berikutnya naskah tersebut
disunting dengan bertujuan untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang ada pada
naskah. penyuntingan pada teks SPWASPJ ini
menggunakan metode edisi standar disertai kritik teks.
Setelah mendapatkan teks yang baik selanjutnya naskah SPWASPJ diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dan langkah yang
terakhir membuat glosarium.
C. HASIL DAN
PEMBAHASAN
Naskah Serat Pratelan wesi aji Serat Primbon Jati
tersimpan di Museum Radyapustaka Surakarta, dengan nomor naskah RP 219. Kondisi naskah masih utuh dengan tulisan aksara Jawa yang
masih ditulis tangan. Bentuk teks berupa
prosa dengan tebal 61 lembar dan 1 halaman berupa sampul. Umur naskah dan
penulisnya tidak disebutkan.
Naskah SPWASPJ merupakan
karya sastra yang memuat tiga hal. Tiga hal
tersebut di antaranya adalah padhuwungan, primbon Jawa, dan juga serat perjanjian yang dilakukan oleh
Kanjeng Sunan Pakubuwana ke 7 dengan orang belanda. Dari ketiga pembahasan itu artikel ini hanya menyajikan
satu pembahasan mengenai padhuwungan atau
tentang keris.
Berbicara tentang keris pada naskah SPWASPJ ini terdapat
beberapa penjelasan yang berkaitan erat dengan keris. Pada bagian pertama
naskah ini menjelaskan bermacam-macam jenis besi yang bisa digunakan untuk
membuat keris dan berbagai senjata tajam lainnya. Kemudian jenis keris beserta
pemilik dan pembuat keris. Pada bagian ini dijelaskan sangat rinci unsur-unsur
yang melekat pada keris sebagai ciri khas tiap bilah keris.
Selain jenis besi dan keris, naskah ini juga menjelaskan
cara untuk mengukur baik atau buruknya keris. Kemudian yang terakhir disebutkan
juga jenis-jenis pamor keris.
Jenis Besi
Keris
tidak pernah lepas dengan besi karena besi merupakan unsur logam terpenting
dalam pembuatan keris maupun senjata tajam lainnya. Pengetahuan orang Jawa
jaman dulu untuk membedakan senyawa besi yang satu dengan jenis besi yang
lainnya tidak menggunakan ilmu pengetahuan modern. Ilmu orang Jawa tidak
menggunakan ukuran dan tolok ukur yang bersifat sains, jadi memang tergolong
tidak ilmiah. Orang Jawa dalam membedakan berbagai jenis besi hanya dengan cara
mengamati, mendengar bunyi bila dipukul atau dijentik, merabah, dan dengan
perasaan hatinya. Oleh sebab itu ilmu tradisional tentang besi sukar dipelajari
oleh sembarang orang.
Pada
teks naskah SPWASPJ ini disebutkan
ada 17 jenis besi yang bersifat baik dan 17 besi yang sifatnya buruk.
Dijelaskan juga secara rinci mengenai jenis-jenis besi beserta ciri untuk
membedakan setiap besi. Seperti yang dikatakan tadi bahwa cara orang Jawa dulu
untuk membedakannya yaitu dengan
mengamati, mendengarkan bunyi, merabah, dan juga dirasakan dengan hati.
Sama halnya dengan yang ada di dalam teks SPWASPJ
ini. Tidak hanya itu naskah ini juga menyebutkan makanan yang dibutuhkan
setiap besi.
Salah
satu contoh jenis besi yang ada dalam teks naskah SPWASPJ yaitu besi Karang
Kijang. Besi tersebut ciri-cirinya yaitu seperti yang dijelaskan pada teks SPWASPJ seperti berikut.
Yèn ana weşi dithinthing uninè kayata wos
endhas/ ngeng/ ototè kaya banyu lahut/ iya iku kang aran wesi karang kijang/
kasiyatè ampuh lan anteb tibane/ ora gelem mangan yèn ora paşthi mati, lan
sabar, iya iku pandhitaning weşi/ pakananè balung endhas kutuk3,
kuliting endhog pitik ireng mulus dicarub4 [banjur] diwuwurake,
aja pisah lenga wangi lan kutuk//
“Apabila
ada besi yang diketuk atau dipukul berbunyi seperti isi kepala “ngeng” dan
ototnya seperti air laut, maka itulah yang dinamakan besi karang kijang.
Khasiatnya ampuh dan berat bila jatuh. Besi ini tidak bisa diberi makan
sembarangan karena besi ini adalah pendetanya besi. Makanannya yaitu tulang
kepala kutuk, kulit telur ayam hitam
legam dicampur kemudian ditaburkan, jangan dipesah antara minyak wangi dan kutuk”.
Jadi
pada naskah SPWASPJ ini menjelaskan
bahwa ciri-ciri besi karang kijang ini memiliki urat yang menyerupai air laut.
Apa bila besi ini dijentikkan maka akan menimbulkan bunyi mbrengengeng. Besi karang kijang ini dipercaya sebagai pendeta dari
segala besi. Besi ini memiliki warna hitam kebiruan.
Makanan
dari besi karang kijang ini berupa tulang kepala kutuk, kulit telur dari ayam hitam atau yang kita kenal yaitu ayam
cemani. Dari kedua bahan itu kemudian digerus sampai lembut lalu ditaburkan.
Maksud dari makanan besi ini yaitu untuk merawat dan menjaga tuah besi ketika
sudah menjadi sebilah keris.
Jenis Keris
Keris merupakan sebuah karya yang berestetika tinggi dan penuh dengan
simbolik. Keris tersebut dikenal sebagai senjata yang memiliki kehormatan dalam
masyarakat Jawa. Keris tidak hanya berfungsi sebagai senjata, namun juga
sebagai pusaka yang menunjukkan status pemiliknya.
Terlepas
dari itu, perlu kita ingat bahwa sebuah karya tidak akan pernah tercipta bila
tidak ada yang menciptakan. Begitu pula dengan keris. Keris tersebut juga tidak
terlepas dari sang pengrajin, yang mana di sini dikenal dengan nama Empu.
Seorang
empu sangat memiliki pengaruh besar terhadap terciptanya sebuah keris. Pada
naskah SPWASPJ menyebutkan beberapa
Empu yang sangat terkenal di pulau Jawa pada jaman dahulu, salah satunya yaitu
Empu Ramadi. Dalam naskah SPWASPJ disebutkan
bahwa Empu Ramadi adalah murid dari Bathara Karang atau yang dikenal dengan
Kyai Mudhik Bathara Karang.
Pada
naskah SPWASPJ menyebutkan beberapa
keris yang telah diciptakan oleh Empu Ramadi di antaranya adalah keris lar
ngatap, keris pasopati, dan keris cundrik. Keris-keris tersebut dijelaskan
dengan rinci ciri-cirinya. Ketiga keris itu dimiliki oleh Sri Paduka Maharaja
Dewa Buda, yaitu Sang Hyang Guru Nata.
Jenis
dan ciri-ciri ketiga keris tersebut dijelaskan pada teks naskah SPWASPJ sebagai berikut.
1.
Dhuwung dhapur lar ngatap/ satèngah [kaol] / dhuwung
dhapur lar ngatap punika lèrès mawi sogokan kakalih dumugi ing
pucuk/ ing ngajèng tanpa sèkar kacang ing gonja wingking tanpa greneng//
2.
Dhuwung dhapur pasopati/ satèngah [kaol] dhuwung dhapur
pasopati punika lèrès mawi sogokan kakalih/ ing ngajèng sèkar kacangipun
sèpang/ mawi lambe gajah/ ing gonja wingking mawi greneng//
3.
Dhuwung dhapur cundrik punika lèrès ganjanipun
kuwangsul mawi greneng mawi sogokan kakalih//
|| Ingkang
damèl anama èmpu Ramadi/ kala taun Jawi anglèrèsi sangkala “152”//
1. Keris
dapur lar ngatap, setengah cerita, keris lar ngatap tersebut lurus, menggunakan
dua sogokan sampai ujung, bagian
depan tidak menggunakan sekar
kacang, pada bagian belakang ganja
tidak memakai greneng.
2. Keris
pasopati, setengah cerita, keris pasopati tersebut lurus, serta memakai dua sogokan,
di depan sekar kacangnya satu cabang, menggunakan lambe gajah, ganja belakang
menggunakan greneng.
3. Keris
cundrik ini berbentuk lurus, ganjanya terbalik, memakai greneng dan juga
menggunakan dua sogokan.
Yang
membuat bernama Empu Ramadi, pada tahun Jawa bertepatan sengkala “152”
Dari
penjelasan di atas ketiga keris ciptakan Empu Ramadi ini memiliki bentuk yang
lurus tanpa ada luk atau lekukan.
Namun yang membedakan dari ketiga keris tersebut yaitu tentang ricikannya.
Ricikan
itu sendiri adalah penamaan pada bagian-bagian keris yang bisa digunakan untuk
menentukan dapur keris apakah itu. Tiap keris akan memiliki beberapa ricikannya
masing-masing sebagai ciri khas dapur keris itu sendiri.
Ricikan
yang dimiliki dapur keris lar ngatap yaitu dua sogokan yang menjulang sampai
ujung. Pada bagian depan tidak menggunakan sekar kacang, dan pada bagian
belakang ganja tidak menggunakan greneng.
Ricikan yang dimiliki keris pasopati juga memakai dua
sogokan akan tetapi tidak sampai ke ujung. Pada bagian depan memiliki satu
cabang sekar kacang, dan bawah sekar kacang juga ada lambe gajah. Pada bagian
belakang menggunakan greneng.
Kemudian keris yang ketiga yaitu keris cundrik. Keris
cundrik ini memiliki perbedaan yang sangat mencolok, karena ganjanya yang
terbalik. Keris ini menggunakan greneng dan dua sogokan. Jadi sudah sangat
jelas bahwa keris lar ngatap, keris pasopati, dan keris cundrik memiliki
ricikannya masing-masing.
Cara Mengukur Keris
Naskah SPWASPJ juga menyajikan bagaimana cara
untuk mengukur sebilah keris. Ukuran keris tersebut dapat menentukan baik atau
buruknya keris. Dalam teks SPWASPJ menjelaskan
ada 4 istilah dari hasil pengukuran tersebut. Nama atau istilahnya antara lain:
gunung, gugur, segara, asat.
Adapun
cara pengukuran panjang keris mulai dari ganja yang dekat dengan pesi sampai
ujung depan menekuk seperempat, yang seperempat kemudian diukur mulai dari
ganja yang dekat pesi ke bawah di mana jatuhnya, kemudian diukur melintang
selebar keris, yang dipakai untuk mengukur melintang lebar keris tadi setengah
dari ukuran panjangnya keris sampai habis jatuhnya apa.
1. Bila
jatuhnya gunung, bagus.
2. Bila
jatuhnya gugur, jelek.
3. Bila
jatuhnya segara, bagus.
4.
Bila jatuhnya asat, jelek.
Cara
mengukur keris yang dijelaskan di atas bisa menggunakan benang atau tali.
Benang atau tali yang digunakan untuk mengukur kemudian dihitung satu sampai empat
diulang berkali-kali sampai habis. Setelah habis, hitungan tadi jatuh pada
angka berapa. Bila jatuh pada angka satu atau tiga, yaitu gunung atau segara maka
keris tersebut tergolong baik. Artinya keris tersebut sifatnya tidak merugikan.
Berbeda kalau jatuhnya pada hitungan kedua atau keempat yaitu, gugur atau asat karena sifatnya berkebalikan dengan gunung maupun segara
Pamor Keris
Pamor
adalah sebuah corak atau gambar yang terdapat pada bilah keris. Pamor tersebut
terbuat dari material meteor yang ditempah sampai membentuk corak atau motif.
Di dunia
keris bentuk pamor sangat beragam serta memiliki nama tersendiri sesuai dengan
corak yang dihasilkan. Penamaan pamor tersebut kebanyakan dilihat dari bentuk
pamor itu sendiri kemudian dibandingkan dengan bentuk tumbuhan, hewan, dan
benda yang mudah dijumpai.
Dalam
naskah SPWASPJ disebutkan ada 24
jenis nama pamor. Namun beberapa diantaranya nama pamor yang sering kita dengar
adalah pamor wos wutah, dan blarak ngirit, nama wos wutah sendiri atau beras tumpah
dijadikan nama untuk pamor karena memang bentuk dari motif pamor tersebut
menyerupai bentuk beras yang tumpah. Begitu pula dengan pamor blarak ngirit, yaitu karena bentuk motif
pamornya menyerupai daun kelapa.
Mengingat
bahwa membuat sebuah pamor itu merupakan seni dari para empu, jadi dalam setiap
pembuatannya bentuk dan ukuran motif tidak ada yang sama. Sekalipun menggunakan
teori dan membentuk motif yang sama sekalipun. Hal itu dikarenakan seni menempa
dan kemampuan setiap empu berbeda-beda.
D.
SIMPULAN
Naskah Serat Pratelan wesi aji Serat Primbon Jati
tersimpan di Museum Radyapustaka Surakarta, dengan nomor naskah RP 219. Kondisi naskah masih utuh dengan tulisan aksara Jawa yang
masih ditulis tangan. Bentuk teks berupa
prosa dengan tebal 61 lembar dan 1 halaman berupa sampul. Umur naskah dan
penulisnya tidak disebutkan.
Berdasarkan pembahasan terhadap teks Serat Pratelan Wesi Aji Serat Primbon Jati dengan menggunakan
pendekatan filologi, maka dapat disimpulkan bahwa penelitian ini telah
menghasilkan suntingan dan terjemahan teks SPWASPJ
yang bersih dan sahih menurut kaidah filologi. Isi
dari naskah SPWASPJ ini terdiri dari tiga pembahasan. Pembahasan
pertama antara lain mengenai jenis-jenis besi, keris, pamor, dan para empu yang
pernah membuat keris di masa lalu. Pembahasan kedua yaitu mengenai
primbon-primbon yang dipercaya pada masanya. Terakhir naskah ini juga membahas
tentang surat perjanjian yang dilakukan Kanjeng Sunan Pakubuwana ke 7 dengan
orang belanda.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, F. (2011). Preservasi
Naskah Klasik. Jurnal Khatulistiwa
LP2M IAIN Pontianak, 1(1),
89–100. Retrieved from
http://www.jurnal-khatulistiwa.com/index.php/jurnal-khatulistiwa/article/view/12/12
Baried, B. (1985). ·. Pengantar Teori Filologi. Jakarta Timur: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen dan Kebudayaan Rakyat Indonesia.
Balai
Bahasa Yogyakarta. (2011). Pedoman Umum Ejaan Bahasa Jawa Huruf Latin yang Disempurnakan.
Jakarta : Kementrian Pendidikan Nasional.
Chaer,
Abdul. (2007). Linguistik Umum.
Jakarta: Rineka Cipta.
Darusuprapta.
(1984). Beberapa Masalah Kebahasaan dalam Penelitian Naskah. Yogyakarta:
Balai Penelitian Bahasa.
---------. (2002). Pedoman Penulisan Huruf Jawa. Yogyakarta:
Yayasan Pustaka Nusantara.
Dewi, T. U. (2018). Pembelajaran
Filologi Sebagai Salah Satu Upaya dalam Mengungkap dan Membangun Karakter Suatu
Bangsa. Jurnal Pendidikan Sejarah
Dan Riset Sosial Humaniora, 1(1),
48–61.
Hartini. (2012). Membaca Manuskrip (Buku Ajar).
Surakarta: Program Buku Teks LPP UNS.
Hidayatullah, E. A. (2015). Studi Filologi Dunia Islam dan Barat dalam Meneyelami Sejarah dan
Membangun Peradaban. Saintifika
Islamica, 2(2), 15–24.
Kementrian Pendidikan Nasional. (2011). Pedoman Umum Ejaan Bahasa Jawa Huruf Latin yang Disempurnakan.
Yogyakarta: Balai Bahasa Yogyakarta.
Nuarca, I Ketut.
(2017). Metode Filologi Sebuah Pengantar.
Bali: Program Studi Sastra Jawa Kuno, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Udayana.
Soeratno. (2011). Sastra: Teori dan Metode.
Yogyakarta: Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, UGM.
Tryniecka, A. (2014). Texts
in Dialogue: Domesticating the Past. Athens
Journal of Philology, 1(3),
173–182. https://doi.org/10.30958/ajp.1-3-2
1 komentar:
test
Posting Komentar