Pertama kali mendengar nama Desa ‘Payaman’ sempat ragu jika desa ini merupakan bagian dari Kabupaten Lamongan. Pasalnya, penamaan desa yang sekilas tak memiliki unsur bahasa Jawa. Berbeda dengan sembilan desa lainnya di Kecamatan Solokuro yakni Desa. Solokuro, Tebluru, Sugihan, Dadapan, Tenggulun, Banyubang, Dagan, Bluri, Takerharjo, terdengar masih njawani.
Dikisahkan, Payaman yang dulunya pedesaan terpencil dan termasuk dalam wilayah pesisir pantai utara (Pantura), ternyata memiliki sejarah dan cerita tersendiri yang berkaitan denganBumi Sakera (Madura) dalam proses asal-usulnya.
Dahulu, pada masa Kerajaan Majapahit, seorang Adipati Madura yaitu Arya Wiraraja diutus Raden Wijaya menyeru rakyat Madura agar menyebar ke seluruh wilayah Jawa, terutama Jawa Timur. Raden Wijaya menaruh kepercayaan sepenuhnya pada orang Madura karena mereka juga ikut andil dalam mendirikan Kerajaan Majapahit.
Berangkatlah sebagian besar rakyat Madura berbondong bondong ke tanah Jawa. Ketika sampai di Jawa rombongan tersebut akhirnya menyebar. Sebagian ada yang ke timur dan ada juga yang ke barat. Ke timur, rombongan itu menempati wilayah mulai Surabaya hingga Banyuwangi, sedang yang ke barat menempati wilayah dari Surabaya, Gresik, Lamongan hinggaTuban. Salah satu rombongan yang dipimpin seorang pemuda bernama Aryo Bumi memisahkan diri dari rombongannya yang ke Tuban. Dengan ditemani istri dengan dua orang pembantu Aryo Bumi pergi ke selatan Pantura. Sampai di kawasan yang penuh hutan bambu dan pohon-pohon besar Aryo Bumi merasa tempat itu sangat cocok untuk ditempati. Aryo Bumi pun mulai membersihkan tempat itu dan mendirikan rumah kecil untuk berteduh. Beberapa bulan berlalu Aryo Bumi mulai memikirkan nama tempat itu. Dalam kebingungannya Aryo Bumi melihat istrinya di luar rumah sambil menikmati sejuknya angin pagi dan berkata “Pak Nyaman”. “Pak” merujuk kepada suaminya Aryo Bumi, panggilan bagi suami. Sedangkan “Nyaman” sama halnya dalam bahasa Indonesia ataupun bahasa Jawa, bisa juga diartikan beragam sesuai pemakaiannya. Dari kejadian itulah Aryo Bumi mendapat ide untuk memberi nama tempat itu dengan “Pakyaman” atau “Payaman”. Asal muasal tersebut memang tak tertulis secara resmi dalam buku sejarah mana pun. Namun sejarah akan tetap menjadi sejarah. Desa Payaman, umumnya Lamongan, akan tetap dikenal sebagai salah satu ‘Bumi Wali Sanga’ dengan adanya makam para wali, Sunan Drajat, Sunan Sendang Duwur dan lain-lain.
Ditambah lagi keberadaan sumber mata air yang sangat penting bagi penduduk Lamongan. Sumur yang konon tak pernah kering tersebut menjadi sumber utama pemenuhan kebutuhan air masyarakat, yang juga dinilai memiliki nilai magis.
Sumur pitu, begitu Baqir dan seluruh masyarakat menyebutnya. Setidaknya tiga dari tujuh sumur tersebut berada di wilayah Desa Payaman. Tiga sumur itu bernama Blimbing, Planangan, dan Pawadonan. Selebihnya tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Lamongan.
Sampai sekarang ketujuh sumur tersebut masih digunakan warga, di samping sumur-sumur buatan warga. Namun, sejak banyak warga yang menggunakan pompa air, debit air sumur menjadi berkurang. Hal ini mengharuskan warga untuk membeli air dari desa sebelah,yakni Desa Solokuro.
Kisah ‘Pak, Nyaman’ dan Sumur Pitu
Senin, 22 Desember 2014
Diposting oleh
bahrul huda
di
05.42
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Label:
Jawa
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar