Rumah Joglo
Rumah adat Jawa Timur Joglo dasar filosofi dan arsitekturnya sama dengan rumah adat di Jawa Tengah Joglo. Rumah adat Joglo di Jawa Timur masih dapat kita temui banyak di daerah Ponorogo. Pengaruh Agama Islam yang berbaur dengan kepercayaan animisme, agama Hindu dan Budha masih mengakar kuat dan itu sangat berpengaruh dalam arsitekturnya yang kentara dengan filsafat sikretismenya.
Rumah Joglo umumnya terbuat dari kayu Jati. Sebutan Joglo mengacu pada bentuk atapnya, mengambil stilasi bentuk sebuah gunung. Stilasi bentuk gunung bertujuan untuk pengambilan filosofi yang terkandung di dalamnya dan diberi nama atap Tajug, tapi untuk rumah hunian atau sebagai tempat tinggal, atapnya terdiri dari 2 tajug yang disebut atap Joglo/Juglo / Tajug Loro. Dalam kehidupan orang Jawa gunung merupakan sesuatu yang tinggi dan disakralkan dan banyak dituangkan kedalam berbagai simbol, khususnya untuk simbol-simbol yang berkenaan dengan sesuatu yang magis atau mistis. Hal ini karena adanya pengaruh kuat keyakinan bahwa gunung atau tempat yang tinggi adalah tempat yang dianggap suci dan tempat tinggal para Dewa.
Pengaruh kepercayaan animisme, Hindu dan Budha masih sangat kental mempengaruhi bentuk dan tata ruang rumah Joglo tersebut contohnya:
Dalam rumah adat Joglo, umumnya sebelum memasuki ruang induk kita akan melewati sebuah pintu yang memiliki hiasan sulur gelung atau makara. Hiasan ini ditujukan untuk tolak balak, menolak maksud – maksud jahat dari luar hal ini masih dipengaruhi oleh kepercayaan animisme.
Kamar tengah merupakan kamar sakral. Dalam kamar ini pemiliki rumah biasanya menyediakan tempat tisur atau katil yang dilengkapi dengan bantal guling, cermin dan sisir dari tanduk. Umumnya juga dilengkapi dengan lampu yang menyala siang dan malam yang berfungsi sebagai pelita, serta ukiran yang memiliki makna sebagai pendidikan rohani, hal ini masih dalam pengaruh ajaran Hindu dan Budha.
Untuk rumah Joglo yang terletak di pesisir pantai utara seperti Tuban, Gresik dan Lamongan unsur-unsur di atas di tiadakan karena pengaruh Islam masuk. Melalui akultrasi budaya jawa yang harmoni, penyebaran Islam berbaur harmonis dengan budaya dan adat istiadat kepercayaan animisme, Hindu dan Budha. Islam pun mulai menjalar ke berbagai daerah di Jawa Timur, seperti di Madiun, Ngawi, Magetan, Ponorogo, Pacitan, Kediri, Tulungagung, Blitar, Trenggalek, dan sebagian Bojonegoro, sedangkan kota-kota di bagian barat Jawa timur memiliki kemiripan rumah adat Jawa Tengah, terutama Surakarta dan Yogyakarta yang disebut sebagai kota pusat peradaban Jawa.
Rumah Joglo juga menyiratkan kepercayaan kejawen masyarakat Jawa yang berdasarkan sinkretisme. Keharmonisan hubungan antara manusia dan sesamanya (“kawulo” dan “gusti”), serta hubungan antara manusia dengan lingkungan alam di sekitarnya (“microcosmos” dan “macrocosmos”), tecermin pada tata bangunan yang menyusun rumah joglo. Baik itu pada pondasi, jumlah saka guru (tiang utama), bebatur (tanah yang diratakan dan lebih tinggi dari tanah disekelilingnya), dan beragam ornamen penyusun rumah joglo.
Rumah Joglo mempunyai banyak jenis seperti
Joglo Lawakan
Joglo Sinom
Joglo Jompongan
Joglo Pangrawit
Joglo Mangkurat
Arsitektur rumah Joglo menyiratkan pesan-pesan kehidupan manusia terhadap kebutuhan “papan”. Bahwa rumah bukankah sekadar tempat berteduh, tapi ia juga merupakan “perluasan” dari diri manusia itu sendiri. Berbaur harmoni dengan alam di sekitarnya. Rumah Joglo pada umumnya sama pada bentuk global dan tata ruangnya.
Rumah adat joglo yang memiliki dua ruangan yaitu :
Ruang depan (pendopo) yang difungsikana sebagai :
tempat menerima tamu
balai pertemuan (karena awalnya hanya dimiliki oleh bangsawan dan kepala desa)
tempat untuk mengadakan upacara – upacara adat
Ruang belakang yang terdiri dari :
kamar – kamar
dapur (pawon)
Sedangkan ruang utama atau ruang induk pada rumah joglo dibagi menjadi 3 ruangan, yaitu :
sentong kiwo (kamar kiri)
sentong tengan (kamar tengah)
sentong tangen (kamar kanan)
Dan umumnya rumah joglo di bagian sebelah kiri terdapat dempil yang berfungsi sebagai tempat tidur orang tua yang langsung dihubungkan dengan serambi belakang (pasepen) yang digunakan untuk aktifitas membuat kerjinan tangan. Sedangkan disebelah kanan terdapat dapur, pendaringan dan tempat yang difungsikan untuk menyimpan alat pertanian.
Rumah adat Jawa Timur tidak hanya berbentuk Joglo saja sebenarnya, ada juga yang berbentuk limasan (dara gepak), dan bentuk srontongan (empyak setangkep).
http://rumahadat.blog.com/2012/08/30/rumah-adat-jawa-timur/
Rumah Adat Jawa Timur
Jumat, 26 Desember 2014
Diposting oleh
bahrul huda
di
06.04
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Label:
Jawa
Permainan Tradisional Jawa Timur
Permainan tradisional adalah permainan yang diturunkan dari suatu generasi ke generasi berikutnya, permainan tradisional juga memiliki banyak manfaat bagi fisik, perkembangan sosial, emosi, untuk mengasah ketrampilan dan lain-lain. Karena berbagai manfaat itulah maka sebenarnya permainan tradisional sangat baik untuk diajarkan dan dimainkan oleh anak. Permainan tradisional tentu akan melatih anak untuk bersosialisasi, berbeda dengan permainan-permainan jaman sekarang yang membuat anak cenderung bersifat individualis.
Kali ini permainan tradisional jawa yang akan kita bahas adalah permainan dari Jawa Timur, sebagian diantaranya:
1. Patil Lele
Permainan Patil Lele membutuhkan konsentrasi dan ketahanan fisik yang baik, terutama kekuatan pada tangan. Permainan ini kebanyakan dimainkan oleh anak laki-laki, bisa dimainkan di halaman rumah atau tanah lapang. Permainan ini merupakan permainan kelompok walau bisa juga bila hanya dua orang, tapi akan lebih seru bila berkelompok.
Cara Bermain:
Pertama harus menyiapkan alat untuk bermainnya dulu yaitu dua potong kayu, yang satu berukuran 40 cm(induk) dan yang satu 6/7cm (anak), yang kemudian induk akan digunakan untuk memukul anak. Kemudian siapkan juga sebuah lubang di tanah berukuran kurang lebih 10cm, yang akan menjadi tempat tolakan potongan kayu.
Bila pemain sudah dibagi dalam 2 kelompok, seperti biasa tentukan siapa yang kalah dan menang. Yang kalah bertugas jaga dan yang menang bermain.
Tahap pertama, permainan dimulai saat potongan kayu “anak” diletakkan di atas lubang, yang kemudian dicukil dari bawah dengan induk sejauh mungkin oleh salah satu anggota kelompok yang menang. Setelah “anak” dicukil “induk” harus diletakkan di lubang tadi dalam posisi melintang. Semua pemain yang jaga berusaha untuk menangkap “anak”, bila berhasil maka pemain yang tadi mencukil dianggap gagal. Bila tidak ada yang berhasil menangkap maka pemain jaga harus melempar “anak” ke arah lubang dan harus mengenai “induk”, bila mengenai “induk” maka pemain yang tadi mencukil dianggap gagal dan berganti jaga, tapi bila tidak mengenai maka dapat melanjutkan ke tahap berikutnya.
Tahap kedua, “anak” diletakkan dengan posisi menancap dalam posisi miring di atas lubang, kemudian ujung “anak” yang ada di luar lubang dipukul dengan “induk” hingga meloncat ke atas. Saat itulah pemain yang tadi mencukilnya harus memukul sejauh-jauhnya dengan “induk”, bila tidak bisa memukul maka dianggap gagal. Dan seperti tahap satu tadi pemain jaga harus bersiap untuk menangkap “anak”, aturannya pun masih sama.
Setiap pemain jaga berhasil menangkap atau saat melempar anak dan mengenai “induk” akan ada poin yang nilainya telah disepakati bersama sebelum permainan.
2. Petak umpet
Petak umpet bisa dilakukan di halaman dan di lapangan, bisa dilakukan anak laki-laki sekaligus perempuan.
Cara Bermain:
Untuk cara bermain petak umpet sepertinya di daerah manapun peraturannya sama, yaitu pemain minimal ada 3 orang tapi lebih seru bila dilakukan ramai-ramai. Pertama pemain menentukan 1 pemain yang kalah, kemudian pemain yang kalah menutup matanya sambil menghitung 1-20 misalnya dan saat itu pemain yang lain harus sembunyi, setelah selesai menghitung pemain yang kalah harus mencari temannya sambil menyebut namanya. Bila semua pemain sudah ditemukan maka pemain yang pertama kali ditangkap, giliran menjadi pemain yang harus menghitung dan mencari teman lain. Tetapi bila ada salah satu pemain yang berhasil memegang pohon/tiang yang disepakati sebagai tempat kembali tanpa diketahui oleh pemain kalah maka pemain yang kalah harus rela untuk menghitung lagi, dan begitu seterusnya.
Permainan tradisional Jawa Timur yang lain masih banyak, seperti keladi, lompat tali dan lain-lain.
Permainan tradisional dari suatu daerah sebenarnya banyak memiliki kemiripan dengan permainan tradisional dari daerah lain, bisa hanya berbeda namanya karena memang perbedaan bahasa dan mungkin tahapannya juga agak sedikit berbeda. Misalnya permainan Patil Lele yang mirip dengan permainan Benthik, Congkak mirip bahkan sama dengan Dakon, dan lain sebagainya.
Namun kebanyakan permainan tradisional dari daerah manapun selalu mengajarkan kebersamaan, kesederhanaan, cekatan, ketrampilan, dan lain-lain. Banyak nilai positif yang dapat diambil dari tiap permainan tradisional.
Referensi: http://lbbkapurputih.wordpress.com/2012/06/06/permainan-tradisional-jawa-timur/
Kali ini permainan tradisional jawa yang akan kita bahas adalah permainan dari Jawa Timur, sebagian diantaranya:
1. Patil Lele
Permainan Patil Lele membutuhkan konsentrasi dan ketahanan fisik yang baik, terutama kekuatan pada tangan. Permainan ini kebanyakan dimainkan oleh anak laki-laki, bisa dimainkan di halaman rumah atau tanah lapang. Permainan ini merupakan permainan kelompok walau bisa juga bila hanya dua orang, tapi akan lebih seru bila berkelompok.
Cara Bermain:
Pertama harus menyiapkan alat untuk bermainnya dulu yaitu dua potong kayu, yang satu berukuran 40 cm(induk) dan yang satu 6/7cm (anak), yang kemudian induk akan digunakan untuk memukul anak. Kemudian siapkan juga sebuah lubang di tanah berukuran kurang lebih 10cm, yang akan menjadi tempat tolakan potongan kayu.
Bila pemain sudah dibagi dalam 2 kelompok, seperti biasa tentukan siapa yang kalah dan menang. Yang kalah bertugas jaga dan yang menang bermain.
Tahap pertama, permainan dimulai saat potongan kayu “anak” diletakkan di atas lubang, yang kemudian dicukil dari bawah dengan induk sejauh mungkin oleh salah satu anggota kelompok yang menang. Setelah “anak” dicukil “induk” harus diletakkan di lubang tadi dalam posisi melintang. Semua pemain yang jaga berusaha untuk menangkap “anak”, bila berhasil maka pemain yang tadi mencukil dianggap gagal. Bila tidak ada yang berhasil menangkap maka pemain jaga harus melempar “anak” ke arah lubang dan harus mengenai “induk”, bila mengenai “induk” maka pemain yang tadi mencukil dianggap gagal dan berganti jaga, tapi bila tidak mengenai maka dapat melanjutkan ke tahap berikutnya.
Tahap kedua, “anak” diletakkan dengan posisi menancap dalam posisi miring di atas lubang, kemudian ujung “anak” yang ada di luar lubang dipukul dengan “induk” hingga meloncat ke atas. Saat itulah pemain yang tadi mencukilnya harus memukul sejauh-jauhnya dengan “induk”, bila tidak bisa memukul maka dianggap gagal. Dan seperti tahap satu tadi pemain jaga harus bersiap untuk menangkap “anak”, aturannya pun masih sama.
Setiap pemain jaga berhasil menangkap atau saat melempar anak dan mengenai “induk” akan ada poin yang nilainya telah disepakati bersama sebelum permainan.
2. Petak umpet
Petak umpet bisa dilakukan di halaman dan di lapangan, bisa dilakukan anak laki-laki sekaligus perempuan.
Cara Bermain:
Untuk cara bermain petak umpet sepertinya di daerah manapun peraturannya sama, yaitu pemain minimal ada 3 orang tapi lebih seru bila dilakukan ramai-ramai. Pertama pemain menentukan 1 pemain yang kalah, kemudian pemain yang kalah menutup matanya sambil menghitung 1-20 misalnya dan saat itu pemain yang lain harus sembunyi, setelah selesai menghitung pemain yang kalah harus mencari temannya sambil menyebut namanya. Bila semua pemain sudah ditemukan maka pemain yang pertama kali ditangkap, giliran menjadi pemain yang harus menghitung dan mencari teman lain. Tetapi bila ada salah satu pemain yang berhasil memegang pohon/tiang yang disepakati sebagai tempat kembali tanpa diketahui oleh pemain kalah maka pemain yang kalah harus rela untuk menghitung lagi, dan begitu seterusnya.
Permainan tradisional Jawa Timur yang lain masih banyak, seperti keladi, lompat tali dan lain-lain.
Permainan tradisional dari suatu daerah sebenarnya banyak memiliki kemiripan dengan permainan tradisional dari daerah lain, bisa hanya berbeda namanya karena memang perbedaan bahasa dan mungkin tahapannya juga agak sedikit berbeda. Misalnya permainan Patil Lele yang mirip dengan permainan Benthik, Congkak mirip bahkan sama dengan Dakon, dan lain sebagainya.
Namun kebanyakan permainan tradisional dari daerah manapun selalu mengajarkan kebersamaan, kesederhanaan, cekatan, ketrampilan, dan lain-lain. Banyak nilai positif yang dapat diambil dari tiap permainan tradisional.
Referensi: http://lbbkapurputih.wordpress.com/2012/06/06/permainan-tradisional-jawa-timur/
Diposting oleh
bahrul huda
di
05.52
1 komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Label:
Budaya
Sedekah Laut Ala Nelayan Tuban
Tuban. Masyarakat nalayan di Kelurahan Karangsari, Kec/Kab Tuban, Jawa Timur, Rabu (01/10/2014) menggelar tradisi tahunan sedah laut sebagai wujud syukur kepada sang pencipta agar terhindar dari marabahaya disaat aktifitas melaut.
Tradisi itu digelar oleh para nelayan dengan cara melakukan ritual larung dan memasang kepala kerbau yang kemudian diganti dengan kepala sapi untuk dipasang di atas tonggak kayu dibibir pantai dengan menghadap ke laut. Kepala hewan itu sengaja dipasang untuk dijadikan tumbal agar penguasa laut tidak menggangu nelayan saat berlayar mencari ikan.
Sambil membakar kemeyan dan doa doa yang dipimpin sesepuh nelayan setempat, prosesi larung sesaji itu pun ramai diikuti ratusan nelayan seusai memasang tumbal. para nelayan itu kemudian berangkat ke tengah laut degan menggunakan perahunya masing masing, berbagai warna warni bendera pun indah menghiasi perahu untuk kepentingan prosesi tahunan sedekah laut itu. Arak arak’an perahu mengiringi prosesi larung juga banyak diikuti warga nelayan untuk melepaskan larung sesaji.
“larung sesaji ini terdiri dari makanan matang yang diracik dengan kembang kembang. Selain itu, juga kita berikan sepasang boneka laki laki dan perempuan, sebagai bentuk sukur manusia kepada sang pencipta. Yang kita lepas itu namanya bekakak istilahnya,” kata Muin, panitia larung.
Seusai melepaskan larung sesaji di tengah laut, warga nelayan pun juga menggelar acara hiburan dangdut di lokasi bibir pantai. Dangdut tersebut dianggap acara pelengkap untuk menghibur warga nelayan.
Sunaryo, S. pd selaku Bidang Pariwisata dan Kebudayaan Dinas Perekonomian Kabupaten Tuban menceritakan, sesuai dengan catatan sejarah dinas pariwisata bahwa larung sesaji sedekah laut yang digelar warga nelayan kelurahan karangsari Tuban itu, sudah berlangsung sejak jaman nenek moyang. “catatan persis sejak kapan digelarnya sedekah laut larung sesaji itu tidak terdeteksi. Pokoknya ya jaman nenek moyang,” Katanya.
Namun, cerita Sunaryo, berjalannya waktu perubahan sedekah laut pun juga ada. Jika dulu digelar acara tradisi gelut pathol, maka sekarang ya diisi hiburan dangdut. “banyak tradisi yang terkikis, jika dulu dalam prosesi sedakah laut ada tradisi gelut pathol, maka tradisi itu pun terkikis dengan hiburan kontemporer seperti dangdutan. Yang masih kental itu pelepasan bekakak-nya,”lanjut Sunaryo. (Swf)
Sumber:- http://www.panturajatim.com/warta/sedekah-laut-ala-nelayan-tuban
Sumber:- http://www.panturajatim.com/warta/sedekah-laut-ala-nelayan-tuban
Diposting oleh
bahrul huda
di
05.44
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Label:
Budaya
Pakaian Adat Jawa Timur
Secara sekilas pakaian adat Jawa Timur mirip dengan pakaian adat Jawa Tengah. Hal ini dikarenakan pengaruh kebudayaan dan adat Jawa Tengah sangat banyak.
Namun tetap berbeda, pakaian adat Jawa Tengah mengambarkan perilaku orang Jawa Tengah yang santun yang berbalut filosofi dalam kain batik.
Sedangkan pada Pakaian adat Jawa Timur mencerminkan ketegasan dan kesederhanaan kebudayaan Jawa Timur.
Selain itu yang membedakan pakain adat Jawa Timur dengan Jawa Tengah adalah penutup kepala yang dipakai atau Odheng. Arloji rantai dan sebum dhungket atau tongkat.
Pakaian adat Jawa Timur biasa disebut dengan Mantenan. Karena biasanya dipakai pada saat acara perkawinan oleh masyarakat jawa Timur. Selain busana Mantenan, pakaian khas Madura juga termasuk pakain adat Jawa Timur.
Pakaian khas Madura biasa disebut pesa’an. Pakaian ini terkesan sederhana karena hanya berupa kaos bergaris merah putih dan celana longgar. Untuk wanita biasa menggunakan kebaya.
Ciri khas dari kebaya adalah penggunaan kutang polos dengan warna cerah yang mencolok. Sehingga keindahan tubuh si pemakai akan terlihat jelas.
Hal ini merupakan nilai budaya Madura yang sangat menghargai keindahan tubuh. Bukan sebagai sarana pornografi.
Warna – warna yang mencolok dan kuat yang dipakai dalam busana Madura menunjukan karakter orang Madura yang tidak pernah ragu – ragu, berani, terbuka dan terus terang.
Sedangkan untuk para bangsawan menggunakan jas tutup polos dengan kain panjang. Lengkap dengan odeng yang menunjukan derajat kebangsawanan seseorang.
Diposting oleh
bahrul huda
di
05.24
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Label:
Jawa
Mengenal Tradisi Malam Satu Suro Ditanah Jawa
Kedatangan tahun baru biasanya ditandai dengan berbagai kemeriahan, seperti pesta kembang api, keramaian tiupan terompet, maupun berbagai arak-arakan di malam pergantian tahun.
Lain halnya dengan pergantian tahun baru Jawa yang jatuh tiap malam 1 Suro (1 Muharram) yang tidak disambut dengan kemeriahan, namun dengan berbagai ritual sebagai bentuk introspeksi diri.
Saat malam 1 Suro tiba, masyarakat Jawa umumnya melakukan ritual tirakatan, lek-lekan (tidak tidur semalam suntuk), dan tuguran (perenungan diri sambil berdoa).
Lain halnya dengan pergantian tahun baru Jawa yang jatuh tiap malam 1 Suro (1 Muharram) yang tidak disambut dengan kemeriahan, namun dengan berbagai ritual sebagai bentuk introspeksi diri.
Saat malam 1 Suro tiba, masyarakat Jawa umumnya melakukan ritual tirakatan, lek-lekan (tidak tidur semalam suntuk), dan tuguran (perenungan diri sambil berdoa).
Diposting oleh
bahrul huda
di
05.03
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Label:
Budaya
Kuda Lumping
Kamis, 25 Desember 2014
Kuda lumping juga disebut jaran kepang atau jathilan adalah tarian tradisional Jawa menampilkan sekelompok prajurit tengah menunggang kuda. Tarian ini menggunakan kuda yang terbuat dari bambu yang di anyam dan dipotong menyerupai bentuk kuda. Anyaman kuda ini dihias dengan cat dan kain beraneka warna. Tarian kuda lumping biasanya hanya menampilkan adegan prajurit berkuda, akan tetapi beberapa penampilan kuda lumping juga menyuguhkan atraksi kesurupan, kekebalan, dan kekuatan magis, seperti atraksi memakan beling dan kekebalan tubuh terhadap deraan pecut. Jaran Kepang merupakan bagian dari pagelaran tari reog. Meskipun tarian ini berasal dari Jawa, Indonesia, tarian ini juga diwariskan oleh kaum Jawa yang menetap di Sumatera Utara dan di beberapa daerah di luar Indonesia seperti di Malaysia.
Kuda lumping adalah seni tari yang dimainkan dengan properti berupa kuda tiruan, yang terbuat dari anyaman bambu atau kepang. Tidak satupun catatan sejarah mampu menjelaskan asal mula tarian ini, hanya riwayat verbal yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Konon, tari kuda lumping merupakan bentuk apresiasi dan dukungan rakyat jelata terhadap pasukan berkuda Pangeran Diponegoro dalam menghadapi penjajah Belanda. Ada pula versi yang menyebutkan, bahwa tari kuda lumping menggambarkan kisah perjuangan Raden Patah, yang dibantu oleh Sunan Kalijaga, melawan penjajah Belanda. Versi lain menyebutkan bahwa, tarian ini mengisahkan tentang latihan perang pasukan Mataram yang dipimpin Sultan Hamengku Buwono I, Raja Mataram, untuk menghadapi pasukan Belanda.
Terlepas dari asal usul dan nilai historisnya, tari kuda lumping merefleksikan semangat heroisme dan aspek kemiliteran sebuah pasukan berkuda atau kavaleri. Hal ini terlihat dari gerakan-gerakan ritmis, dinamis, dan agresif, melalui kibasan anyaman bambu, menirukan gerakan layaknya seekor kuda di tengah peperangan.
Seringkali dalam pertunjukan tari kuda lumping, juga menampilkan atraksi yang mempertontonkan kekuatan supranatural berbau magis, seperti atraksi mengunyah kaca, menyayat lengan dengan golok, membakar diri, berjalan di atas pecahan kaca, dan lain-lain. Mungkin, atraksi ini merefleksikan kekuatan supranatural yang pada zaman dahulu berkembang di lingkungan Kerajaan Jawa, dan merupakan aspek non militer yang dipergunakan untuk melawan pasukan Belanda.
Kuda lumping adalah seni tari yang dimainkan dengan properti berupa kuda tiruan, yang terbuat dari anyaman bambu atau kepang. Tidak satupun catatan sejarah mampu menjelaskan asal mula tarian ini, hanya riwayat verbal yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Konon, tari kuda lumping merupakan bentuk apresiasi dan dukungan rakyat jelata terhadap pasukan berkuda Pangeran Diponegoro dalam menghadapi penjajah Belanda. Ada pula versi yang menyebutkan, bahwa tari kuda lumping menggambarkan kisah perjuangan Raden Patah, yang dibantu oleh Sunan Kalijaga, melawan penjajah Belanda. Versi lain menyebutkan bahwa, tarian ini mengisahkan tentang latihan perang pasukan Mataram yang dipimpin Sultan Hamengku Buwono I, Raja Mataram, untuk menghadapi pasukan Belanda.
Terlepas dari asal usul dan nilai historisnya, tari kuda lumping merefleksikan semangat heroisme dan aspek kemiliteran sebuah pasukan berkuda atau kavaleri. Hal ini terlihat dari gerakan-gerakan ritmis, dinamis, dan agresif, melalui kibasan anyaman bambu, menirukan gerakan layaknya seekor kuda di tengah peperangan.
Seringkali dalam pertunjukan tari kuda lumping, juga menampilkan atraksi yang mempertontonkan kekuatan supranatural berbau magis, seperti atraksi mengunyah kaca, menyayat lengan dengan golok, membakar diri, berjalan di atas pecahan kaca, dan lain-lain. Mungkin, atraksi ini merefleksikan kekuatan supranatural yang pada zaman dahulu berkembang di lingkungan Kerajaan Jawa, dan merupakan aspek non militer yang dipergunakan untuk melawan pasukan Belanda.
Diposting oleh
bahrul huda
di
17.11
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Label:
Budaya
Reog
Reog adalah salah satu kesenian budaya yang berasal dari Jawa Timur bagian barat-laut dan Ponorogo dianggap sebagai kota asal Reog yang sebenarnya. Gerbang kota Ponorogo dihiasi oleh sosok warok dan gemblak, dua sosok yang ikut tampil pada saat reog dipertunjukkan. Reog adalah salah satu budaya daerah di Indonesia yang masih sangat kental dengan hal-hal yang berbau mistik dan ilmu kebatinan yang kuat.
Diposting oleh
bahrul huda
di
16.59
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Label:
Budaya
Tradisi Masyarakat Jawa Tentang Kelahiran
Masyarakat Jawa terkenal dengan keteguhannya mempertahankan dan melestarikan tradisi nenek moyangnya. Setelah Islam masuk, para ulama’ seperti wali songo memodifikasi kebudayaan yang berbau mistik dan tahayyul kepada tradisi yang sesuai dengan norma-norma Islam. Tradisi Jawa mengenai kelahiran seorang anak misalnya, sebenarnya sudah berlangsung sejak lama, bahkan penuh dengan pengkultusan, kemusyrikan dan kemubadziran. Lalu oleh usaha kreatifitas wali songo diubahlah kebiasaan tersebut menjadi sebuah tradisi yang Islami. Di antara kebiasaan yang lazim dilakukan orang Jawa yang telah diakulturasikan dengan tradisi Islam berkenaan dengan kelahiran seorang anak seperti berikut:
Diposting oleh
bahrul huda
di
16.40
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Label:
Budaya
Brokohan, Tradisi Jawa Timur
Senin, 22 Desember 2014
Bersamaan dengan lahirnya bayi diadakan selamatan yang disebut brokohan. Selamatan ini diadakan setelah bayi dan ibunya dirawat serta tembuni telah dikuburkan. Adapun sajian yang disediakan pada selamatan brokohan itu berupa :
Diposting oleh
bahrul huda
di
07.18
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Label:
Budaya
Kesenian Ludruk
Ludruk adalah suatu kesenian drama tradisional dari Jawa Timur. Ludruk merupakan suatu drama tradisional yang diperagakan oleh sebuah grup kesenian yang dipergelarkan di sebuah panggung dengan mengambil cerita tentang kehidupan rakyat sehari-hari, cerita perjuangan, dan sebagainya yang diselingi dengan lawakan dan diiringi dengan gamelan sebagai musik.
Diposting oleh
bahrul huda
di
07.07
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Label:
Jawa
Tradisi Suku Tengger
Upacara Yadnya Kasada atau Kasodo ini merupakan ritual yang dilakukan setahun sekali untuk menghormati Gunung Brahma (Bromo) yang dianggap suci oleh penduduk suku Tengger yang mendiami wilayah Jawa Timur.
Upacara di Pura Luhur Poten
Upacara ini bertempat di Pura Luhur Poten yang berada di bawah kaki Gunung Bromo Utara dan dilanjutkan ke Puncak gunung Bromo. Upacara ini diadakan pada tengah malam hingga dini hari setiap bulan purnama sekitar tanggal 14 atau 15 di bulan Kasodo (bulan kesepuluh) menurut penanggalan Jawa, sekitar bulan Desember/Januari menurut penanggalan Masehi.
Makna kata Kasodo sendiri dari kata “kasada”, artinya sepuluh, menyirat makna bulan kesepuluh pada kalender Tengger, waktu dilangsungkannya upacara Kasodo. Melalui upacara tersebut, masyarakat Suku Tengger berharap panen yang berlimpah, meminta tolak bala, atau kesembuhan atas berbagai penyakit, yaitu dengan cara mempersembahkan sesaji dengan melemparkannya ke kawah Gunung Bromo, sementara masyarakat Tengger lainnya menuruni tebing kawah untuk menangkap sesaji yang dilemparkan ke dalam kawah, sebagai perlambang berkah dari Yang Maha Kuasa.
Upacara Kasodo yang kita kenal sekarang ini merupakan cerita rakyat yang berkembang dari sebuah cerita dari seorang pemuda bernama Jaka Seger yang meminang pemudi cantik, Rara Anteng (Tengger adalah gabungan nama keduanya). Rara Anteng adalah anak dari Raja Brawijaya yang kala itu sedang berkuasa, sekitar abad ke-14. Mereka menikah dan hidup bahagia sampai suatu saat bosan karena tidak kunjung diberikan anak. Maka pergilah mereka ke Gunung Bromo untuk berdoa pada dewa agar mereka diberikan anak.
Doa mereka dapat terkabul dengan syarat anak terakhir yang lahir harus dikorbankan ke dalam kawah Gunung Bromo. Mereka setuju. Rara Anteng pun hamil dan melahirkan 25 orang anak. Dengan berat hati mereka merelakan anak yang ke-25 untuk mengobankan nyawa demi keselamatan nyawa penduduk akibat Gunung Bromo “marah” karena janji Jaka Seger dan Rara Anteng belum juga ditepati.
Setelah pengorbanan anak yang ke-25 itu, terdengar suara anak tersebut dari kawah Bromo. Suara anak itu meminta dirutinkannya persembahan setiap hari ke-14 di bulan Kasodo. Persembahan tahunan itulah yang kemudian menjadi cikal bakal upacara Kasodo. Dua puluh empat anak Rara Anteng dan Joko Seger tersebut yang kemudian menjadi nenek moyang penduduk Tengger yang sekarang.
http://kmk312ratna.wordpress.com/tradisi-penduduk-4/tradisi-suku-tengger/
Upacara di Pura Luhur Poten
Upacara ini bertempat di Pura Luhur Poten yang berada di bawah kaki Gunung Bromo Utara dan dilanjutkan ke Puncak gunung Bromo. Upacara ini diadakan pada tengah malam hingga dini hari setiap bulan purnama sekitar tanggal 14 atau 15 di bulan Kasodo (bulan kesepuluh) menurut penanggalan Jawa, sekitar bulan Desember/Januari menurut penanggalan Masehi.
Makna kata Kasodo sendiri dari kata “kasada”, artinya sepuluh, menyirat makna bulan kesepuluh pada kalender Tengger, waktu dilangsungkannya upacara Kasodo. Melalui upacara tersebut, masyarakat Suku Tengger berharap panen yang berlimpah, meminta tolak bala, atau kesembuhan atas berbagai penyakit, yaitu dengan cara mempersembahkan sesaji dengan melemparkannya ke kawah Gunung Bromo, sementara masyarakat Tengger lainnya menuruni tebing kawah untuk menangkap sesaji yang dilemparkan ke dalam kawah, sebagai perlambang berkah dari Yang Maha Kuasa.
Upacara Kasodo yang kita kenal sekarang ini merupakan cerita rakyat yang berkembang dari sebuah cerita dari seorang pemuda bernama Jaka Seger yang meminang pemudi cantik, Rara Anteng (Tengger adalah gabungan nama keduanya). Rara Anteng adalah anak dari Raja Brawijaya yang kala itu sedang berkuasa, sekitar abad ke-14. Mereka menikah dan hidup bahagia sampai suatu saat bosan karena tidak kunjung diberikan anak. Maka pergilah mereka ke Gunung Bromo untuk berdoa pada dewa agar mereka diberikan anak.
Doa mereka dapat terkabul dengan syarat anak terakhir yang lahir harus dikorbankan ke dalam kawah Gunung Bromo. Mereka setuju. Rara Anteng pun hamil dan melahirkan 25 orang anak. Dengan berat hati mereka merelakan anak yang ke-25 untuk mengobankan nyawa demi keselamatan nyawa penduduk akibat Gunung Bromo “marah” karena janji Jaka Seger dan Rara Anteng belum juga ditepati.
Setelah pengorbanan anak yang ke-25 itu, terdengar suara anak tersebut dari kawah Bromo. Suara anak itu meminta dirutinkannya persembahan setiap hari ke-14 di bulan Kasodo. Persembahan tahunan itulah yang kemudian menjadi cikal bakal upacara Kasodo. Dua puluh empat anak Rara Anteng dan Joko Seger tersebut yang kemudian menjadi nenek moyang penduduk Tengger yang sekarang.
http://kmk312ratna.wordpress.com/tradisi-penduduk-4/tradisi-suku-tengger/
Diposting oleh
bahrul huda
di
06.59
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Label:
Budaya
KEBUDAYAAN YANG ADA DI DAERAH LAMONGAN
Lamongan merupakan salah satu kota yang ada di Jawa Timur. Kota Lamongan juga terkenal banyak budayanya diantaranya yaitu Tari Boran, Tari Mayang Madu, Tari Turonggo Solah, Tari Caping Ngancak, Tari Silir-Silir dan Tari Sinau. Dari berbagai tarian tersebut, tarian yang menjadi khas budaya dan berkembang di kota Lamongan adalah Tari Mayang Madu. Tari Mayang Madu ini menceritakan tentang perjalanan Wali Songo yang menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa, khusunya di daerah kota Lamongan yaitu Sunan Drajat. Penyebarannya melalui kesenian, salah satunya dengan musik. Musik yang dipakai adalah Singo Mengkok. Tari mayang Madu berasal dari daerah Lamongan. Tari ini biasa ditampilkan dalam bentuk tari tunggal, tari kelompok, maupun tari massal.
Tari Mayang Madu mempunyai konsep islami dan tradisional, karena Tari Mayang Madu diilhami dari kegigihan syiar agama islam di Lamongan yang disebarkan oleh Sunan Drajat dengan cara menggunakan gamelan sebagai medianya. Gamelan Sunan Drajat terkenal dengan sebutan gamelan “Singo Mengkok”. Latar belakang Sunan Drajat menggunakan media seni karena pada saat itu masyarakat banyak yang masih memeluk agama Hindu, Budha dan pengaruh dari kerajaan Majapahit. Nama tari Mayang Madu diambil dari sejarahnya Raden Qosim yang memimpin dan memberi teladan yang baik untuk kehidupan di Desa Drajat Paciran. Lalu Sultan Demak yaitu Raden Patah. Beliau memberi gelar kepada Raden Qosim yaitu Sunan Mayang Madu pada tahun 1484 Masehi. Untuk mengenang jasa perjuangan Sunan Mayang Madu atau Raden qosim, maka tarian khas Lamongan disebut dengan Tari Mayang Madu, agar masyarakat Lamongan tergugah hatinya untuk tetap meneruskan perjuangan Sunan Mayang Madu dalam menyebarkan agama islam.
Salah satu pemuka agama islam ditanah Jawa adalah Sunan Drajad, Sunan Drajad mempunyai nama asli Raden qosim, beliu lahir diperkirakan tahun 1470. Raden qosim semasa kecilnya bersama ayah handanya yaitu Sunan Ampel yang terletak di Ampeldenta Surabaya, namun ketika Raden Qosim menginjak dewasa beliau mendapatkan tugas dari ayahnya untuk menyebar luaskan ajaran agama Islam, beliau berkeliling menggunakan angkutan laut. Namun beliu terdampar disalah satu desa yaitu desa pesisir Banjarwati atau yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan kabupaten Lamongan. Raden Qosim mempunyai gelar yang disandangnya yanitu dengan sebutan Raden Syaifuddin. Diantara para wali, mungkin Sunan Drajat yang punya nama paling banyak. Semasa muda ia dikenal sebagai Raden Qasim, Qosim, atau Kasim. Masih banyak nama lain yang disandangnya di berbagai naskah kuno. Misalnya Sunan Mahmud, Sunan Mayang Madu, Sunan Muryapada, Raden Imam, Maulana Hasyim, Syekh Masakeh, Pangeran Syarifuddin, Pangeran Kadrajat, dan Masaikh Munat. Dia adalah putra Sunan Ampel dari perkawinan dengan Nyi Ageng Manila, alias Dewi Condrowati. Empat putra Sunan Ampel lainnya adalah Sunan Bonang, Siti Muntosiyah, yang dinikahi Sunan Giri, Nyi Ageng Maloka, yang diperistri Raden Patah, dan seorang putri yang disunting Sunan Kalijaga. Akan halnya Sunan Drajat sendiri, tak banyak naskah yang mengungkapkan jejaknya.
Diceritakan, Raden Qasim menghabiskan masa kanak dan remajanya di kampung halamannya di Ampeldenta, Surabaya. Setelah dewasa, ia diperintahkan ayahnya, Sunan Ampel, untuk berdakwah di pesisir barat Gresik. Perjalanan ke Gresik ini merangkumkan sebuah cerita, yang kelak berkembang menjadi legenda. Syahdan, berlayarlah Raden Qasim dari Surabaya, dengan menumpang biduk nelayan. Di tengah perjalanan, perahunya terseret badai, dan pecah dihantam ombak di daerah Lamongan, sebelah barat Gresik. Raden Qasim selamat dengan berpegangan pada dayung perahu. Kemudian, ia ditolong ikan cucut dan ikan talang –ada juga yang menyebut ikan cakalang. Dengan menunggang kedua ikan itu, Raden Qasim berhasil mendarat di sebuah tempat yang kemudian dikenal sebagai Kampung Jelak, Banjarwati. Menurut tarikh, peristiwa ini terjadi pada sekitar 1485 Masehi. Di sana, Raden Qasim disambut baik oleh tetua kampung bernama Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar.
Tokoh itu sudah diislamkan oleh pendakwah asal Surabaya, yang juga terdampar di sana beberapa tahun sebelumnya. Raden Qasim kemudian menetap di Jelak, dan menikah dengan Kemuning, putri Mbah Mayang Madu. Di Jelak, Raden Qasim mendirikan sebuah surau, dan akhirnya menjadi pesantren tempat mengaji ratusan penduduk. Yang semula cuma dusun kecil dan terpencil, lambat laun berkembang menjadi kampung besar yang ramai. Namanya berubah menjadi Banjaranyar. Selang tiga tahun, Raden Qasim pindah ke selatan, sekitar satu kilometer dari Jelak, ke tempat yang lebih tinggi dan terbebas dari banjir pada musim hujan. Tempat itu dinamai Desa Drajat.
Namun, Raden Qasim, yang mulai dipanggil Sunan Drajat oleh para pengikutnya, masih menganggap tempat itu belum strategis sebagai pusat dakwah Islam. Sunan lantas diberi izin oleh Sultan Demak, penguasa Lamongan kala itu, untuk membuka lahan baru di daerah perbukitan di selatan. Lahan berupa hutan belantara itu dikenal penduduk sebagai daerah angker.
Menurut sahibul kisah, banyak makhluk halus yang marah akibat pembukaan lahan itu. Mereka menteror penduduk pada malam hari, dan menyebarkan penyakit. Namun, berkat kesaktiannya, Sunan Drajat mampu mengatasi.Setelah pembukaan lahan rampung, Sunan Drajat bersama para pengikutnya membangun permukiman baru, seluas sekitar sembilan hektare.
Atas petunjuk Sunan Giri, lewat mimpi, Sunan Drajat menempati sisi perbukitan selatan, yang kini menjadi kompleks pemakaman, dan dinamai Ndalem Duwur. Sunan mendirikan masjid agak jauh di barat tempat tinggalnya. Masjid itulah yang menjadi tempat berdakwah menyampaikan ajaran Islam kepada penduduk. Sunan menghabiskan sisa hidupnya di Ndalem Duwur, hingga wafat pada 1522.Di tempat itu kini dibangun sebuah museum tempat menyimpan barang-barang peninggalan Sunan Drajat –termasuk dayung perahu yang dulu pernah menyelamatkannya. Sedangkan lahan bekas tempat tinggal Sunan kini dibiarkan kosong, dan dikeramatkan.
Busana yang digunakan dalam tari Mayang Madu adalah Kerudung Polos+kerudung biasa, Hiasan Kerudung, Anting-anting, Baju berlengan panjang, Sabuk, Epek, Kemben, Rok panjang, Celana. Berbagai keunikan didalam tarian Mayang Madu adalah Improfisasi pada gerak bagian pertama, Gerak tari bisa juga menggunakan lagu shalawatan, Musik gamelan dan shalawatan teradu dengan musik rebana, Busana sesuai dengan nuansa islami, Sifat Tarinya lemah lembut, gemulai, dan juga pejuang, Rias wajah cantik karena berkarakter putri.
Selain Tari Mayang Madu, di kota Lamongan juga terkenal dengan Tari Boran. Tari Boran (Sego Boran) adalah penggambaran suasana kehidupan para penjual Nasi Boran di Kabupaten Lamongan dalam menjajakan dagangannya dan berinteraksi dengan pembeli. Kesabaran, gairah, dan semangat serta ketangguhan adalah smangat mereka dalam menghadapi ketatnya persaingan dan beratnya tantangan hidup untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Iwak kutuk, sambel, sili, plethuk, peyek, gimbal, empuk adalah ciri khasku, Nasi Boran khas Lamongan. Terdapat Tari Caping Ngancak di daerah Lamongan yang juga terus berkembang karena letak dari wilayah Lamongan juga sangat agraris. Tari Caping Ngancak menceritakan tentang kehidupan masyarakat Lamongan yang sebagian besar adalah masyarakat petani. Tari ini menggambarkan proses para petani yang sedang bekerja mulai dari menanam, merawat, hingga memanen.
Selain Tari Caping Ngancak, Tari Turonggo Solah juga terkenal di kota Lamongan. Tari ini menggambarkan sekelompok prajurit berkuda yang sedang berlatih. Mereka terlihat sangat lincah. Tari ini merupakan pengembangan dari kesenian Kepang Dor yang bertujuan untuk melestarikan kesenian-kesenian yang masih sangat banyak di Kabupaten Lamongan. Tari Turonggo Solah juga berasal dari Lamongan. Tari Turonggo dapat ditampilkan dalam bentuk tunggal, berpasangan, atau secara kelompok. Tema yang dipergunakan Tari Turonggo Solah adalah tema pendidikan, yang dilatar belakangi dari Tari Kepang Jidor. Dalam penampilannya, Tari Turonggo Solah memiliki dua gaya, yaitu gaya feminim dan gagah. Penarinya membawa properti kuda-kudaan atau kuda lumping yang terbuat dari bahan bambu.Tari Turonggo Solah berkarasteristik gerakannya lincah dan gagah. Tarian ini sering disajikan sebagai tari pertunjukkan dengan iringan musik gamelan jawa, akan tetapi yang lebih dominan adalah alat musik jidor. Busana penari memakai gaya Jawa Timuran. Perlengkapan tari ini adalah Ikat kepala, Jamang, Baju, Celana, Kalung, Post dekker, Stagen, Sabuk, Rapek, Ilat – ilatan, Kain waron, Kain panjang. Jenis alat musik untuk mengiringi tarian Turonggo Solah nyanyian atau vokal manusia seperangkat gamelan jawa berlaras slendro atau pelog.
Tari Silir-Silir juga merupakan tarian yang berkembang di kota Lamongan. Seperti namanya tari silir-silir merupakan rangkaian perwujudan angin yang bertiup lembut. Angin tersebut berasal dari lambaian lembut kipas para penarinya. Oleh sebab itu tari silir-silir diperagakan oleh penari dengan membawa kipas. Mengenai ide penciptaan tarian silir-silir itu, muncul dari kondisi alam Lamongan yang panas sering membuat kegerahan. Karena itu, baik yang dirumah, di sekolah, atau di pasar sekalipun orang sering kipas-kipas karena kepanasan. Sedangkan selama proses penciptaan rangkaian seni tari ini semakin bagus. Tari Silir-Silir diangkat dari sebuah kondisi alam Kota Lamongan yang panas. Para remaja berkumpul, bercanda ria sambil menikmati tiupan angin yang berasal dari kipas yang dibawanya.
Daerah lamongan memiliki tradisi sendiri dalam melaksankan upacara pernikahan, pernikahan di Lamongan ini disebut pengantin bekasri. berasal dari kata bek dan asri, bek berarti penuh, asri berarti indah atau menarik jadi bekasri berarti penuh dengan keindahan yang menarik hati. pada dasarnya tahapan dalam pengentin bekasri dapat dijadikan dalam empat tahap yaitu tahap mencari mantu, tahap persiapan menjelang peresmian pernikahan, tahap pelaksanaan peresmian pernikahan dan tahap setelah pelaksanaan pernikahan. Tahap mencari mantu terdiri dari beberapa kegiatan yaitu, ndelok/nontok atau madik/golek lancu, nyotok/ganjur atau nembung gunem. nothog/dinten atau negesi, ningseti/lamaran, mbales/totogan, mboyongi, ngethek dina. Tahap persiapan menjelang peresmian pernikahan yaitu repotan, mbukak gedhek atau mendirikan terop, ngaturi atau selamatan. Tahapan pelaksanaan peresmian pernikahan terdiri dari, ijab kabul atau akad nikah, memberikan tata rias atau busana pengentin, upacara temu pengantin, resepsi. Tahapan setelah peresmian pernikahan yang merupakan tahapan terakhir adalah sepasaran.
Semua kegiatan masing-masing tahapan ini dapat dilaksanakan secara penuh tetapi juga dapat dilaksanakan kegiatan-kegiatan yang dianggap penting dan disesuaikan dengan situasi kondisi lokal setempat. Pada tahapan pelaksanaan kegiatan, kedua pengantin merupakan pusat perhatian semua tamu yang hadir, pengantin perlu dirias dan diberi busana yang lain dari busana sehari-hari. tata rias dan busana pengantin bekasri memiliki keunikan tersendiri yang pada dasarnya meniru busana raja dan permaisuri atau busana bangsawan. Karena daerah Lamongan pada jaman kerajaan Majapahit merupakan wilayah yang dekat dengan ibukota Majapahit, maka busana yang ditiru dengan sendirinya adalah busana raja dan permaisuri Majapahit.
Tradisi di lamongan yaitu ketika ada pernikahan si perempuan yang harus melamar atau meminang si laki-laki dahulu. Tradisi sedekah bumi atau bersih desa yaitu sebuah upacara yang digunakan untuk membersihkan desa agar terhindar dari segala musibah. Dialek dan arti bahasa orang Lamongan adalah bahasa pesisir yang lugas penuh dialek Osing, Madura, Jawa Ngoko, diwarnai budaya Arek atau Bocah. Beberapa kata-kata yang sering digunakan di daerah lamongan yaitu Menyok artinya Pohong atau ubi jalar, Bolet artinya telo atau ketela, Parek artinya cedak atau dekat
Kota Lamongan juga memiliki berbagai ritual, diantaranya adalah ritual meminta kesuburan hasil pertaniannya. bangunan candi di Desa Siser, Kecamatan Laren, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur lebih mengarah pada tempat pemujaan untuk meminta kesuburan. Hal itu biasanya ditandai dengan adanya lingga yoni di sekitar tempat tersebut, atau ada kaitannya dengan prasasi yang telah ditemukan sebelumnya. Serupa dengan situs purbakala lain di tanah air, dimana ditemukan artefak yang di dalamnya terdapat lingga yoni, selalu diikuti dengan suburnya lahan pertanian di sekitarnya. Hal ini cukup menguatkan karena Desa Siser, dan desa-desa sekitarnya merupakan area pertanian subur yang dekat dengan sungai Bengawan Solo. Sesuai prasasti Canggu, di era Majapahit di daerah tersebut ada Naditira Pradesa. Maksudnya desa yang diberi otonomi dan bebas dari pajak. Warga dari desa potensial untuk pertanian ini memiliki hak dan kewajiban mengelola penyeberangan sungai. Bisa jadi karena berdekatan dengan Bengawan Solo, sehingga warga dari seberang akan naik perahu menuju candi untuk ritual pemujaan meminta kesuburan.
Selain ritual tersebut, di kota Lamongan juga terdapat ritual yaitu Upacara Ruwatan Ontang-Anting dan Wiwit. Upacara Ruwatan Ontang-Anting, Upacara ini bermula dari sesepuh/tokoh masyarakat yang masih mewarisi budaya nenek moyang tersebut, selalu memberi nasehat kepada sanak-saudaranya yang mempunyai anak yang harus diruwat. Apabila anak tersebut menjelang akil balig, sebelum dinikahkan dan tidak mempunyai saudara atau anak tunggal baik pria atau wanita, dua anak putra atau dua anak putri harus segera dilaksanakan upacara ruwatan. Caranya orang tua minta tolong kepada dalang untuk melaksanakan ruwatan. Sebelum dilakukan pertunjukan wayang kulit dengan lakon Ontang-Anting Bathara Kala, dalang mengupas kupat luwar dihadapan anak-anak yang akan diruwat. Wiwit yaitu sebuah upacara atau ritual yang dilakukan pada saat akan panen atau musim panen.
https://ahmatsugianto89.wordpress.com/2013/05/07/kebudayaan-yang-ada-di-daerah-lamongan/
Tari Mayang Madu mempunyai konsep islami dan tradisional, karena Tari Mayang Madu diilhami dari kegigihan syiar agama islam di Lamongan yang disebarkan oleh Sunan Drajat dengan cara menggunakan gamelan sebagai medianya. Gamelan Sunan Drajat terkenal dengan sebutan gamelan “Singo Mengkok”. Latar belakang Sunan Drajat menggunakan media seni karena pada saat itu masyarakat banyak yang masih memeluk agama Hindu, Budha dan pengaruh dari kerajaan Majapahit. Nama tari Mayang Madu diambil dari sejarahnya Raden Qosim yang memimpin dan memberi teladan yang baik untuk kehidupan di Desa Drajat Paciran. Lalu Sultan Demak yaitu Raden Patah. Beliau memberi gelar kepada Raden Qosim yaitu Sunan Mayang Madu pada tahun 1484 Masehi. Untuk mengenang jasa perjuangan Sunan Mayang Madu atau Raden qosim, maka tarian khas Lamongan disebut dengan Tari Mayang Madu, agar masyarakat Lamongan tergugah hatinya untuk tetap meneruskan perjuangan Sunan Mayang Madu dalam menyebarkan agama islam.
Salah satu pemuka agama islam ditanah Jawa adalah Sunan Drajad, Sunan Drajad mempunyai nama asli Raden qosim, beliu lahir diperkirakan tahun 1470. Raden qosim semasa kecilnya bersama ayah handanya yaitu Sunan Ampel yang terletak di Ampeldenta Surabaya, namun ketika Raden Qosim menginjak dewasa beliau mendapatkan tugas dari ayahnya untuk menyebar luaskan ajaran agama Islam, beliau berkeliling menggunakan angkutan laut. Namun beliu terdampar disalah satu desa yaitu desa pesisir Banjarwati atau yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan kabupaten Lamongan. Raden Qosim mempunyai gelar yang disandangnya yanitu dengan sebutan Raden Syaifuddin. Diantara para wali, mungkin Sunan Drajat yang punya nama paling banyak. Semasa muda ia dikenal sebagai Raden Qasim, Qosim, atau Kasim. Masih banyak nama lain yang disandangnya di berbagai naskah kuno. Misalnya Sunan Mahmud, Sunan Mayang Madu, Sunan Muryapada, Raden Imam, Maulana Hasyim, Syekh Masakeh, Pangeran Syarifuddin, Pangeran Kadrajat, dan Masaikh Munat. Dia adalah putra Sunan Ampel dari perkawinan dengan Nyi Ageng Manila, alias Dewi Condrowati. Empat putra Sunan Ampel lainnya adalah Sunan Bonang, Siti Muntosiyah, yang dinikahi Sunan Giri, Nyi Ageng Maloka, yang diperistri Raden Patah, dan seorang putri yang disunting Sunan Kalijaga. Akan halnya Sunan Drajat sendiri, tak banyak naskah yang mengungkapkan jejaknya.
Diceritakan, Raden Qasim menghabiskan masa kanak dan remajanya di kampung halamannya di Ampeldenta, Surabaya. Setelah dewasa, ia diperintahkan ayahnya, Sunan Ampel, untuk berdakwah di pesisir barat Gresik. Perjalanan ke Gresik ini merangkumkan sebuah cerita, yang kelak berkembang menjadi legenda. Syahdan, berlayarlah Raden Qasim dari Surabaya, dengan menumpang biduk nelayan. Di tengah perjalanan, perahunya terseret badai, dan pecah dihantam ombak di daerah Lamongan, sebelah barat Gresik. Raden Qasim selamat dengan berpegangan pada dayung perahu. Kemudian, ia ditolong ikan cucut dan ikan talang –ada juga yang menyebut ikan cakalang. Dengan menunggang kedua ikan itu, Raden Qasim berhasil mendarat di sebuah tempat yang kemudian dikenal sebagai Kampung Jelak, Banjarwati. Menurut tarikh, peristiwa ini terjadi pada sekitar 1485 Masehi. Di sana, Raden Qasim disambut baik oleh tetua kampung bernama Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar.
Tokoh itu sudah diislamkan oleh pendakwah asal Surabaya, yang juga terdampar di sana beberapa tahun sebelumnya. Raden Qasim kemudian menetap di Jelak, dan menikah dengan Kemuning, putri Mbah Mayang Madu. Di Jelak, Raden Qasim mendirikan sebuah surau, dan akhirnya menjadi pesantren tempat mengaji ratusan penduduk. Yang semula cuma dusun kecil dan terpencil, lambat laun berkembang menjadi kampung besar yang ramai. Namanya berubah menjadi Banjaranyar. Selang tiga tahun, Raden Qasim pindah ke selatan, sekitar satu kilometer dari Jelak, ke tempat yang lebih tinggi dan terbebas dari banjir pada musim hujan. Tempat itu dinamai Desa Drajat.
Namun, Raden Qasim, yang mulai dipanggil Sunan Drajat oleh para pengikutnya, masih menganggap tempat itu belum strategis sebagai pusat dakwah Islam. Sunan lantas diberi izin oleh Sultan Demak, penguasa Lamongan kala itu, untuk membuka lahan baru di daerah perbukitan di selatan. Lahan berupa hutan belantara itu dikenal penduduk sebagai daerah angker.
Menurut sahibul kisah, banyak makhluk halus yang marah akibat pembukaan lahan itu. Mereka menteror penduduk pada malam hari, dan menyebarkan penyakit. Namun, berkat kesaktiannya, Sunan Drajat mampu mengatasi.Setelah pembukaan lahan rampung, Sunan Drajat bersama para pengikutnya membangun permukiman baru, seluas sekitar sembilan hektare.
Atas petunjuk Sunan Giri, lewat mimpi, Sunan Drajat menempati sisi perbukitan selatan, yang kini menjadi kompleks pemakaman, dan dinamai Ndalem Duwur. Sunan mendirikan masjid agak jauh di barat tempat tinggalnya. Masjid itulah yang menjadi tempat berdakwah menyampaikan ajaran Islam kepada penduduk. Sunan menghabiskan sisa hidupnya di Ndalem Duwur, hingga wafat pada 1522.Di tempat itu kini dibangun sebuah museum tempat menyimpan barang-barang peninggalan Sunan Drajat –termasuk dayung perahu yang dulu pernah menyelamatkannya. Sedangkan lahan bekas tempat tinggal Sunan kini dibiarkan kosong, dan dikeramatkan.
Busana yang digunakan dalam tari Mayang Madu adalah Kerudung Polos+kerudung biasa, Hiasan Kerudung, Anting-anting, Baju berlengan panjang, Sabuk, Epek, Kemben, Rok panjang, Celana. Berbagai keunikan didalam tarian Mayang Madu adalah Improfisasi pada gerak bagian pertama, Gerak tari bisa juga menggunakan lagu shalawatan, Musik gamelan dan shalawatan teradu dengan musik rebana, Busana sesuai dengan nuansa islami, Sifat Tarinya lemah lembut, gemulai, dan juga pejuang, Rias wajah cantik karena berkarakter putri.
Selain Tari Mayang Madu, di kota Lamongan juga terkenal dengan Tari Boran. Tari Boran (Sego Boran) adalah penggambaran suasana kehidupan para penjual Nasi Boran di Kabupaten Lamongan dalam menjajakan dagangannya dan berinteraksi dengan pembeli. Kesabaran, gairah, dan semangat serta ketangguhan adalah smangat mereka dalam menghadapi ketatnya persaingan dan beratnya tantangan hidup untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Iwak kutuk, sambel, sili, plethuk, peyek, gimbal, empuk adalah ciri khasku, Nasi Boran khas Lamongan. Terdapat Tari Caping Ngancak di daerah Lamongan yang juga terus berkembang karena letak dari wilayah Lamongan juga sangat agraris. Tari Caping Ngancak menceritakan tentang kehidupan masyarakat Lamongan yang sebagian besar adalah masyarakat petani. Tari ini menggambarkan proses para petani yang sedang bekerja mulai dari menanam, merawat, hingga memanen.
Selain Tari Caping Ngancak, Tari Turonggo Solah juga terkenal di kota Lamongan. Tari ini menggambarkan sekelompok prajurit berkuda yang sedang berlatih. Mereka terlihat sangat lincah. Tari ini merupakan pengembangan dari kesenian Kepang Dor yang bertujuan untuk melestarikan kesenian-kesenian yang masih sangat banyak di Kabupaten Lamongan. Tari Turonggo Solah juga berasal dari Lamongan. Tari Turonggo dapat ditampilkan dalam bentuk tunggal, berpasangan, atau secara kelompok. Tema yang dipergunakan Tari Turonggo Solah adalah tema pendidikan, yang dilatar belakangi dari Tari Kepang Jidor. Dalam penampilannya, Tari Turonggo Solah memiliki dua gaya, yaitu gaya feminim dan gagah. Penarinya membawa properti kuda-kudaan atau kuda lumping yang terbuat dari bahan bambu.Tari Turonggo Solah berkarasteristik gerakannya lincah dan gagah. Tarian ini sering disajikan sebagai tari pertunjukkan dengan iringan musik gamelan jawa, akan tetapi yang lebih dominan adalah alat musik jidor. Busana penari memakai gaya Jawa Timuran. Perlengkapan tari ini adalah Ikat kepala, Jamang, Baju, Celana, Kalung, Post dekker, Stagen, Sabuk, Rapek, Ilat – ilatan, Kain waron, Kain panjang. Jenis alat musik untuk mengiringi tarian Turonggo Solah nyanyian atau vokal manusia seperangkat gamelan jawa berlaras slendro atau pelog.
Tari Silir-Silir juga merupakan tarian yang berkembang di kota Lamongan. Seperti namanya tari silir-silir merupakan rangkaian perwujudan angin yang bertiup lembut. Angin tersebut berasal dari lambaian lembut kipas para penarinya. Oleh sebab itu tari silir-silir diperagakan oleh penari dengan membawa kipas. Mengenai ide penciptaan tarian silir-silir itu, muncul dari kondisi alam Lamongan yang panas sering membuat kegerahan. Karena itu, baik yang dirumah, di sekolah, atau di pasar sekalipun orang sering kipas-kipas karena kepanasan. Sedangkan selama proses penciptaan rangkaian seni tari ini semakin bagus. Tari Silir-Silir diangkat dari sebuah kondisi alam Kota Lamongan yang panas. Para remaja berkumpul, bercanda ria sambil menikmati tiupan angin yang berasal dari kipas yang dibawanya.
Daerah lamongan memiliki tradisi sendiri dalam melaksankan upacara pernikahan, pernikahan di Lamongan ini disebut pengantin bekasri. berasal dari kata bek dan asri, bek berarti penuh, asri berarti indah atau menarik jadi bekasri berarti penuh dengan keindahan yang menarik hati. pada dasarnya tahapan dalam pengentin bekasri dapat dijadikan dalam empat tahap yaitu tahap mencari mantu, tahap persiapan menjelang peresmian pernikahan, tahap pelaksanaan peresmian pernikahan dan tahap setelah pelaksanaan pernikahan. Tahap mencari mantu terdiri dari beberapa kegiatan yaitu, ndelok/nontok atau madik/golek lancu, nyotok/ganjur atau nembung gunem. nothog/dinten atau negesi, ningseti/lamaran, mbales/totogan, mboyongi, ngethek dina. Tahap persiapan menjelang peresmian pernikahan yaitu repotan, mbukak gedhek atau mendirikan terop, ngaturi atau selamatan. Tahapan pelaksanaan peresmian pernikahan terdiri dari, ijab kabul atau akad nikah, memberikan tata rias atau busana pengentin, upacara temu pengantin, resepsi. Tahapan setelah peresmian pernikahan yang merupakan tahapan terakhir adalah sepasaran.
Semua kegiatan masing-masing tahapan ini dapat dilaksanakan secara penuh tetapi juga dapat dilaksanakan kegiatan-kegiatan yang dianggap penting dan disesuaikan dengan situasi kondisi lokal setempat. Pada tahapan pelaksanaan kegiatan, kedua pengantin merupakan pusat perhatian semua tamu yang hadir, pengantin perlu dirias dan diberi busana yang lain dari busana sehari-hari. tata rias dan busana pengantin bekasri memiliki keunikan tersendiri yang pada dasarnya meniru busana raja dan permaisuri atau busana bangsawan. Karena daerah Lamongan pada jaman kerajaan Majapahit merupakan wilayah yang dekat dengan ibukota Majapahit, maka busana yang ditiru dengan sendirinya adalah busana raja dan permaisuri Majapahit.
Tradisi di lamongan yaitu ketika ada pernikahan si perempuan yang harus melamar atau meminang si laki-laki dahulu. Tradisi sedekah bumi atau bersih desa yaitu sebuah upacara yang digunakan untuk membersihkan desa agar terhindar dari segala musibah. Dialek dan arti bahasa orang Lamongan adalah bahasa pesisir yang lugas penuh dialek Osing, Madura, Jawa Ngoko, diwarnai budaya Arek atau Bocah. Beberapa kata-kata yang sering digunakan di daerah lamongan yaitu Menyok artinya Pohong atau ubi jalar, Bolet artinya telo atau ketela, Parek artinya cedak atau dekat
Kota Lamongan juga memiliki berbagai ritual, diantaranya adalah ritual meminta kesuburan hasil pertaniannya. bangunan candi di Desa Siser, Kecamatan Laren, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur lebih mengarah pada tempat pemujaan untuk meminta kesuburan. Hal itu biasanya ditandai dengan adanya lingga yoni di sekitar tempat tersebut, atau ada kaitannya dengan prasasi yang telah ditemukan sebelumnya. Serupa dengan situs purbakala lain di tanah air, dimana ditemukan artefak yang di dalamnya terdapat lingga yoni, selalu diikuti dengan suburnya lahan pertanian di sekitarnya. Hal ini cukup menguatkan karena Desa Siser, dan desa-desa sekitarnya merupakan area pertanian subur yang dekat dengan sungai Bengawan Solo. Sesuai prasasti Canggu, di era Majapahit di daerah tersebut ada Naditira Pradesa. Maksudnya desa yang diberi otonomi dan bebas dari pajak. Warga dari desa potensial untuk pertanian ini memiliki hak dan kewajiban mengelola penyeberangan sungai. Bisa jadi karena berdekatan dengan Bengawan Solo, sehingga warga dari seberang akan naik perahu menuju candi untuk ritual pemujaan meminta kesuburan.
Selain ritual tersebut, di kota Lamongan juga terdapat ritual yaitu Upacara Ruwatan Ontang-Anting dan Wiwit. Upacara Ruwatan Ontang-Anting, Upacara ini bermula dari sesepuh/tokoh masyarakat yang masih mewarisi budaya nenek moyang tersebut, selalu memberi nasehat kepada sanak-saudaranya yang mempunyai anak yang harus diruwat. Apabila anak tersebut menjelang akil balig, sebelum dinikahkan dan tidak mempunyai saudara atau anak tunggal baik pria atau wanita, dua anak putra atau dua anak putri harus segera dilaksanakan upacara ruwatan. Caranya orang tua minta tolong kepada dalang untuk melaksanakan ruwatan. Sebelum dilakukan pertunjukan wayang kulit dengan lakon Ontang-Anting Bathara Kala, dalang mengupas kupat luwar dihadapan anak-anak yang akan diruwat. Wiwit yaitu sebuah upacara atau ritual yang dilakukan pada saat akan panen atau musim panen.
https://ahmatsugianto89.wordpress.com/2013/05/07/kebudayaan-yang-ada-di-daerah-lamongan/
Diposting oleh
bahrul huda
di
06.28
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Label:
Budaya
Kuatnya Perempuan Dalam Adat Lamongan
Kalau di tempat lain laki-laki yang memegang kendali dalam tradisi, maka tidak demikian di Lamongan.
Kuatnya posisi perempuan di Lamongan ini mengingatkanku lagi ketika aku pulang kampung pekan lalu. Selain untuk liburan juga sekalian meramaikan pernikahan sepupuku. Pernikahan sepupuku dengan laki-laki dari Betawi ini justru diadakan di rumah mempelai perempuan.
Di kabupaten kelahiranku ini, perempuan yang memang punya kekuatan secara tradisional. Adat setempat menjadikan perempuan sebagai pusat dari silsilah keluarga. Begitu pula di kampung kelahiranku, Desa Mencorek, Kecamatan Brondong. Setidaknya hingga saat ini.
Kuatnya peran perempuan ini lebih banyak terkait adat dan tradisi, terutama perkawinan. Misalnya, dalam tradisi lamaran, pihak perempuanlah yang melamar laki-laki. Padahal di tempat lain justru sebaliknya, perempuan dilamar.
Di kampung kami, begitu pula di daerah lain di Lamongan, perempuan mengubah posisinya lebih aktif (melamar), bukan pasif (dilamar).
Tradisi lamaran oleh pihak perempuan ini biasanya disertai dua jajanan khas, gemblong dan wingko. Gemblong terbuat dari ketan dengan tekstur sangat lengket. Rasanya gurih. Kalau di Bali disebut jaja uli. Adapun wingko terbuat dari beras dan kelapa. Rasanya manis. Ukuran satu wingko selebar piring makan atau bahkan lebih.
Proses selanjutnya aku tidak tahu. Setahuku sih selanjutnya keluarga laki-laki akan datang ke rumah pihak perempuan untuk menjawab lamaran tersebut.
Kuatnya posisi perempuan itu juga terjadi pada saat akad nikah. Biasanya sih di masjid. Tapi, setelah itu akan langsung ke rumah perempuan, bukan rumah laki-laki. Begitu pula dengan perayaan pernikahan. Sampai aku umur 18 tahun selama tinggal di kampung, resepsi nikah ini tak pernah aku temui diadakan di pihak laki-laki.
Begitu selesai akad nikah, maka pihak laki-laki ini akan diserahkan oleh keluarga besarnya pada keluarga besar perempuan. Otomatis semua proses selanjutnya akan diadakan di rumah pihak laki-laki perempuan.
Bahkan, mempelai baru ini pun akan tinggal di rumah pihak perempuan. Ini dengan catatan pengantin baru tersebut tidak punya rumah sendiri yang jauh. Kalau selama ini sih ya mereka akan tinggal di rumah orang tua mempelai perempuan.
Hal ini pun berlaku dalam keluarga besarku. Ibuku punya empat saudara, dua laki-laki dan dua perempuan. Begitu dua pamanku menikah, mereka pun pergi dari keluarga besar dan tinggal di rumah mertuanya. Sebaliknya, suami dua bibiku dan bapakku sendiri malah tinggal di rumah keluarga besar perempuan. Meski rumah kami terpisah-pisah, tapi tetap di satu area.
Dalam hubungan kekerabatan pun, keluarga dari pihak ibu biasanya lebih dekat. Sepupuku dari pihak ibu sangat akrab. Namun, aku malah nyaris tidak kenal dengan sepupu dari pihak bapak. Selain karena jauhnya jarak juga karena memang secara psikologis kami jauh.
Meski demikian, adat Lamongan terkait perkawinan ini fleksibel. Dia bisa diterapkan sesuai kondisi. Biasanya sih kalau pihak laki-laki Lamongan dapat perempuan di luar Lamongan, maka pihak laki-laki tetap akan melamar. Dia tidak menunggu dilamar. Namun, kalau pihak perempuan tersebut yang dari Lamongan, setauku sih dia tetap yang akan melamar.
Misalnya, kakak pertamaku yang menikah sama perempuan Betawi. Keluarga kami yang ke Jakarta untuk melamar. Begitu pula aku yang menikah sama perempuan Bali. Keluargaku yang ke Bali untuk ngidih alias melamar ke keluarga istriku.
Adat perkawinan ala Lamongan ini, menurutku, unik. Dia memberikan warna berbeda pada sistem kekeluargaan di Indonesia pada umumnya yang cenderung patrilineal, menginduk pada keluarga laki-laki. Di Lamongan justru adatnya bersifat matrilineal, menginduk pada keluarga perempuan.
Jadi, di Lamongan, justru perempuan yang lebih punya kuasa.
http://anton.nawalapatra.com/2011/06/30/aneka-rupa/kuatnya-perempuan-dalam-adat-lamongan.html
Kuatnya posisi perempuan di Lamongan ini mengingatkanku lagi ketika aku pulang kampung pekan lalu. Selain untuk liburan juga sekalian meramaikan pernikahan sepupuku. Pernikahan sepupuku dengan laki-laki dari Betawi ini justru diadakan di rumah mempelai perempuan.
Di kabupaten kelahiranku ini, perempuan yang memang punya kekuatan secara tradisional. Adat setempat menjadikan perempuan sebagai pusat dari silsilah keluarga. Begitu pula di kampung kelahiranku, Desa Mencorek, Kecamatan Brondong. Setidaknya hingga saat ini.
Kuatnya peran perempuan ini lebih banyak terkait adat dan tradisi, terutama perkawinan. Misalnya, dalam tradisi lamaran, pihak perempuanlah yang melamar laki-laki. Padahal di tempat lain justru sebaliknya, perempuan dilamar.
Di kampung kami, begitu pula di daerah lain di Lamongan, perempuan mengubah posisinya lebih aktif (melamar), bukan pasif (dilamar).
Tradisi lamaran oleh pihak perempuan ini biasanya disertai dua jajanan khas, gemblong dan wingko. Gemblong terbuat dari ketan dengan tekstur sangat lengket. Rasanya gurih. Kalau di Bali disebut jaja uli. Adapun wingko terbuat dari beras dan kelapa. Rasanya manis. Ukuran satu wingko selebar piring makan atau bahkan lebih.
Proses selanjutnya aku tidak tahu. Setahuku sih selanjutnya keluarga laki-laki akan datang ke rumah pihak perempuan untuk menjawab lamaran tersebut.
Kuatnya posisi perempuan itu juga terjadi pada saat akad nikah. Biasanya sih di masjid. Tapi, setelah itu akan langsung ke rumah perempuan, bukan rumah laki-laki. Begitu pula dengan perayaan pernikahan. Sampai aku umur 18 tahun selama tinggal di kampung, resepsi nikah ini tak pernah aku temui diadakan di pihak laki-laki.
Begitu selesai akad nikah, maka pihak laki-laki ini akan diserahkan oleh keluarga besarnya pada keluarga besar perempuan. Otomatis semua proses selanjutnya akan diadakan di rumah pihak laki-laki perempuan.
Bahkan, mempelai baru ini pun akan tinggal di rumah pihak perempuan. Ini dengan catatan pengantin baru tersebut tidak punya rumah sendiri yang jauh. Kalau selama ini sih ya mereka akan tinggal di rumah orang tua mempelai perempuan.
Hal ini pun berlaku dalam keluarga besarku. Ibuku punya empat saudara, dua laki-laki dan dua perempuan. Begitu dua pamanku menikah, mereka pun pergi dari keluarga besar dan tinggal di rumah mertuanya. Sebaliknya, suami dua bibiku dan bapakku sendiri malah tinggal di rumah keluarga besar perempuan. Meski rumah kami terpisah-pisah, tapi tetap di satu area.
Dalam hubungan kekerabatan pun, keluarga dari pihak ibu biasanya lebih dekat. Sepupuku dari pihak ibu sangat akrab. Namun, aku malah nyaris tidak kenal dengan sepupu dari pihak bapak. Selain karena jauhnya jarak juga karena memang secara psikologis kami jauh.
Meski demikian, adat Lamongan terkait perkawinan ini fleksibel. Dia bisa diterapkan sesuai kondisi. Biasanya sih kalau pihak laki-laki Lamongan dapat perempuan di luar Lamongan, maka pihak laki-laki tetap akan melamar. Dia tidak menunggu dilamar. Namun, kalau pihak perempuan tersebut yang dari Lamongan, setauku sih dia tetap yang akan melamar.
Misalnya, kakak pertamaku yang menikah sama perempuan Betawi. Keluarga kami yang ke Jakarta untuk melamar. Begitu pula aku yang menikah sama perempuan Bali. Keluargaku yang ke Bali untuk ngidih alias melamar ke keluarga istriku.
Adat perkawinan ala Lamongan ini, menurutku, unik. Dia memberikan warna berbeda pada sistem kekeluargaan di Indonesia pada umumnya yang cenderung patrilineal, menginduk pada keluarga laki-laki. Di Lamongan justru adatnya bersifat matrilineal, menginduk pada keluarga perempuan.
Jadi, di Lamongan, justru perempuan yang lebih punya kuasa.
http://anton.nawalapatra.com/2011/06/30/aneka-rupa/kuatnya-perempuan-dalam-adat-lamongan.html
Diposting oleh
bahrul huda
di
06.23
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Label:
Budaya
JARANAN
Seni tradisi Jaranan dikenal sebagai seni tradisi daerah Mataraman di Jawa Timur. Di Kabupaten Jember, seni tradisi ini banyak dipentaskan di wilayah selatan yang memang dihuni warga keturunan kawasan Mataraman. Konon kesenian ini muncul bersamaan dengan terpecahnya Kerajaan Kahuripan menjadi Kerajaan Jenggala dengan ibukota Kahuripan dan Kerajaan Panjalu atau Kediri dengan Ibukota Dhahapura. Jaranan selalu terkait dengan hal-hal yang bersifat gaib. Masa dulu, seni tradisi ini digunakan untuk upacara terkait pemujaan terhadap roh leluhur keraton. Di Jember, seni tradisi ini kini tak terkait dengan urusan keraton atau hal-hal bersifat keningratan. Namun saat menyaksikan jaranan, kita masih bisa merasakan adanya sesuatu yang supranatural di sana. Pemeran jaranan bertingkah laku seperti orang kesurupan dan kadang membuat penonton tertawa atau menjerit. Kendati demikian, atraksi ini tidak membahayakan, karena ada pawang yang senantiasa menjaga agar seniman jaranan yang beraksi tak mengganggu. Seni tradisi jaranan memang tak berjarak dengan masyarakat. Para seniman jaranan menari di kelilingi orang banyak yang melingkar. Di kawasan selatan, seni tradisi ini tak kehabisan bakat-bakat muda yang melestarikannya. Sejumlah orang, seperti Mbah Karno, membuat semacam sanggar untuk melatih anak-anak muda itu berkesenian.
Diposting oleh
bahrul huda
di
06.13
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Label:
Budaya
Tradisi Nyadran di Nganjuk Jawa Timur
Masyarakat merupakan kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinyu dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama, dan menurut para ahli seperti MacIver, Gillin dan Gillin yang dikutip dari buku ilmu sosial dasar (2008:122) menyatakan bahwa adanya saling bergaul dan interaksi karena mempunyai nilai-nilai, norma-norma, cara-cara dan prosedur yang merupakan kebutuhan bersama. Dari sinilah kita ketahui bahwa kesepakatan-kesepakatan yang berupa nilai, norma dan cara hidup tersebut yang secara kontinu telah melahirkan apa yang dinamakan kebudayaan. Kebudayaan sendiri bisa berupa kebiasaan yang telah melembaga dalam diri masyarakat dan merupakan produk dari kumpulan individu yang bersatu tersebut. Nyadran dan Fahombo merupakan apa yang disebut oleh Koentjoroningrat sebagai cipta, rasa, karsa manusia dan juga apa yang dimaksud Geertz sebuah bentuk simbol. Nyadran dan Fahombo bukan semata-mata ciptaan yang tanpa sadar dibuat oleh manusia, namun merupakan suatu hal yang secara perlahan diciptakan, dilakukan karena terdapat unsur kepercayaan dan memiliki sebuah pemaknaan dibaliknya. Fahombo adalah tradisi melompati batu yang ada di Teluk Dalam, Nias Selatan, Sumatera Utara, Orang melompati batu setinggi lebih dari dua meter oleh seorang pria yang mengenakan pakaian adat. Ajang ini diperuntukan pada para lelaki yang akan memasuki usia dewasa sebagai uji mental dan fisik, sebelum akhirnya maju dalam peperangan. Nyadran dan Fahombo adalah sama- sama kebudayaan masyarakat daerah di Indonesia.
Masyarakat Indonesia memang mempunyai kebudayaan dan adat istiadat yang bermacam-macam, kita harus saling menghormati. Untuk kali ini yang kita bahas adalah Budaya Nyadran, Budaya ini sudah ada sejak jaman hindu budha, namun sekarang kebanyakan sudah menggunakan doa-doa islam ( meskipun dalam ajaran islam tidak ada yang namanya tradisi nyadaran ) ritual nyandrannan di desa Sono Ageng ini merupakan agenda rutin tahunan yang digelar satu tahun sekali pasca panen raya padi atau diambil hari Kamis Legi malam Jum'at Pahing.
Ritual itu juga dilakukan meminta selamat dan kemakmuran. Acara tersebut juga merupakan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena telah diberi panen yang melimpah. Acara ini di ikuti puluhan dayang-dayang beriringan mengantar sesaji berupa hasil bumi ke makam mbah Sahid. Tokoh yang konon menurut cerita adalah orang pertama yang babat desa, sehingga sampai sekarang dikenal dengan nama Sono Ageng, setelah sesepuh desa membacakan doa dengan disertai bakar kemenyan didepan makam. Ratusan warga yang hadir dipemakaman desa tersebut, berebut sesaji berupa hasil bumi.
Ratusan orang menyakini, makanan maupun barang-barang yang sudah dikarak oleh dayang-dayang mulai dari balai desa sampai ke punden memiliki manfaat tersendiri, kata mbah Seman juru kunci ini salah satu juru kunci makam yang coba ditemui wartawan suara media nasional. Begitu pula masyarakat Sono Ageng selesai melakukan ritual, juga menggelar acara-acara hiburan pada malam harinya yang sangat ramai ada Pasar malam, Pertunjukkan jaranan ( Kuda Lumping ), Orkes dangdut, Wayang Kulit, Ketoprak, Tayub dan masih banyak lagi.
Simbol kebudayaan disetiap tempat beraneka ragam dan juga memiliki pemaknaan yang berbeda pula, dari waktu ke waktu bahkan pemaknaan orang yang satu mungkin berbeda dengan yang lain, tergantung dari sudut pandang mana orang tersebut memaknai. Hal tersebut tergantung pula pada kesepakatan yang dihasilkan oleh masyarakat setempat, dimaknai apa sesuatu itu. seperti pada tradisi Nyadran, kita lihat banyak makanan yang menunjukan simbol tertentu dan memiliki makna tertentu pula tiap jenisnya, begitu pula Nyadran itu sendiri. dari masa ke masa mungkin pemaknaan telah luntur mengikuti perkembangan jaman, begitu pula dengan tradisi Fahombo. Individu memberikan ide pada masyarakat yang kemudian terjadi kesepakatan bersama yang kemudian hasilnya diresapi kembali pada masing-masing individu sebagai anggota masyarakat.
http://afrikenz.blogspot.com/2013/04/tradisi-nyadran-di-nganjuk-jawa-timur.html
Masyarakat Indonesia memang mempunyai kebudayaan dan adat istiadat yang bermacam-macam, kita harus saling menghormati. Untuk kali ini yang kita bahas adalah Budaya Nyadran, Budaya ini sudah ada sejak jaman hindu budha, namun sekarang kebanyakan sudah menggunakan doa-doa islam ( meskipun dalam ajaran islam tidak ada yang namanya tradisi nyadaran ) ritual nyandrannan di desa Sono Ageng ini merupakan agenda rutin tahunan yang digelar satu tahun sekali pasca panen raya padi atau diambil hari Kamis Legi malam Jum'at Pahing.
Ritual itu juga dilakukan meminta selamat dan kemakmuran. Acara tersebut juga merupakan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena telah diberi panen yang melimpah. Acara ini di ikuti puluhan dayang-dayang beriringan mengantar sesaji berupa hasil bumi ke makam mbah Sahid. Tokoh yang konon menurut cerita adalah orang pertama yang babat desa, sehingga sampai sekarang dikenal dengan nama Sono Ageng, setelah sesepuh desa membacakan doa dengan disertai bakar kemenyan didepan makam. Ratusan warga yang hadir dipemakaman desa tersebut, berebut sesaji berupa hasil bumi.
Ratusan orang menyakini, makanan maupun barang-barang yang sudah dikarak oleh dayang-dayang mulai dari balai desa sampai ke punden memiliki manfaat tersendiri, kata mbah Seman juru kunci ini salah satu juru kunci makam yang coba ditemui wartawan suara media nasional. Begitu pula masyarakat Sono Ageng selesai melakukan ritual, juga menggelar acara-acara hiburan pada malam harinya yang sangat ramai ada Pasar malam, Pertunjukkan jaranan ( Kuda Lumping ), Orkes dangdut, Wayang Kulit, Ketoprak, Tayub dan masih banyak lagi.
Simbol kebudayaan disetiap tempat beraneka ragam dan juga memiliki pemaknaan yang berbeda pula, dari waktu ke waktu bahkan pemaknaan orang yang satu mungkin berbeda dengan yang lain, tergantung dari sudut pandang mana orang tersebut memaknai. Hal tersebut tergantung pula pada kesepakatan yang dihasilkan oleh masyarakat setempat, dimaknai apa sesuatu itu. seperti pada tradisi Nyadran, kita lihat banyak makanan yang menunjukan simbol tertentu dan memiliki makna tertentu pula tiap jenisnya, begitu pula Nyadran itu sendiri. dari masa ke masa mungkin pemaknaan telah luntur mengikuti perkembangan jaman, begitu pula dengan tradisi Fahombo. Individu memberikan ide pada masyarakat yang kemudian terjadi kesepakatan bersama yang kemudian hasilnya diresapi kembali pada masing-masing individu sebagai anggota masyarakat.
http://afrikenz.blogspot.com/2013/04/tradisi-nyadran-di-nganjuk-jawa-timur.html
Diposting oleh
bahrul huda
di
06.03
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Label:
Budaya
Sejarah Tari Lengger Calung Banyumas
Sejarah Tari Lengger Calung banyumas – Lengger adalah sebuah kesenian / Tari yang berasal dari daerah banyumasan, pada awalnya kesenian lengger diciptakan sebagai sebuah tarian ritual yang berfungsi sebagai sarana tolak bala dan media ruwatan. Kesenian Sejarah Tari Lengger Calung banyumas sudah ada sejak dulu dan pernah di gunakan oleh Sunan Kalijogo untuk menarik para pemuda agar rajin ke Masjid.
Kesenian Sejarah Tari Lengger Calung banyumas merupakan kesenian tradisional kerakyatan yang mewarnai kehidupan masyarakat Dataran Tinggi Dieng, kesenian ini bermanfaat bagi kehidupan masyarakat seperti bersih desa, sebagai pelengkap upacara hari besar, sebagai hiburan dan juga media pendidikan.
Menurut Wadiyo, 2006 : 141, Sebuah karya seni diciptakan manusia sebagai bentuk ekspresi budaya dan merupakan ungkapan sosialnya, sehingga karya seni diciptakan oleh manusia tidak hanya untuk kepentingan dirinya sendiri sendiri tetapi juga untuk kebutuhan orang lain.
Seorang penari Sejarah Tari Lengger Calung banyumas dituntut harus mampu menari dan bernyanyi, dengan memainkan gerakan secara lincah dan dinamis hal ini merupakan ciri khas identitas daerah, bahkan menjadi nilai-nilai budaya yang ada dalam kehidupan masyarakat.
Keberadaan kesenian Sejarah Tari Lengger Calung banyumas di Dieng dan berbagai daerah seperti di telan zaman, yang kian lama semakin surut. Jika tinjau kembali daya minat masyarakat semakin berkurang, hal ini disebabkan oleh gejala-gejala moderenisasi. Salah satu contoh, masyarakat lebih senang dengan hiburan sesui dengan zamanya.
Upaya untuk melestarikan kesenian / Sejarah Tari Lengger Calung banyumas perlu digalakkan, apalagi dieng merupakan daerah wisata, dimana sektor wisata tak dapat lepas dari seni budaya yang ada. Bahkan keberadaan kesenian Sejarah Tari Lengger Calung banyumas dapat menjadi nilai lebih di kawasan wisata Dieng.
Kedepanya perlu dipikirkan agar generasi penerus kesenian Sejarah Tari Lengger Calung banyumas tetap eksis dalam menghadapi perkembangan zaman.
Demikian ulasan tentang Sejarah Tari Lengger Calung banyumas semoga bermanfaat untuk anda, dan dapat menambah wawasan untuk anda mengenai Sejarah Tari Lengger Calung banyumas.
Kesenian Sejarah Tari Lengger Calung banyumas merupakan kesenian tradisional kerakyatan yang mewarnai kehidupan masyarakat Dataran Tinggi Dieng, kesenian ini bermanfaat bagi kehidupan masyarakat seperti bersih desa, sebagai pelengkap upacara hari besar, sebagai hiburan dan juga media pendidikan.
Menurut Wadiyo, 2006 : 141, Sebuah karya seni diciptakan manusia sebagai bentuk ekspresi budaya dan merupakan ungkapan sosialnya, sehingga karya seni diciptakan oleh manusia tidak hanya untuk kepentingan dirinya sendiri sendiri tetapi juga untuk kebutuhan orang lain.
Seorang penari Sejarah Tari Lengger Calung banyumas dituntut harus mampu menari dan bernyanyi, dengan memainkan gerakan secara lincah dan dinamis hal ini merupakan ciri khas identitas daerah, bahkan menjadi nilai-nilai budaya yang ada dalam kehidupan masyarakat.
Keberadaan kesenian Sejarah Tari Lengger Calung banyumas di Dieng dan berbagai daerah seperti di telan zaman, yang kian lama semakin surut. Jika tinjau kembali daya minat masyarakat semakin berkurang, hal ini disebabkan oleh gejala-gejala moderenisasi. Salah satu contoh, masyarakat lebih senang dengan hiburan sesui dengan zamanya.
Upaya untuk melestarikan kesenian / Sejarah Tari Lengger Calung banyumas perlu digalakkan, apalagi dieng merupakan daerah wisata, dimana sektor wisata tak dapat lepas dari seni budaya yang ada. Bahkan keberadaan kesenian Sejarah Tari Lengger Calung banyumas dapat menjadi nilai lebih di kawasan wisata Dieng.
Kedepanya perlu dipikirkan agar generasi penerus kesenian Sejarah Tari Lengger Calung banyumas tetap eksis dalam menghadapi perkembangan zaman.
Demikian ulasan tentang Sejarah Tari Lengger Calung banyumas semoga bermanfaat untuk anda, dan dapat menambah wawasan untuk anda mengenai Sejarah Tari Lengger Calung banyumas.
Diposting oleh
bahrul huda
di
05.44
1 komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Label:
Jawa
Kisah ‘Pak, Nyaman’ dan Sumur Pitu
Pertama kali mendengar nama Desa ‘Payaman’ sempat ragu jika desa ini merupakan bagian dari Kabupaten Lamongan. Pasalnya, penamaan desa yang sekilas tak memiliki unsur bahasa Jawa. Berbeda dengan sembilan desa lainnya di Kecamatan Solokuro yakni Desa. Solokuro, Tebluru, Sugihan, Dadapan, Tenggulun, Banyubang, Dagan, Bluri, Takerharjo, terdengar masih njawani.
Dikisahkan, Payaman yang dulunya pedesaan terpencil dan termasuk dalam wilayah pesisir pantai utara (Pantura), ternyata memiliki sejarah dan cerita tersendiri yang berkaitan denganBumi Sakera (Madura) dalam proses asal-usulnya.
Dahulu, pada masa Kerajaan Majapahit, seorang Adipati Madura yaitu Arya Wiraraja diutus Raden Wijaya menyeru rakyat Madura agar menyebar ke seluruh wilayah Jawa, terutama Jawa Timur. Raden Wijaya menaruh kepercayaan sepenuhnya pada orang Madura karena mereka juga ikut andil dalam mendirikan Kerajaan Majapahit.
Berangkatlah sebagian besar rakyat Madura berbondong bondong ke tanah Jawa. Ketika sampai di Jawa rombongan tersebut akhirnya menyebar. Sebagian ada yang ke timur dan ada juga yang ke barat. Ke timur, rombongan itu menempati wilayah mulai Surabaya hingga Banyuwangi, sedang yang ke barat menempati wilayah dari Surabaya, Gresik, Lamongan hinggaTuban. Salah satu rombongan yang dipimpin seorang pemuda bernama Aryo Bumi memisahkan diri dari rombongannya yang ke Tuban. Dengan ditemani istri dengan dua orang pembantu Aryo Bumi pergi ke selatan Pantura. Sampai di kawasan yang penuh hutan bambu dan pohon-pohon besar Aryo Bumi merasa tempat itu sangat cocok untuk ditempati. Aryo Bumi pun mulai membersihkan tempat itu dan mendirikan rumah kecil untuk berteduh. Beberapa bulan berlalu Aryo Bumi mulai memikirkan nama tempat itu. Dalam kebingungannya Aryo Bumi melihat istrinya di luar rumah sambil menikmati sejuknya angin pagi dan berkata “Pak Nyaman”. “Pak” merujuk kepada suaminya Aryo Bumi, panggilan bagi suami. Sedangkan “Nyaman” sama halnya dalam bahasa Indonesia ataupun bahasa Jawa, bisa juga diartikan beragam sesuai pemakaiannya. Dari kejadian itulah Aryo Bumi mendapat ide untuk memberi nama tempat itu dengan “Pakyaman” atau “Payaman”. Asal muasal tersebut memang tak tertulis secara resmi dalam buku sejarah mana pun. Namun sejarah akan tetap menjadi sejarah. Desa Payaman, umumnya Lamongan, akan tetap dikenal sebagai salah satu ‘Bumi Wali Sanga’ dengan adanya makam para wali, Sunan Drajat, Sunan Sendang Duwur dan lain-lain.
Ditambah lagi keberadaan sumber mata air yang sangat penting bagi penduduk Lamongan. Sumur yang konon tak pernah kering tersebut menjadi sumber utama pemenuhan kebutuhan air masyarakat, yang juga dinilai memiliki nilai magis.
Sumur pitu, begitu Baqir dan seluruh masyarakat menyebutnya. Setidaknya tiga dari tujuh sumur tersebut berada di wilayah Desa Payaman. Tiga sumur itu bernama Blimbing, Planangan, dan Pawadonan. Selebihnya tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Lamongan.
Sampai sekarang ketujuh sumur tersebut masih digunakan warga, di samping sumur-sumur buatan warga. Namun, sejak banyak warga yang menggunakan pompa air, debit air sumur menjadi berkurang. Hal ini mengharuskan warga untuk membeli air dari desa sebelah,yakni Desa Solokuro.
Dikisahkan, Payaman yang dulunya pedesaan terpencil dan termasuk dalam wilayah pesisir pantai utara (Pantura), ternyata memiliki sejarah dan cerita tersendiri yang berkaitan denganBumi Sakera (Madura) dalam proses asal-usulnya.
Dahulu, pada masa Kerajaan Majapahit, seorang Adipati Madura yaitu Arya Wiraraja diutus Raden Wijaya menyeru rakyat Madura agar menyebar ke seluruh wilayah Jawa, terutama Jawa Timur. Raden Wijaya menaruh kepercayaan sepenuhnya pada orang Madura karena mereka juga ikut andil dalam mendirikan Kerajaan Majapahit.
Berangkatlah sebagian besar rakyat Madura berbondong bondong ke tanah Jawa. Ketika sampai di Jawa rombongan tersebut akhirnya menyebar. Sebagian ada yang ke timur dan ada juga yang ke barat. Ke timur, rombongan itu menempati wilayah mulai Surabaya hingga Banyuwangi, sedang yang ke barat menempati wilayah dari Surabaya, Gresik, Lamongan hinggaTuban. Salah satu rombongan yang dipimpin seorang pemuda bernama Aryo Bumi memisahkan diri dari rombongannya yang ke Tuban. Dengan ditemani istri dengan dua orang pembantu Aryo Bumi pergi ke selatan Pantura. Sampai di kawasan yang penuh hutan bambu dan pohon-pohon besar Aryo Bumi merasa tempat itu sangat cocok untuk ditempati. Aryo Bumi pun mulai membersihkan tempat itu dan mendirikan rumah kecil untuk berteduh. Beberapa bulan berlalu Aryo Bumi mulai memikirkan nama tempat itu. Dalam kebingungannya Aryo Bumi melihat istrinya di luar rumah sambil menikmati sejuknya angin pagi dan berkata “Pak Nyaman”. “Pak” merujuk kepada suaminya Aryo Bumi, panggilan bagi suami. Sedangkan “Nyaman” sama halnya dalam bahasa Indonesia ataupun bahasa Jawa, bisa juga diartikan beragam sesuai pemakaiannya. Dari kejadian itulah Aryo Bumi mendapat ide untuk memberi nama tempat itu dengan “Pakyaman” atau “Payaman”. Asal muasal tersebut memang tak tertulis secara resmi dalam buku sejarah mana pun. Namun sejarah akan tetap menjadi sejarah. Desa Payaman, umumnya Lamongan, akan tetap dikenal sebagai salah satu ‘Bumi Wali Sanga’ dengan adanya makam para wali, Sunan Drajat, Sunan Sendang Duwur dan lain-lain.
Ditambah lagi keberadaan sumber mata air yang sangat penting bagi penduduk Lamongan. Sumur yang konon tak pernah kering tersebut menjadi sumber utama pemenuhan kebutuhan air masyarakat, yang juga dinilai memiliki nilai magis.
Sumur pitu, begitu Baqir dan seluruh masyarakat menyebutnya. Setidaknya tiga dari tujuh sumur tersebut berada di wilayah Desa Payaman. Tiga sumur itu bernama Blimbing, Planangan, dan Pawadonan. Selebihnya tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Lamongan.
Sampai sekarang ketujuh sumur tersebut masih digunakan warga, di samping sumur-sumur buatan warga. Namun, sejak banyak warga yang menggunakan pompa air, debit air sumur menjadi berkurang. Hal ini mengharuskan warga untuk membeli air dari desa sebelah,yakni Desa Solokuro.
Diposting oleh
bahrul huda
di
05.42
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Label:
Jawa
Lagu Dolanan
Cublak-cublak suweng
Suwengé ting gulèndhèr
Mambu ketundung gudhèl
Pak jempol léda ledé
Sapa nggawa ndelikaké
Sir… sirpong dhelé gosong
Sir… sirpong dhelé
gosong
Lagu diatas sering kali
saya dengarkan pada zaman dulu ketika malam padhang bulan tiba kampung Godog
kecamatan Laren, anak-anak kecil keluar rumah untuk bermain dengan alunan
tembang Padhang bulan, salain permainan cublak-cublak sueng banyak sekali dolanan
tradisional yang biasanya dimainkan dibawa penerangan sinar bulan seperti gobak
sodor, jarate, engkle, lompat tali, petak umpet atau sengedanan. Sunguh ramai
teriakan, tawa, dan celoteh-celoteh khas anak-anak terdengar pada malam itu.
Sekarang
dolanan atau perrmainan anak-anak masa lalu sekarang jarang sekali terdengar
apa lagi dimanikan di Kampung Godog Kecamatan Laren tersebut. semua itu karena
sudah banyak digantikan dengan permainan game atau Playstation bahkan game
online di warnet yang sekarang sudah banyak di kampung-kampung, atau kalah
dengan asyiknya tontonan televisi yang kurang mendidik, bahkan sekarang
anak-anak setingkat sekolah dasar saja sudah asyiknya dengan game yang ada di
handphone yang dia bawa sebagai teman bermain. Selain itu juga dimanjakan
dengan banyaknya fasilitas yang ada di
dalam handphone seperti kamera, mp3, bahkan dengan handphone keluaran terbaru
bisa melihat tanyangan televisi dari handphone tanpa harus mendapatkan
pendampingan dari orang tua saat melihatnya.
Tanpa disadari bahwa permainan
modern seperti game dari handphone dan juga tontonan dari televisi memiliki
efek yang kurang baik bagi perkembangan pendidikan anak karena cenderung
mengarahkan dan membentuk anak menjadi seseorang yang individualis dan
cenderung membuat dunianya sendiri serta menikmatinya, menjauhkan diri dari
dunia nyata sehingga membawa seseorang semakin terasing dari dunia nyata.
Seseorang tidak lagi perlu berinteraksi dengan orang lain untuk memainkan
permainan dari game modern. dan sebagai orang sosial dia merasa kalau tidak
perlu memerlukan orang lain, karena bisa bermain sendiri dengan dunia yang
buatnya sendiri. Kodrat manusia sebagai menusia sosial akan terancam. Orang
yang sudah bersikap individual dan asyik dengan dunianya sendiri tidak akan
peduli dengan keadaan lingkungan sekitar.
Berbeda dengan dolanan tradisonal,
bahkan dalam bentuk dolanan paling sederhana pun kita membutuhkan orang lain
untuk memainkanya, jadi jika dimaikan sendiri permainan menjadi tidak asyik dan
unsur susprese dalam permainan menjadi berkurang, cublak-cublak sueng tidak akan
ada tanpa teman, gobak sodor tidak akan terjadi tanpa sekumpulan kawan. Secara
pasti dapat dikatakan bahwa dolanan tradisional dimainkan bersama dengan orang
lain. Dengan demikian muncullah interaksi antar manusia.
Dolanan
Tradisional mengajarkan sportivitas dan aturan main yang disepakati bersama.
Memang benar bahwa sudah ada aturan umum dalam dolanan tradisional. Namun
demikian untuk memulai suatu permainan pada suatu waktu, mau tidak mau,
anak-anak akan berunding terlebih dahulu dan membuat kesepakatan bersama.
Interaksi yang terbangun tidak hanya dalama taraf kebersamaan fisik (sosio
fisik) tetapi juga efektif (sosio efektif)dan psikis (sosio psikis).
Juga
ada kebutuhan untuk interaksi manusia dengan alam sekitar. Jika diperhatikan,
kebanyakan dolanan tradisional tidak membutuhkan banyak alat. Alam telah
menyediakan berbagai sarana untuk permainan tradisional. Petak umpet tidak
perlu alat selain halaman dengan berbagai pohon dan bangunan sekitar,
cublak-cublak sueng cukup beralatkan sebuah batu kecil, sementara gobak sodor
dapat dimainkan berbekal halaman luas dan sebuah dahan kering untuk membuat
garis. Alam sudah menyediakan alat dan sarana untuk bermain. Lebih dari itu,
karena keakraban dengan alam, manusia kerap kali diajari alam (kearifan lokal)
yang kadang-kadang tak bisa dipecahkan oleh nalar.
Selain
itu juga banyak sekali nilai-nilai budaya yang luhur dalam setiap solanan
tradisional seperti cublak-cublak sueng bukan hanya sebagai dolanan penghibur
namun dalam dolanan cublak-cublak sueng orang diajarkan kepercayaan terhadap
orang lain, kejujuran, menumbukkan kreatifitas dan kepribadian.
Masih
banyak lagi dolanan tradisional yang ada disekitar kita yang dulu sering
dimainkan anak-anak kecil di desa Godog untuk mengisi waktu luang atau
istirahat di sekolah semisal: cekeran, malingan, patung-patunga, salnepan,
bentik, kong-kong bolong, ciplukan, serem gendem, lompat tali, glimukan,
sengedanan, nekeran, ongle, serta beberapa lagi yang belum tercatat.
Bagaimanapun
juga, dolanan anak-anak tersebut perlu digalakkan kembali kendati jaman telah
berubah. Perlu diingat perubahan itu harus memiliki nilai-nilai kemanusiaan
yang tinggi. Untuk itu, unsur budaya – dalam hal ini permainan anak-anak
haruslah pula digalakkan dan disebarluaskan karena apat membantu manusia
mencapai peradaban yang lebih manusiawi, yang memiliki etika yang baik.
Sumber :
http://kabarlamongan.com/belajar-dan-bermain-dolanan-tradisional/
http://koran-zain.blogspot.com/2013/11/opini-belajar-bermain-tradisional.html
Diposting oleh
bahrul huda
di
05.32
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Label:
Jawa
TATA CARA TINGKEBAN
Selasa, 16 Desember 2014
Tumpeng ditaruh di atas kalo (saringan santan yang baru). Bawahnya tumpeng dialasi daun pisang. Di bawah kalo dialasi cobek agar kalo tidak ngglimpang. Sisa potongan daun pisang diletakkan di antara cobek dan pantat kalo.
Sayur 7 macam direbus diletakkan mengelilingi tumpeng, letakkan bumbu gudangannya melingkari tumpeng juga. Telur ayam (boleh ayam kampung atau ayam petelur) jumlahnya 7 butir, direbus lalu dikupas, diletakkan mengelilingi tumpeng. Masing-masing telur boleh di belah jadi dua. Pucuk tumpeng dikasih sate yang berisi ; cabe merah, bawang merah, telur utuh dikupas kulitnya, cabe merah besar, tancapkan vertikal.
Tusuk satenya dari bambu, posisi berdiri di atas pucuk tumpeng; urutan dari bawah; cabe merah besar posisi horisontal, bawang merah dikupas, telur kupas utuh, bawang merah lagi, paling atas cabe merah besar posisi vertikal.Pisang, jajan pasar, 7 macam kolo, dan 7 macam ampyang ditata dalam satu wadah tersendiri, namanya tambir atau tampah tanpa bingkai yg lebar.Tambirnya juga yg baru, jangan bekas. Tampah “pantatnya” rata datar, sedangkan tambir pantatnya sedikit agak cembung.Tumpeng tujuh macam warna ukuran mini, ditaruh mengelilingi tumpeng besar. Boleh diletakkan di atas sayuran yang mengelilingi tumpeng besar.
Setelah ubo rampe semua selesai disiapkan, maka dimulailah berdoa. Doa boleh dengan tata cara atau agama masing-masing. Inilah fleksibilitas dan toleransi dalam ajaran Jawa.Berikut ini contoh doa menurut tradisi Jawa;
Diucapkan oleh orang tua jabang bayi (ayah dan ibu);
“Niat ingsun nylameti jabang bayi, supaya kalis ing rubeda, nir ing sambikala, saka kersaning Gusti Allah. Dadiyo bocah kang bisa mikul dhuwur mendhem jero wong tuwa, migunani marang sesama, ambeg utama, yen lanang kadya Raden Komajaya, yen wadon kadya Dewi Komaratih..kabeh saka kersaning Gusti Allah.
Apabila orang tua beragama Islam, setelah doa secara tradisi, lalu bacakan surat Maryam atau surat Yusuf. Pilih di antara keduanya sesuai keinginan hati nurani. Jika feeling anda ingin membaca surat Maryam, biasanya jabang bayi lahir perempuan. Bila yang dibaca surat Yusuf, biasanya jabang bayi lahir laki-laki.Dalam tradisi Jawa, yang membuat bumbu rujak dilakukan oleh ibu jabang bayi. Jika bumbunya rasanya asin, biasanya jabang bayi lahir perempuan. Bila tidak kasinen (kebanyakan garam), biasanya lahir laki-laki.
Sayur 7 macam direbus diletakkan mengelilingi tumpeng, letakkan bumbu gudangannya melingkari tumpeng juga. Telur ayam (boleh ayam kampung atau ayam petelur) jumlahnya 7 butir, direbus lalu dikupas, diletakkan mengelilingi tumpeng. Masing-masing telur boleh di belah jadi dua. Pucuk tumpeng dikasih sate yang berisi ; cabe merah, bawang merah, telur utuh dikupas kulitnya, cabe merah besar, tancapkan vertikal.
Tusuk satenya dari bambu, posisi berdiri di atas pucuk tumpeng; urutan dari bawah; cabe merah besar posisi horisontal, bawang merah dikupas, telur kupas utuh, bawang merah lagi, paling atas cabe merah besar posisi vertikal.Pisang, jajan pasar, 7 macam kolo, dan 7 macam ampyang ditata dalam satu wadah tersendiri, namanya tambir atau tampah tanpa bingkai yg lebar.Tambirnya juga yg baru, jangan bekas. Tampah “pantatnya” rata datar, sedangkan tambir pantatnya sedikit agak cembung.Tumpeng tujuh macam warna ukuran mini, ditaruh mengelilingi tumpeng besar. Boleh diletakkan di atas sayuran yang mengelilingi tumpeng besar.
Setelah ubo rampe semua selesai disiapkan, maka dimulailah berdoa. Doa boleh dengan tata cara atau agama masing-masing. Inilah fleksibilitas dan toleransi dalam ajaran Jawa.Berikut ini contoh doa menurut tradisi Jawa;
Diucapkan oleh orang tua jabang bayi (ayah dan ibu);
“Niat ingsun nylameti jabang bayi, supaya kalis ing rubeda, nir ing sambikala, saka kersaning Gusti Allah. Dadiyo bocah kang bisa mikul dhuwur mendhem jero wong tuwa, migunani marang sesama, ambeg utama, yen lanang kadya Raden Komajaya, yen wadon kadya Dewi Komaratih..kabeh saka kersaning Gusti Allah.
Apabila orang tua beragama Islam, setelah doa secara tradisi, lalu bacakan surat Maryam atau surat Yusuf. Pilih di antara keduanya sesuai keinginan hati nurani. Jika feeling anda ingin membaca surat Maryam, biasanya jabang bayi lahir perempuan. Bila yang dibaca surat Yusuf, biasanya jabang bayi lahir laki-laki.Dalam tradisi Jawa, yang membuat bumbu rujak dilakukan oleh ibu jabang bayi. Jika bumbunya rasanya asin, biasanya jabang bayi lahir perempuan. Bila tidak kasinen (kebanyakan garam), biasanya lahir laki-laki.
Diposting oleh
bahrul huda
di
07.53
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Label:
Budaya
Mengenal Sinden
PESINDEN juga sering disebut SINDEN, Ki Mujoko Joko Raharjo berasal dari kata “pasindhian” yang berarti yang kaya akan lagu ataua yang melagukan (melantunkan lagu). Sinden disebut juga WARANGGANA “wara” berarti seseorang berjenis kelamin wanita, dan “anggana” berarti sendiri. Pada jaman dahulu waranggana adalah satu-satunya wanita dalam panggung pergelaran wayang ataupun pentas klenengan. Sinden memang seorang wanita yang menyanyi sesuai dengan gendhing yang di sajikan baik dalam klenengan maupun pergelaran wayang.
Istilah sinden juga digunakan untuk menyebut hal yang sama dibeberapa daerah seperti Banyumas, Yogyakarta, Sunda, Jawa Timur dan daerah lainnya, yang berhubungan dengan pergelaran wayang maupun klenengan. Sinden tidak hanya tampil solo (satu orang) dalam pergelaran tetapi untuk saat ini pada pertunjukan wayang bisa mencapai delapan hingga sepuluh orang bahkan lebih untuk pergelaran yang sifatnya spektakuler.
Pada pergelaran wayang zaman dulu, Sinden duduk di belakang Dalang, tepatnya di belakang tukang gender dan di depan tukang kendhang. Hanya seorang diri dan biasanya istri dari Dalangnya ataupun salah satu pengrawit dalam pergelaran tersebut. Tetapi seiring perkembangan zaman,terutama di era Ki Narto Sabdho yang melakukan berbagai pengambangan, Sinden dialihkan tempatnya menghadap ke penonton tepatnya di sebelah kanan Dalang membelakangi simpangan wayang dengan jumlah lebih dari dua orang.
Di era modern sekarang ini Sinden mendapatkan posisi yang hampir sama dengan artis penyanyi campursari, bahkan Sinden tidak hanya dibutuhkan untuk mahir dalam menyajikan lagu tetapi juga harus menjaga penampilan, dengan berpakaian yang rapi dan menarik. Sinden tidak jarang menjadi “pepasren” (penghias) sebuah panggung pertunjukan wayang. Bila Sindennya cantik-cantik dan muda yang nonton akan lebih kerasan dalam menikmati pertunjukan wayang.
Perkembangan wayang saat ini bahkan Sinden tidak hanya didominasi wanita tetapi telah muncul beberapa orang Sinden laki-laki yang mempunyai suara merdu seperti wanita, tetapi dalam dandannya Sinden ini tetap memakai pakaian adat jawa selayaknya pengrawit pria lainnya dan beberapa waktu lalu Sinden laki-laki ini malah menjadi trend para Dalang untuk menghasilkan nilai lebih pada pergelarannya.
Istilah sinden juga digunakan untuk menyebut hal yang sama dibeberapa daerah seperti Banyumas, Yogyakarta, Sunda, Jawa Timur dan daerah lainnya, yang berhubungan dengan pergelaran wayang maupun klenengan. Sinden tidak hanya tampil solo (satu orang) dalam pergelaran tetapi untuk saat ini pada pertunjukan wayang bisa mencapai delapan hingga sepuluh orang bahkan lebih untuk pergelaran yang sifatnya spektakuler.
Pada pergelaran wayang zaman dulu, Sinden duduk di belakang Dalang, tepatnya di belakang tukang gender dan di depan tukang kendhang. Hanya seorang diri dan biasanya istri dari Dalangnya ataupun salah satu pengrawit dalam pergelaran tersebut. Tetapi seiring perkembangan zaman,terutama di era Ki Narto Sabdho yang melakukan berbagai pengambangan, Sinden dialihkan tempatnya menghadap ke penonton tepatnya di sebelah kanan Dalang membelakangi simpangan wayang dengan jumlah lebih dari dua orang.
Di era modern sekarang ini Sinden mendapatkan posisi yang hampir sama dengan artis penyanyi campursari, bahkan Sinden tidak hanya dibutuhkan untuk mahir dalam menyajikan lagu tetapi juga harus menjaga penampilan, dengan berpakaian yang rapi dan menarik. Sinden tidak jarang menjadi “pepasren” (penghias) sebuah panggung pertunjukan wayang. Bila Sindennya cantik-cantik dan muda yang nonton akan lebih kerasan dalam menikmati pertunjukan wayang.
Perkembangan wayang saat ini bahkan Sinden tidak hanya didominasi wanita tetapi telah muncul beberapa orang Sinden laki-laki yang mempunyai suara merdu seperti wanita, tetapi dalam dandannya Sinden ini tetap memakai pakaian adat jawa selayaknya pengrawit pria lainnya dan beberapa waktu lalu Sinden laki-laki ini malah menjadi trend para Dalang untuk menghasilkan nilai lebih pada pergelarannya.
Diposting oleh
bahrul huda
di
07.51
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Label:
Jawa
Selametan Kematian di Jawa (Tahlilan)
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Selamatan kematian atau tahlilan sering di jumpai di lingkungan masyarakat, Selamatan ini biasanya dilakukan oleh keluarga dari orang yang meninggal dunia yang mempunyai tujuan untuk mendo’akan orang yang meninggal dunia agar supaya segala dosa-dosanya diampuni oleh Allah SWT dan dilapangkan kuburnya. Ritual tahlilan atau selamatan kematian ini sudah dilakukan secara turun-temurun.
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Selamatan kematian atau tahlilan sering di jumpai di lingkungan masyarakat, Selamatan ini biasanya dilakukan oleh keluarga dari orang yang meninggal dunia yang mempunyai tujuan untuk mendo’akan orang yang meninggal dunia agar supaya segala dosa-dosanya diampuni oleh Allah SWT dan dilapangkan kuburnya. Ritual tahlilan atau selamatan kematian ini sudah dilakukan secara turun-temurun.
Diposting oleh
bahrul huda
di
07.47
4
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Label:
Budaya
RESENSI BUKU PRIMBON
Judul Buku : HOROSKOP JAWA Misteri Pranata Mangsa
Penyusun : KRHT Hudoyo Doyodipuro
Tahun Terbit : 1995 -2008
Penyusun : KRHT Hudoyo Doyodipuro
Tahun Terbit : 1995 -2008
Diposting oleh
bahrul huda
di
07.41
1 komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Label:
Jawa
Cerita Rakyat DESA KAURIPAN
Sak durunge desa kuripan madeg, mbien wis ana desa sing jenenge desa pomahan, desa sing cilik sing nang pinggire alas-alasan lan iku desa sing paling tuwa ning wonosobo. lagi setitik desa sing ana nang kota wonosobo lan salah sijine ya desa pomahan iku, di ceritakake nang desa kono wong-wong padha urip tentrem lan padha nyambut gawe padha kerja lan kabeh padha nggolet rejeki sing mestine kudu di goleki.
Diposting oleh
bahrul huda
di
07.30
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Label:
Sastra
Mengenal Dalang
Dalang dalam bidang wayang kulit ialah seorang yang memainkan berbilang peranan, antaranya sebagai penulis cerita, pengarah lakonan, pengatur pentas, penyusun iringan, pengisah, pemain watak, dan "penyanyi". Kesimpulannya, dalang adalah seseorang yang mempunyai kemahiran berbilang disiplin, serta juga seorang pemimpin dalam pertunjukan dan kumpulannya.
Diposting oleh
bahrul huda
di
07.27
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Label:
Jawa
Cerkak
Sawah
Srengenge durung katon njedul, nanging semburat abang ing sisih etan wus katon mbranang. Manuk-manuk pating bleber mangkat golek pangan ninggalke anak-anake sing isih cilik-cilik, pating cruit nguntapke lungane biyunge, kanthi pangarep-arep gek ndang mulih terus ngloloh dheweke. Mengkono uga para manungsa kang duwe pakaryan bakul menyang pasar. Padha nggendong tenggok munjung-munjung isi dagangan.
Diposting oleh
bahrul huda
di
07.24
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Label:
Sastra
Cerita Rakyat KALIWUNGU Jawa Tengah
Ing jaman biyen ana ing papan panggonan sing saiki di sebut Kaliwungu. Ana kacarios sing taksih ana ing masyarakat nganti sakniki. Ana tiga tokoh yaiku 1. Sunan katong 2. Kyai penjalin 3. Paku waja. Katiga tokoh punika kagungan satunggal guru lan taksih satunggal perguruan. Satunggaling tokoh punika wonten ingkang gadhahi watek ala yaiku Pakuwaja, Pakuwaja gadhah watek iri kaliyan Sunan Katong lan Kyai Penjalin amargi Sunan Katong lan Kyai Penjalin gadha ilmu ingkang langkung inggil tinimbang Pakuwaja.
Pakuwaja duwe rencana ingkang ala yaiku badhe mejahi Sunan Katong lan Kyai Penjalin, Pakuwaja wegah kesaing ilmune. Pakuwaja pengen dadi wong ingkang paling sakti.
Satunggaling dina Pakuwaja ngajak Kyai Penjalin ing alas, ing alas iku Pakuwaja gelut kaliyan Kyai Penjalin sing taksih satunggal perguruan, Pakuwaja gelut kaliyan Kyai Penjalin nganti matahari surup ing sisih kulon. Pakuwaja gunakake cara sing licik supados Kyai Penjalin kalah. Pakuwaja ngerti yen kelemahane Kyai Penjalin iku ana ing mripate amargi mripate ora bisa weruh kanthi jelas yen ora ana sinar. Pakuwaja bisa mejahi Kyai Penjalin ing alas kui. Alas kui sakniki di sebut desa Penjalin.
Sak uwise Pakuwaja mejahi Kyai Penjalin, Pakuwaja pengen mejahi Sunan Katong. Sunan Katong iku ilmune langkung inggil tinimbang Pakuwaja lan Kyai Penjalin.
Sak wijining dina Pakuwaja nemuni Sunan Katong ana ing pinggir kali. Pakuwaja nyerang Sunan Katong kanthi amarah lan brutal. Sunan Katong lan Pakuwaja gelut kanthi agung sahingga damel gempa ing papan panggonan punika. Amargi Sunan Katong ilmune langkung inggil tinimbang Pakuwaja, pungkasanipun Pakuwaja kalah anggone gelut kaliyan Sunan Katong. Pakuwaja sekarat badhe pejah lan getihe tercecer lan ngalir ana ing kali.
Sak durunge Pakuwaja di pateni kaliyan Sunan Katong, Pakuwaja jaluk ngombe amargi Sunan Katong tiyang ingkang apik lajeng Sunan Katong madep buri badhe mundhut banyu, nanging pas madep memburi Pakuwaja nusuk Sunan Katong ana ing punggunge ngantos Sunan Katong pejah lan getihe ngalir ana ing kali. Sak uwise nusuk Sunan Katong, Pakuwaja uga mati lan getihe Sunan Katong lan Pakuwaja ngalir ana ing kali sahingga banyu kali kui dadi warna ungu. Lajeng papan panggonan kui di sebut Kaliwungu ngantos sakniki.
Narasumber : Sigit Budi Prasetyo
Pakuwaja duwe rencana ingkang ala yaiku badhe mejahi Sunan Katong lan Kyai Penjalin, Pakuwaja wegah kesaing ilmune. Pakuwaja pengen dadi wong ingkang paling sakti.
Satunggaling dina Pakuwaja ngajak Kyai Penjalin ing alas, ing alas iku Pakuwaja gelut kaliyan Kyai Penjalin sing taksih satunggal perguruan, Pakuwaja gelut kaliyan Kyai Penjalin nganti matahari surup ing sisih kulon. Pakuwaja gunakake cara sing licik supados Kyai Penjalin kalah. Pakuwaja ngerti yen kelemahane Kyai Penjalin iku ana ing mripate amargi mripate ora bisa weruh kanthi jelas yen ora ana sinar. Pakuwaja bisa mejahi Kyai Penjalin ing alas kui. Alas kui sakniki di sebut desa Penjalin.
Sak uwise Pakuwaja mejahi Kyai Penjalin, Pakuwaja pengen mejahi Sunan Katong. Sunan Katong iku ilmune langkung inggil tinimbang Pakuwaja lan Kyai Penjalin.
Sak wijining dina Pakuwaja nemuni Sunan Katong ana ing pinggir kali. Pakuwaja nyerang Sunan Katong kanthi amarah lan brutal. Sunan Katong lan Pakuwaja gelut kanthi agung sahingga damel gempa ing papan panggonan punika. Amargi Sunan Katong ilmune langkung inggil tinimbang Pakuwaja, pungkasanipun Pakuwaja kalah anggone gelut kaliyan Sunan Katong. Pakuwaja sekarat badhe pejah lan getihe tercecer lan ngalir ana ing kali.
Sak durunge Pakuwaja di pateni kaliyan Sunan Katong, Pakuwaja jaluk ngombe amargi Sunan Katong tiyang ingkang apik lajeng Sunan Katong madep buri badhe mundhut banyu, nanging pas madep memburi Pakuwaja nusuk Sunan Katong ana ing punggunge ngantos Sunan Katong pejah lan getihe ngalir ana ing kali. Sak uwise nusuk Sunan Katong, Pakuwaja uga mati lan getihe Sunan Katong lan Pakuwaja ngalir ana ing kali sahingga banyu kali kui dadi warna ungu. Lajeng papan panggonan kui di sebut Kaliwungu ngantos sakniki.
Narasumber : Sigit Budi Prasetyo
Diposting oleh
bahrul huda
di
07.20
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Label:
Sastra
TEMBUNG DASANAMA
Minggu, 14 Desember 2014
- Abang :
mbarang, abrit, jingga, dadu, rekta, merah
- Angin :
braja, bayupawana, sinandhung, samirna, meruta
- Alas :
wana, wanadri, jenggala
- Ati :
nala, kalbu, driya, prana, wardaya, panggal
- Anak :
suta, tanaya, putra, atmaja, yoga, weka, siwi
- Awak :
raga, badan, angga
- Banyu :
tirta, warin, her
- Bapak :
rama, sudarmi, yayah, yasadarma, sudarma
- Bumi :
buwana, basundara, bantala, jagad, kisma, bawana, pratala, pratiwi, mandhala,
butala
- Buta :
diyu, ditya, asura, danuja, yaksa, kelana, denawa, wil, raseksa
- Bledheg :
gludhuk, gelap, grah, bajra, erawati, guntur, thathit, pater
- Bondho :
mudha, kumprung, pengung, blilu, jugul, dama, pingging, pinggung
- Dalan :
marga, sopana, ratan, dlanggung, gili, enu, lurung
- Dewa :
hyang, dewasa, apsara, widadara, sura, jawata, bathara
- Gawe :
karya, karti, yasa, kardi
- Gajah :
dipangga, asti, esthi, liman, diradha, dipa
- Geni :apyu,
api, agni, pawake, latu, dahana
- Getih :
rudhira, rah, ludira
- Gunung :
meru, ukita, giri, ardi, aldaka, ancala, parwata, redi, wukir, prambata
- Ibu :
wibi, umi, puyengan, rena, biyang, biyung, indhun
- Iwak :
ilam, masta, mina
- Ireng :
jiliteng, cemeng, langking, kresna
- Jaran :
swa, kuda, aswa, kapal, turangga, titihan, wijik, undhakan
- Jeneng :
jejuluk, parab, asma, wewangi, rum-rum, sambat
- Kaya :
kadya, kadi, mimba, lir, pendah, pindha, yayah
- Kali :
loh, narmada, bengawan
- Kanca :
rewang, rowang, kanthi
- Kethek :
munyuk, juris, kapi, pragosa, wanara, wre, rewanda, palwaka
- Kebo :
mundhing, maesa, misa
- Kembang :
padma, kusuma, puspita, sekar
- Kraton :
kadhaton, dhatulaya, pura, puri, kandhatun
- Kuning :
kapuranta, pita jenar
- Langit :
awang-awang, aksa, antariksa, bomantara, gegana, dirgantara, widik-widik,
tawang, jumantawyat, wiyati
- Lanang :
jalu, jaler, priya, kakung
- Lintang :
sudama, kartika, sas, tranggana wintang
- Macan :
sardula, mong, singa
- Mata :
mripat, aksi, eksi, netra, soca, pandulu
- Manuk :
kukila, kaga, peksi, paksi
- Mangan :
dhahar, bukti, boga, madhang, nodha, nadhah
- Manungsa :
jana, jalma, manus, wong, nara, janma
- Mati :
lalis, antaka, lampus, layon, ngemasi, mancal donya, ena, pandhem, murud,
pralaya, pralena, palastri, tinggal donya, seda
- Mayit :
kunarpa, bangke, jisim, kuwanda, sawa, wangke
- Misuwur :
kaloka, kajuwara, kajanapriya, kasub, kawarti, kawentar, kontab, kongas,
kondhang
- Omah :
panti, griya, grana, yasa, wisma
- pandhita : dwijawarta,
ajar, dwijamahasri, muni, mahayeksi, suyati, resi, wipra, wiku, yogiswara
- Panah :
naraca, jemparing, bana, sara, waresta
- Perang :
laga, jurit, bandayuda, rana, yuda, pupuh
- Pinter :
nimpuna, guna, lebda, limpat, putus, wasis, widigda, wingnya, widura
- Putih :
pinggul, seta, dwala
- Ratu :
bumipala, buminata, bumipati, dhatu, katong, naradipa, naradipati, narpa,
nareswara, narapati, narendram sri, sribupati, nata, pamasa, parameswara
- Rembulan :
candra, badra, basanta, lek, sansangka, sasi, sitengsu,
wulan, sasadhara
- Senapati :
hulubalang, nerawara, bretyapati, senapati
- Segara :
jaladri, ernama, laut, samodra, tasik, udaya, jalanidhi
- Sedhih :
margiyuh, dhuhkita, rimang, rudah, kingkih, rudhatin, rudhatos, rudhita, susah,
sungkawa, tikbra, wigena, ngenes
- Sirah :
murda, kumba, mustaka, utamangga, ulu
- Srengenge :
aruna, arka, bagaspati, bagaskara, baskara, pradhangan, raditya, radite, surya,
we, rawe
- Slamet :
raharja, basuki, swasta, rahayu, sugeng, widada, yuwana
- Ula :
sarpa, naga, taksaka, sawer
- Wadon :
dyah, dayinta, juwita, gini, kusuma, retna, putri, rini, wanita, wodowati,
wanodya
- Weruh :
myat, priksa, anon, uning, uningan, wikan, upiksa.
Diposting oleh
bahrul huda
di
05.40
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Label:
Jawa
Langganan:
Postingan (Atom)